"Shin, Sayang!"
Shin terloncat kecil. Pria berusia 40 tahunan itu tiba-tiba muncul di depan Shin dan menakuti Shin dengan wajah mesumnya. Dia selalu melihat Shin dengan tatapannya yang bergairah seolah-olah Shin sangat menggiurkan baginya. Tuan Jun, dia tetangga jauh Shin. Rumahnya berada di gang sebelah dan orang terkaya di wilayah Guryong. Hanya dia satu-satunya pria yang tidak takut pada Shin.
"Lama sekali kita tidak bertemu. Aku sangat sibuk beberapa hari ini. Apa kau baik-baik saja? Kau dari pasar? Kau belanja banyak sekali, apa aku bisa membantumu?" Dia terus bicara dengan mata yang berkilatan.
"Ngg, tidak usah ...." Takut-takut dan selalu sambil menundukkan wajah, Shin menolak, mencengkeram beberapa kantong plastik yang memuat seluruh barang belanjaan di tangannya. Buru-buru ia meneruskan langkahnya melewati pria berberewok itu.
Tuan Jun kembali menahannya. Dia melompat di depan Shin. Sontak saja Shin tersentak menyilangkan satu tangannya ke dada untuk melindungi diri. Setiap kali pria metroseksual itu mendekatinya, ia merasa seakan terancam.
"Shin, kenapa kau masih keras kepala juga? Jika kau menikah denganku, kau tidak perlu lagi bekerja sekeras ini! Aku yang akan menanggung seluruh kebutuhanmu dan adik iparku!"
Bukan rahasia lagi jika pria itu menyukai Shin. Semua warga di tempat tinggalnya tahu pria itu pernah melamar Shin dan inginkan Shin menjadi istrinya. Anehnya, semua warga mendukung. Tuan Jun memang kaya, dia seorang pengusaha besi tua.
"Tu-Tuan Jun, aku sedang buru-buru." Shin mengambil jalan lain dan cepat-cepat menjauh dari pria beranak empat itu.
Berkali-kali dan setiap bertemu, Tuan Jun tidak penah gentar ataupun mundur dengan niatnya untuk melamar Shin. Sayangnya Shin menolak karena ia sama sekali tidak tertarik dijadikan istri ketiganya. Ya, Tuan Jun memiliki dua istri yang tinggal dalam satu rumah. Shin tahu benar niat warga untuk mendukung Shin agar bersedia menjadi istri muda Tuan Jun semata-mata hanya untuk dijadikan bahan lelucon saja. Mereka berpikir lebih baik Shin menjadi istri ketiga daripada seumur hidup menjadi perawan tua. Shin tidak peduli itu. Ia lebih baik mati sebagai perawan tua daripada harus melayani pria cabul itu sepanjang hidupnya.
"Aku pastikan kau akan menjadi istriku yang terakhir, Shin!" Sebelum Shin masuk ke dalam rumahnya, Shin masih sempat mendengar Tuan Jun meneriakkan suaranya. Beberapa tetangga yang melintas melihatnya pun tersenyum geli.
Shin bersembunyi di belakang pintu rumahnya usai menutupnya rapat-rapat agar pria itu tidak mengikutinya lagi. Shin ketakutan. Tuan Jun memang sangat sopan padanya, mungkin itu adalah salah satu caranya untuk meluluhkan hati Shin. Beberapa kali diam-diam dia juga kerap memberikan uang kepada Sora. Tak jarang pula kedua istrinya datang ke rumah Shin untuk melabrak. Julukan sebagai perayu suami orang pun mereka terapkan pada Shin. Tuan Jun masih saja bersikeras dan mendesak Shin agar bersedia menikah dengannya. Itu tidak mungkin. Shin tidak mau nantinya akan benar-benar membuktikan bahwa ia memang terkutuk dengan merebut suami orang.
*****
Sudah lima hari terakhir sejak ia memutuskan untuk libur membuat kue bagi para pelanggannya di kafe sementara waktudemi memulihkan lengannya yang masih terasa sakit, Shin merasa keputusannya kala itu adalah pilihan yang benar. Selama itu, ia tidak ingin terlalu banyak beraktivitas sebab keesokan harinya Shin harus membuat seratus kue brownies yang dipesan oleh salah seorang manajer di sebuah hotel.
Alhasil, Shin sudah tidak lagi merasakan sakit di lengannya akibat tabrakan kecil beberapa waktu lalu. Ia pun bangun tengah malam untuk memulai membuat kue setelah seharian kemarin menyiapkan seluruh bahan-bahannya yang tidak sedikit. Dibantu sang adik, ia merasa jadi sedikit ringan dan tidak perlu tergesa-gesa. Dengan peralatan yang lengkap dan dengan jumlah yang memadai, Shin akhirnya berhasil mencetak kue cokelatnya sebanyak yang dipesan tepat beberapa menit sebelum waktu yang ditentukan.
Shin turun dari sebuah taksi pagi itu dan langsung disambut oleh seorang wanita muda yang mengaku sebagai executive manager di sebuah hotel tempat pemberhentiannya. Dia adalah sang sekretaris dari general manager sang pimpinan tertinggi dalam perusahaan yang meneleponnya minggu lalu untuk memesan seratus kue padanya. Woaah, Shin tidak menyangka akan berurusan langsung dengan orang-orang penting itu.
Sepertinya—besar kemungkinan, atasan mereka selaku sang pemilik hotel tidak terlalu percaya pada cara kerja bawahannya yang lain, bahkan hanya untuk urusan makanan. Shin bangga, tapi juga khawatir ketika dipilih untuk membuat kue sebanyak itu. Ia takut tidak bisa memberikan kepuasan. Namun tampaknya Nyonya Jessi telah berhasil membuat pelanggannya percaya akan kualitas kue buatan Shin. Orang itu pun memanggil salah seorang pegawai yang bekerja di bagian pelayanan untuk membawakan seluruh kue seukuran dengan kotak sepatu itu menggunakan troli.
"Nona Shin, ikutlah masuk bersamaku. Komisaris saya sendiri yang akan membayar semua total harga kuemu."
"Ah, iya baiklah."
Shin mengikuti wanita berpakaian formal itu memasuki gedung. Hotel yang megah dan bagus. Pandangan Shin terangkat begitu menjelajahi desain lobi yang mewah. Para pekerja di sana terlihat sibuk. Beberapa wanita berseragam khusus berdiri di belakang meja resepsionis tengah melayani para tamu yang sedang melakukan reservasi. Sementara beberapa pelayan laki-laki hilir mudik mengantar tamu-tamu ke kamar yang akan dihuni, sambil membawa troli untuk mengangkut barang bawaan mereka.
Waah, Shin tidak menyangka bisa masuk ke dalam hotel sebesar ini. Bangunan dengan lebih dari sepuluh lantai dan Shin gemetar begitu diajak untuk masuk ke dalam lift. Ini adalah pengalaman yang pertama baginya. Selain takut pada sesuatu yang ramai dan besar, ia juga takut pada sesuatu yang tinggi maupun curam. Sekretaris hotel itu menekan angka tiga pada bagian sisi pintu lift dan Shin pun merasa lega. Itu artinya ia tidak akan naik ke lantai yang lebih tinggi lagi. Bersama sang pelayan yang membawa semua kuenya, mereka bertiga terdiam dalam lift menunggu sampai pintunya terbuka otomatis. Dalam waktu singkat, ketegangan Shin mereda begitu mereka sampai di lantai tujuan.
Ia sampai di sebuah lobi yang dipenuhi oleh kursi-kursi menghadap ke arah lift dan anak-anak kecil dengan usia sekitar enam tahunan mendudukinya. Mereka ada banyak, bahkan sangat banyak. Mungkin benar ada seratus anak seperti jumlah kue yang dipesan. Menurut keterangan dari sang manajer, mereka adalah anak-anak dari sebuah panti asuhan yang diundang tiap bulan oleh sang pemilik hotel untuk mendapatkan dana bantuan. Menurut Shin, itu memang sudah seharusnya. Shin juga salut pada kebaikan sang pemilik hotel yang masih tertanam dalam dirinya di tengah kemewahan yang mengelilinginya.
"Waaah, hebat! Berikan tepuk tangan untuk teman kalian!" Seorang pria, duduk di depan anak-anak itu. Dia membelakangi arah Shin dan terlihat asyik mengajak anak-anak lucu itu bermain.
Mereka bertepuk tangan begitu salah satu dari bocah usai bernyanyi di depan. Shin tersenyum lepas tanpa sadar melihat pemandangan menggemaskan sekaligus mengharukan itu di hadapannya. Sementara sang sekretaris memintanya untuk menunggu, dia menghampiri pria berkemeja putih yang membawakan acara untuk anak-anak itu. Mungkin dia adalah komisaris yang dimaksud.
"Baiklah, siapa lagi yang mau bernyanyi di depan?" Pria itu mengangkat tangannya ke atas pada anak-anak yang berwajah cerah di depannya. Suaranya begitu ceria dan akrab. Shin bisa melihat anak-anak itu menyukainya. Sepertinya dia adalah orang yang baik dan pecinta anak-anak. Shin merasa iri ingin menjadi sepertinya.
Eh? Kening Shin mengerut ketika tanpa sengaja pandangannya beralih pada arloji yang dikenakan pria tersebut di tangan kanannya yang masih terangkat di udara. Ia menemukan sebuah ingatan. Jam tangan seram itu? Sebelum Shin sempat memastikannya, pria itu menurunkan tangannya karena sang sekretaris hotel berbisik padanya. Tak lama dari itu, sang atasan berdiri dari kursinya lalu berputar arah untuk mengambil jalan. Begitu pandangannya terangkat dan tertuju langsung ke arah Shin, dia tertegun di tempat. Pandangan mereka pun bertemu. Mereka kembali bertemu.
Tidak salah lagi.
Dia si pemilik jam tangan mahal itu. Dia pria yang menabrak Shin dan mengembalikan buku catatannya hari itu. Dia yang menolong Shin dengan mendapatkan kembali kalungnya setelah Shin mengotori kemejanya. Jadi ... dia adalah sang pemilik hotel? Mereka berdiri dengan satu arah lurus dari jarak lebih dari sepuluh langkah kaki, tapi Shin merasa pria itu sedang menatapnya dari arah yang dekat dan napas Shin pun tertahan sesaat. Dia seolah sedang menyelami bola mata Shin dan mendalami pemikirannya. Sepertinya dia ingat sesuatu tentang Shin. Mungkin dia juga memikirkan apa yang Shin pikirkan. Namun anehnya, Shin merasa seakan itu penting baginya, sehingga membuatnya tercenung untuk waktu yang tidak sebentar.
"Tuan, dia yang membuat kuenya."
Begitu sang sekretaris menegurnya, pria dengan lengan kemeja tersingsing itu berjalan maju ke arah Shin dengan canggung. Terkesiap, Shin sontak saja menundukkan wajahnya dan tiba-tiba genderang perang bertabuh-tabuh dalam dadanya. Dia mendekati Shin, kenapa Shin merasa segugup ini? Ada apa ini?
Langkahnya berhenti tepat di depan Shin. Perasaan Shin pun semakin tak terkendalikan. Ia mendadak merasa cemas sendiri. Ia malu, tapi juga takut seakan-akan pria itu hendak menyalahkannya untuk suatu hal. Meskipun Shin merasa dia adalah orang yang baik, tapi justru karena itulah Shin resah. Selama ini tidak pernah ada pria yang berani mendekatinya apalagi untuk menatap matanya. Mereka semua ketakutan seolah-olah mata Shin memancarkan sihir yang membahayakan. Pria itu terus saja menancapkan tatapannya pada Shin dengan matanya yang tajam dan seakan mencoba untuk melawan sihir itu dari mata Shin.
"Tuan, apakah Anda ingin kuenya dibagikan sekarang?" sang sekretaris berkata lagi.
"Oh, iya."
"Ngg, aku akan membantu Anda." Tiba-tiba muncul suatu gagasan untuk mengalihkan kebekuan yang dirasakan Shin sebelum pria itu mengatakan sesuatu padanya.
Shin berlalu dari hadapan pria itu untuk membantu sekretarisnya membagikan semua kue pada anak-anak. Mereka semua berdiri dari kursinya, beranjak menghampiri tumpukan kue sambil berseru gembira. Kue dipisah menjadi beberapa bagian dan setiap bagian dimasukkan ke dalam kantong plastik besar. Shin mengambil satu kantong plastik dan mengeluarkan satu per satu kotak untuk dibagikan pada setiap anak.
"Tetap tenang, anak-anak! Jangan berebut!" ujar pria itu pada anak-anak asuhnya. "Setelah mendapatkan bagian, bisa duduk kembali. Kita akan memakannya bersama sambil menunggu waktu makan siang!"
Dia pria yang baik, Shin tahu itu meski mereka tidak pernah saling mengenal. Tiba-tiba mencondongkan punggung di sebelah Shin, Shin tertegun begitu saat pria itu membantunya untuk membagikan kue dari kantong plastik yang sama. Oh Tuhan, dia membuat Shin kembali canggung dengan hanya berdiri di sampingnya. Dia membuat Shin gugup walau tidak melakukan apa pun padanya. Usahanya untuk tetap bersikap tenang menghadapi pria mana pun, tidak pernah membuatnya seresah ini. Shin berpikir, mungkin dia adalah pria yang terpandang dan tidak memandang Shin dengan mata ketakutan. Itu sangat aneh dan tidak biasa bagi Shin.
"Apa tanganmu sudah membaik?" Dia bertanya dengan nada lirih.
Eh? Apa dia bicara pada Shin? Dengan leher kaku, Shin memaksakan diri untuk memutarnya ke arah pria itu. Benar saja, dia menatap Shin dengan setitik senyum dan kedua alis terangkat seolah menantikan sebuah jawaban dari Shin. Shin pun mengangguk kaku, lalu kembali menyibukkan diri membagikan sisa kue. Ternyata, dia menyadari pertemuan mereka sebelum ini. Bagaimana dia bisa tahu tangan Shin mengalami cedera? Aneh.
Anak-anak mulai berebut dan saling berdesak-desakan, agak membuat Shin dan yang lainnya kewalahan. Shin mempercepat gerakan tangannya, meski sesekali kebingungan harus mengambil kotak yang sama dengan kotak yang akan diangkat oleh pria itu. Kegaduhan anak-anak semakin membuat Shin salah tingkah di dekat si pemilik hotel. Shin dan pria itu saling pandang begitu sisi tangan keduanya berbenturan dan ketika Shin menarik tangannya kembali, sehelai benang dari ujung lengan atasan yang dikenakannya tersangkut pada bagian tombol berputar yang berguna mengatur jarum jam pada arloji pria itu.
Oh, tidak! Serta merta tangan Shin yang satunya bergerak hendak membenarkannya, tapi tertahan karena teringat betapa mahalnya benda itu. Jika Shin menariknya secara paksa, ia bisa saja merusak dan harus mengganti rugi jam tangannya. Sedangkan untuk biaya servisnya saja memerlukan uang yang tidak sedikit. Bagaimana Shin akan sanggup mengganti setiap komponennya yang terbuat dari emas? Shin merasa lebih baik pakaiannya robek daripada harus menyentuh benda mengerikan itu.
Mendapati Shin bingung, pria itu pun bertindak untuk melepaskan benang pakaian Shin dari jam tangannya. Terendus penciumannya harum maskulin dari tubuh pria itu. Sesekali dia tertangkap sedang memandang saat Shin mencoba mencuri pandang. Sementara anak-anak sudah tidak sabar untuk mendapatkan kuenya pun diam-diam mengambilnya sendiri. Secara perlahan, dia memutar benang yang telah membelit bagian celah tombol.
Entah bagaimana hal ini bisa sampai terjadi, Shin merasa waktu berjalan dengan sangat lambat hanya untuk melepaskan benang itu saja. Shin sangat khawatir tapi pria itu tampak tenang-tenang saja. Dia terlihat santai, lalu mengulas senyuman sensualnya saat menatap Shin setelah berhasil melepaskan seutas benang nakal itu dari jam tangannya. Shin menegakkan badan sambil berpaling menyembunyikan wajahnya dari sikap misterius itu. Sebenarnya bukan pria itu yang aneh, tapi terlalu sering dikucilkan, membuat Shin merasa heran ketika diperlakukan dengan sopan.
Shin pulang setelah memastikan setiap anak mendapatkan bagian kuenya. Beberapa dari mereka langsung memakannya. Shin senang melihat mereka menyukai kue buatannya. Namun pria pemilik jam tangan seram itu tidak berkata apa pun lagi, dia tidak keluar dari salah satu ruangan yang berderet dengan pintu serupa, usai meminta sang sekretaris untuk ikut dengannya. Sang sekretaris keluar dari kamar itu membawa amplop berisi uang untuk membayar kuenya. Shin menghitungnya ketika diantar sampai ke lobi karena wanita itu ingin Shin memastikan jumlahnya benar.
Lalu Shin terkejut. "Ini terlalu banyak."
"Tapi Komisaris bilang itu untukmu."
"Tapi ini lebih dari jumlah total harganya."
"Terima saja, mungkin Komisaris menyukaimu."
"Apa?"
"Ya, kau membantu membagikan kue-kue itu pada anak-anak, Komisaris pasti menyukai pelayananmu itu."
"Oh."
"Baiklah, terima kasih. Aku akan kembali bekerja."
"Iya, terima kasih kembali."
Termenung menggenggam uang sebanyak dua kali lipat dari total biaya seluruh kuenya, menyelipkan perasaan mengganggu pada hati Shin. Ia keluar dari hotel sambil terus memikirkannya. Terselip sebuah kebimbangan ketika akan meninggalkan gedung. Tiba-tiba Shin merasa ingin menemui pria itu sekali lagi. Untuk mengembalikan kelebihan uang yang diberikan? Ya, tentu saja itu alasannya. Menerimanya, tidak lagi membuatnya puas sudah bekerja keras semalaman. Shin justru merasa terbebani.
Shin menengadahkan wajahnya ke atas, menatap kemegahan gedung hotel dari halaman depan. Pria itu sangat baik, pemberian seperti ini tentu menjadi hal kecil baginya. Shin merasa dia tidak benar-benar menyukai Shin karena Shin telah membantunya membagikan kue-kue itu pada anak-anak. Kendati tak satu kata pun terucap dari bibir keduanya setelah pria itu menanyakan keadaan tangan Shin, tetapi mata pria itu berbicara lain. Namun untuk menyukainya dalam arti yang sebenarnya itu juga sangat mustahil dan terdengar menggelikan. Konyol sekali.
Sudah berulang kali dia menolong dan berbuat baik pada Shin, tapi tak sekali pun Shin berkesempatan mengucap terima kasih padanya. Pasti sangat sulit untuk dapat menemuinya lagi. Shin juga tidak seberani itu. Ia pun memutuskan untuk menerima kebaikannya dan berdoa semoga apa yang diinginkan pria baik itu akan segera didapatkannya. Shin tersenyum ke langit, lalu beranjak pergi.
*****