Chereads / Perawan Tua Untuk Tuan Muda / Chapter 11 - Terbayang-Bayang

Chapter 11 - Terbayang-Bayang

Shin berhenti di tepian bahu jalan raya. Ia memarkir sepedanya di depan toko dan termenung di sana.

Pria itu lagi, dengan jam tangan seramnya itu lagi. Kenapa dia selalu ada di sekitar Shin? Di mana pun Shin berada, dia seperti mengikutinya. Saat pria itu berlarian mengejarnya, Shin memang sempat ragu sebab saat itu samar-samar ia mendengar suara orang berteriak memanggil-manggil nyonya. Shin tidak menyadarinya, karena memang ia bukan seorang nyonya dan tidak suka dengan sebutan itu. Begitu seseorang menahannya, memberi tahu bahwa ada seorang pria yang sedang mengejarnya, Shin malah merasa ketakutan.

Pria itu berdiri di hadapannya. Shin pun bertanya-tanya dalam benaknya kesalahan apa yang telah ia buat, karena setiap orang yang datang padanya selalu untuk menyalahkannya. Ketika pria itu memberikan buku catatan yang memang Shin cari-cari sejak kemarin, ia sedikit tenang. Arlojinya yang mewah pun seketika menyita kerja otak Shin dan menegunnya untuk beberapa saat. Dia yang menolongnya waktu itu. Dia adalah pria yang sama yang ada di toko perhiasan dan pemilik kemeja yang telah Shin cemari dengan tinta pena. Hingga saat ini, Shin memang tidak tahu jelas seperti apa wajahnya. Di toko perhiasan itu, ia memang sempat memandangnya, tapi hanya sekilas dan Shin sudah lupa. Ia tidak peduli saat itu. Ia pun tidak ingin melihatnya lagi, melihat semua pria, siapa pun itu.

Pria itu berlutut di depannya untuk memungut buku Shin yang dia jatuhkan. Lalu dia mengangkat pandangan, menatap mata Shin secara terang-terangan. Shin tidak berpaling atau menghindar. Karena akhirnya ia merasa yakin pria itu tidak berniat jahat padanya kendati dia adalah pria pertama yang berani memegang tangan Shin.

Shin turun dari sepedanya. Ia masuk ke sebuah kafe di jalan itu membawa dua kotak brownies berukuran besar yang telah dipesan. Sembari menunggu pelanggannya mengambil uang, Shin mengedarkan pandangannya pada meja-meja yang beberapa dipenuhi pelanggan untuk bersantai sambil menikmati minuman. Di meja sebelahnya, Shin agak kaget mendapati dua anak muda berseragam sekolah menengah atas sedang menonton sebuah video di ponsel mereka. Karena mereka duduk membelakanginya, Shin bisa melihatnya dengan jelas video apa yang sedang mereka tonton.

Mengejutkan, mereka melihat video dewasa di usia mereka yang masih belia tanpa malu-malu di tempat umum! Shin berpaling seketika dari pemandangan menjijikkan itu. Astaga, mereka sungguh generasi yang menyedihkan. Shin yang sudah berkepala tiga, satu kali pun tidak pernah melihat hal intim seperti itu meski hanya melalui gambar. Hal itu membuatnya risi dan malu sendiri. Ia berdoa semoga Sora bisa menjaga dirinya dari pergaulan yang menyesatkan.

Akhirnya setelah mengurus segala pembayaran, sang pemilik kafe Jessi, mengantarnya sampai di depan pintunya yang terbuat penuh dari kaca.

"Shin, terima kasih, ya!"

"Sama-sama."

Shin memasukkan uang yang baru saja ia dapatkan dari penjualan kuenya ke dalam tas begitu pelanggan tetapnya itu masuk kembali ke kafenya. Ketika ia menegakkan kepalanya kembali, ia melihat ke arah kaca transparan di depannya dan tiba-tiba sesosok pria di belakangnya memusatkan penglihatan Shin seketika pada bayangan itu. Ia mengernyit. Pria itu, dia tampak sangat jauh di belakang Shin, tapi Shin merasa dia sedang mengawasinya.

Dia ... pakaian yang dikenakannya sama seperti tuan pemilik jam tangan seram itu. Shin memutar arah badannya ke samping sambil menoleh ke belakang dan ia benar-benar melihat seorang pria sedang berdiri di pinggir jalan, di seberang sana. Namun kendaraan pribadi dan truk-truk besar yang memadati jalan raya terus berhilir mudik di depannya, membuat pandangannya terhalangi. Shin tidak bisa melihatnya secara utuh ataupun menemukan wajah pria itu. Begitu jalanan senggang, pria itu dan mobil putih yang ada di belakangnya telah menghilang.

Ya Tuhan, kenapa dengan mataku ini?

Kenapa Shin mulai melihatnya ada di mana-mana? Sebenarnya Shin sendiri tidak memikirkannya. Ia tidak peduli pada pria itu karena mereka tidak saling kenal, dan ia tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Anehnya, setiap mengingat jam tangan seram yang dipakai pria itu ke mana pun setiap bertemu dengan Shin, Shin mulai merasa terganggu.

*****

Semalam Jae memikirkan sesuatu yang membuat hatinya tak tenang. Namun, ia merasa itu menyenangkan. Sebuah kejadian yang menggelikan dan tidak pernah disengaja, tapi Jae merasa itu semua telah terencana dan begitu berkesan. Tidak ada sesuatu yang menarik, tapi sejak ia melihat wajah wanita itu ia mulai terbayang-bayang dan tidak merasa nyenyak dalam tidurnya. Tiba-tiba tumbuh rasa penasaran yang kian membumbung dalam hatinya. Sejak ia tahu nama wanita itu pun batinnya terus memanggil-manggilnya tanpa tujuan. Lalu, kemudian Jae menjadi resah. Ia merasa seolah-olah sangat merindukannya. Akhirnya setelah membuat kesimpulan, sebuah gagasan tersusun dengan sendirinya dalam benak. Jika hari ini Tuhan kembali memberinya izin untuk menemukan sesuatu yang ia cari, maka ia berjanji dalam hati untuk membuat sebuah perubahan. Saat itu ia akan membagi segalanya.

Keesokannya, Jae mendatangi kafe yang akan menjadi tujuan pertama nyonya itu mengantar kuenya. Meski Jae sendiri telah mengembalikan buku catatan itu pada pemiliknya, tapi ia masih mengingat kelima nama tempat yang menjadi tujuan wanita itu mengirim kuenya setiap pagi. Jae juga ingat betul pada jam berapa Shin akan ke sana. Untuk apa Jae melakukannya? Tidak tahu. Ia hanya merasa ingin pergi ke sana. Ia merasa akan lega setelah melihatnya.

Namun, hingga lebih dari lima belas menit, Jae tak mendapati wanita itu mengantar kue di kafe pertama. Berpikir mungkin Jae telah melewatkan kedatangannya, maka Jae bergegas ke kafe berikutnya. Akan tetapi setelah setengah jam ia menunggu di luar, memantau dari dalam mobilnya, ia tak juga melihat Shin datang. Aneh sekali. Sampai kemarin, Jae sendiri telah memastikan wanita itu datang tepat seperti pada waktu yang tertulis di setiap daftar kafe.

Ya, seharian kemarin Jae lewati hanya dengan mendatangi tempat-tempat yang menjadi tujuan nyonya uang receh itu menjual kuenya. Jika ditanya kenapa Jae harus melakukannya, ia sendiri tidak bisa menjawabnya. Ia hanya merasa seolah-olah melihat sebuah pintu jalan yang telah lama terbuka untuknya. Jalan bercahaya dan Jae penasaran ke mana jalan itu akan membawanya saat ia memasukinya. Namun ia merasa yakin di jalan itu ia akan melihat sesuatu yang baik dan akan menemukan apa yang ia cari-cari selama ini, seperti ketika ia melihat mata wanita itu.

Mata wanita itu terasa tidak asing baginya. Dia menatap Jae seakan-akan Jae telah lama ada dalam dunianya. Jae pun merasakan hal yang sama. Perasaan akrab dan mengikat yang ia rasakan kala itu membuatnya semakin ingin menempuh jalan itu. Kemarin Jae pun mengikuti Shin ke kafe berikutnya, ia tahu ke mana lagi wanita itu akan pergi dari urutan daftar order yang tercatat dalam buku kecil itu. Ia berdiri di seberang jalan sambil mengawasi wanita tersebut masuk dan keluar dari tempat kopi itu di belakang mobilnya. Aneh, hari ini Jae tidak melihatnya bahkan di kelima kafe yang ada dalam daftar pelanggannya.

"Ya, hari ini dia tidak membuat kue. Sayang sekali, banyak pengunjung yang menanyakannya. Tapi kemarin Shin sendiri yang mengatakan untuk libur sementara waktu, mungkin sampai minggu depan."

"Kenapa?"

"Beberapa hari yang lalu, dia bilang mengalami kecelakaan kecil yang menyebabkan lengannya terkilir. Jadi dia ingin beristirahat untuk memulihkannya."

"Oh, begitu ...."

"Mmm, kalau boleh saya tahu, ada urusan apa Anda dengannya?"

"Oh, ngg ... aku ... aku diminta oleh temanku untuk memesan kue padanya."

"Ooh, sayang sekali dia sedang sakit."

"Baiklah kalau begitu, terima kasih untuk informasinya."

Jae keluar dari kafe bernama Jessi itu dengan kecewa. Nyonya uang receh itu sedang sakit. Tangannya cedera akibat kecelakaan, pasti karena Jae yang menabraknya waktu itu. Apakah kondisinya separah itu? Jae jadi merasa bersalah. Haruskah ia menanyakan juga di mana alamat rumahnya dan pergi ke sana? Rasanya terlalu berani. Kendati itu bisa menjadi alasan yang kuat untuk dapat menemuinya, hati Jae menolak untuk melakukannya. Bagaimana jika ia ditanya kenapa dan ada apa Jae sampai mencarinya? Jae tidak akan pernah bisa menjawabnya. Ia sendiri kesulitan menjelaskan pada hatinya.

Hingga di hari-hari berikutnya, Jae semakin dibuat gelisah. Ketika di jalan, setiap melintasi kafe-kafe itu, perasaan ingin dapat bertemu dengan wanita itu tanpa sengaja tiba-tiba menjadi harapan dalam hatinya. Ia sangat sibuk tapi bayangan wanita itu masih sempat melintas sekelebat dalam kedipan matanya. Ya sudahlah, putusnya, pasrah tapi juga kecewa. Sudah lima hari sejak ia memutuskan untuk tidak lagi memikirkannya dan Jae tiba-tiba merasa putus asa, ia pun perlahan melupakannya.

*****