Pagi itu Jae tiba-tiba ingin pergi ke sebuah kafe yang bertempat tak jauh dari rumahnya. Ia memesan salah satu meja di sana dan mendudukinya bersama Kim.
"Tuan, banyak kafe ternama dengan makanannya yang enak di luar sana. Kenapa Tuan malah ingin ke sini?"
Jae berpaling dari ponselnya, menatap Kim dengan enggan. "Kenapa kau selalu meremehkan seleraku?" herannya dengan suara khas ketusnya.
Kim tertegun, tampak tersudut. "Bukan begitu."
"Di sini tidak buruk," potong Jae menerdiam Kim untuk sesaat.
"Tapi ... di sini terlalu ramai, banyak orang yang akan memperhatikanmu, Tuan!" Kim masih berani membantahnya dan sebenarnya Jae sudah tidak tahan dengan sifatnya itu.
Masih dalam duduk santainya, bersandar di punggung kursi sambil menopang satu kaki di atas kaki yang satunya, Jae melipat kedua tangannya di atas perut. "Justru karena di sini ramai, itu berarti makanan dan pelayanan di kafe ini terkenal sangat baik."
Setelah itu Jae tidak lagi mendengar Kim menjawabnya. Tak lama dari itu pesanan Jae datang. Sepotong tiramisu dengan secangkir kopi. Sebenarnya ini adalah kafe minuman, tapi mereka menyediakan camilan seperti kue yang tidak terlalu banyak pilihan dan juga tidak memajangnya di etalase. Jae memesan kue itu menurut gambar yang ada di kertas menu. Juga karena ia ingin tahu sesuatu.
"Bukankah di sini seharusnya ada menu brownies?"
"Oh, iya benar. Tapi mereka belum mengirimnya karena kafe kami juga baru saja buka."
"Bisakah kau beri tahu aku siapa yang membuat kue cokelat itu?" tanya Jae pada si pelayan kafe.
Kim menatapnya heran karena tiba-tiba Jae mempertanyakan hal yang mungkin menurutnya itu tidak penting.
"Ngg, dia adalah Shin. Tapi dia tidak bekerja di sini. Dia hanya mengantar kue buatannya pada jam tertentu saja."
"Kapan hari ini dia akan ke sini untuk mengantar kuenya lagi?" Sadar terlalu banyak bertanya, Jae sesekali memberikan alasan, "Ngg, temanku ini sedang ingin makan brownies." Ia melirik Kim yang mengernyit, seakan tak mengerti kenapa Jae melibatkannya.
"Mm, sebentar lagi dia akan sampai ke sini, Tuan. Setiap hari dia akan datang pukul delapan untuk mengantar kue buatannya."
"Itu berarti ... setengah jam lagi ...," gumam Jae setelah sesaat melirik ke arah jarum jam di tangannya.
"Tuan, jika memang teman Anda ini sangat ingin memakan brownies, kenapa tidak membelinya di toko kue saja? Di sini kami hanya menjualnya sepotong, hanya untuk menemani para pengunjung menikmati kopinya."
"Justru karena itulah, temanku ingin bisa menikmati kopi di sini sambil memakan kue brownies itu." Jae memandang Kim yang tampak kebingungan.
"Baiklah, Tuan. Anda bisa tunggu setengah jam lagi."
Jae mengangguk, dan si pelayan pun meninggalkan mejanya.
Jadi, namanya Shin. Kemarin di lapangan saat Jae mengembalikan kalung yang ia ambil dari anak-anak berandalan kepada nyonya uang receh itu, Jae tidak pernah bermaksud apa-apa. Ia hanya ingin menolongnya saja. Ketika wanita itu pergi tanpa mengucap kata atau hanya sekadar memandangnya, dia meninggalkan sebuah buku catatan kecil di tempat kejadian. Jae memungutnya dan melihat ada sebuah tulisan di sampul depannya. 'Brownies Perawan Tua'. Ia mengernyit saat itu memikirkannya, tapi juga ingin tertawa. Buku apa ini? pikirnya saat itu, penasaran. Jae membukanya dan tidak menemukan tulisan berarti. Hanya ada satu halaman berjudul 'order' dan terdapat daftar nama-nama kafe dengan keterangan waktu yang berbeda di barisan bawahnya.
Di halaman berikutnya, Jae semakin tak mengerti dengan daftar yang ada karena semua kolom diisi dengan nominal yang sama dengan tanggal yang berbeda. Mungkin harga kuenya dan jumlah pendapatannya setiap hari. Itu adalah jumlah yang sedikit, tapi wanita itu mencatatnya dengan rinci, begitu pun untuk pembelian bahan-bahannya.
Apakah buku ini penting untuknya? tanya Jae saat itu. Saat melihat wanita itu mengayuh sepedanya, dia mengendarainya dengan satu tangan, sementara tangan kirinya dibiarkan menggantung ke bawah. Saat itu pun Jae teringat bahwa dia adalah wanita yang ia tabrak sebelumnya dan tangannya pasti cedera karena kejadian itu.
Berpikir untuk mengembalikannya, sekaligus merasa bersalah, karena itu Jae mendatangi salah satu kafe yang tertera pada daftar order dalam buku catatan nyonya itu, adalah kafe yang sekarang ini ia masuki bersama Kim. Karena kafe ini berada di daftar teratas, jadi Jae bisa tahu wanita itu akan datang pertama kali ke tempat ini dan pagi ini juga. Dia akan datang pukul 08:00 seperti yang tercatat dalam keterangan.
"Tuan—"
"Jika kau bertanya satu hal lagi padaku, maka sebaiknya kau pergi saja dari hadapanku!" potong Jae seketika menghardik begitu Kim bersuara.
Pria itu pun sekejap terdiam.
Kim tidak lagi bersuara dan hanya memperhatikan Jae terus selama Jae menanti menit pada jarum jam berputar hingga mencapai angka dua belas. Ia menanti sambil menyeruput kopinya dan Kim tetap membungkam di tempatnya. Dia selalu saja ingin tahu apa yang Jae lakukan. Pemuda yang menyebalkan, pikir Jae kesal.
Akhirnya setengah jam pun berlalu.
Si pelayan kafe kembali mendatanginya. "Tuan, ini brownies yang Anda minta." Dia benar-benar mengantar sepotong brownies ke meja Jae.
"Ngg, apa ... dia sudah datang?"
"Oh? Shin? Apa maksud Anda Shin?"
"Ya."
"Tentu saja, dia baru saja pergi."
"Apa? Kenapa aku tidak melihatnya? Padahal aku selalu terjaga mengawasi pintu," aku Jae sontak mengejutkan Kim.
"Tuan, dia datang lewat pintu samping."
"Aakh, kenapa kau tidak memberitahuku?" Jae emosi. "Apa kira-kira dia sudah jauh dari sini?"
"Dia baru saja keluar!"
"Ck! Kim, bayar semuanya!"
"Eh, Tuan?"
Kim pasti terheran-heran dengan sikap anehnya. Jae begitu terobsesi untuk bertemu dengan wanita si pembuat kue cokelat itu. Entah kenapa, ia sendiri tidak tahu. Ia bisa saja menitipkan buku catatan kecil itu pada si pelayan toko, tapi sesuatu yang kuat mendorong hatinya untuk bertemu langsung dengan nyonya uang recehan itu. Ia tidak akan menjelaskan apa pun pada Kim karena menurutnya itu tidak penting dan tidak akan membantu. Jae beranjak dari kursinya, cepat-cepat meninggalkan tempat itu untuk bisa menyusul apa yang ia tunggu sedari tadi.
Jae berjalan tergesa-gesa, hampir berlari untuk menemukan jalan berbelok di sisi bangunan kafe. Ia harus menyerobot para pejalan kaki yang melintasi lorong gang itu. Ia melihat pintu samping kafe, itu artinya wanita itu baru saja keluar dari sana. Maka ia pun terus berlari kecil ke arah yang sama, dan akhirnya ia menemukannya. Di sana! Dia sedang mengayuh sepedanya dengan gerakan pelan. Hati Jae berdecak lega sekaligus senang, entah karena apa. Ia pun mempercepat langkah sambil berteriak berharap dapat menahannya.
"Nyonya! Nyonya!!"
Dia terus melaju. Mereka tidak berada di jarak yang jauh, tapi keramaian jalan di sana membuat Nyonya itu tidak mendengarnya hingga mereka berbelok dan sampai ke jalan raya besar.
"Nyonya!"
Akhirnya dia pun berhenti. Seseorang yang berjalan ke arah bersimpangan, menghentikan wanita itu dan memberitahunya bahwa ada pria bodoh yang berambisi sedang mengejarnya. Dia pun menoleh ke belakang di tengah bahu jalan, Jae bisa melihat sekilas mata wanita itu tertuju padanya. Dalam perjalanan Jae ke tempatnya, wanita itu turun dari sepedanya dan langsung tertunduk begitu Jae sampai di hadapannya.
"Apa ... kau yang berteriak 'nyonya' padaku?" tanya wanita itu ragu-ragu.
"Ya."
Jae mengangguk di sela usahanya mengatur pernapasannya kembali secara normal. Rupanya dia mendengar teriakan Jae. Mungkin karena Jae tidak menyebut namanya, wanita itu jadi ragu dan tidak sadar. Jae mengakui kesalahannya, tapi ia merasa senang memanggilnya dengan sebutan 'nyonya', meski ia tahu wanita itu tidak menyukai panggilan tersebut.
"Oh, ada apa?" Suaranya begitu lirih dan Jae nyaris tak dapat mendengarnya.
Jae melebarkan mata, menengok, mencoba menemukan mata wanita itu karena dia bicara tanpa memandang Jae sama sekali. Dia terus menundukkan wajahnya dan menghindari tatapan Jae. Dia menyembunyikan mata di antara sekumpulan rambutnya yang terurai menutupi sisi-sisi wajahnya.
Jae merogoh saku celananya, mengeluarkan buku catatan milik wanita itu. "Apa ini milikmu?" Ia mengulurkannya ke depan, kepada perempuan bernama Shin itu.
Tidak langsung menjawab, nyonya itu malah tercenung memandangi buku kecil di tangan Jae. Dia hanya diam saja seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin menyadari sesuatu. Jae pun tak ingin menegurnya. Ia bertahan dengan tangan yang masih terulur di depan wanita itu sambil memperhatikan wajah si pemilik buku. Kendati tertunduk, Jae masih bisa melihat hidung dan bibirnya dari satu sisi. Jae tahu, dia bukan gadis remaja. Dia perempuan dewasa.
Setelah beberapa saat termangu, perempuan itu akhirnya mengangkat tangan kirinya, karena tangan kanannya bertugas memegangi sepeda. Perlahan, dan sangat ragu-ragu. Jae malah mengira dia sedang memaksakan tangannya yang sakit akibat kecelakaan waktu itu untuk mengambil bukunya. Ketika menyentuh buku catatan miliknya, Jae menjatuhkannya ke tanah, sengaja. Shin pun terkesiap dan terperanjat ringan. Dia semakin menundukkan kepala untuk melihat buku itu di depan kakinya.
Buru-buru Jae berjongkok, berlutut dengan satu kaki untuk mengambil catatan si perawan tua. Tangannya menyentuh kertas itu, tapi sesuatu tiba-tiba menahan Jae untuk memungutnya, mendorongnya untuk berani mendongakkan kepala. Saat itulah kedua mata asing bertemu. Jae bisa melihat wajah perempuan itu dengan jelas. Terlebih angin kala itu seolah menerbangkan sekumpulan rambut yang menutupi sisi-sisi wajahnya dari bawah.
Jae tidak menemukan apa-apa di sana, sesuatu yang aneh yang mengharuskan wanita itu menyembunyikan wajahnya. Dia seperti perempuan lainnya, memiliki sepasang mata besar yang berkaca-kaca menatap lurus ke arahnya, hidung yang lurus dan bibir yang basah. Tidak bernoda ataupun terdapat luka di bagian wajahnya. Dia bersih dan putih. Aneh, bagaimana bisa dia berpikir untuk menyembunyikan keindahan itu?
Setelah beberapa detik bertatapan dan Jae merasa membeku, ia pun membawa dirinya untuk bangkit sambil tercengang-cengang sendiri. Perempuan di depannya masih terdiam tak bergerak sama sekali seperti patung. Maka Jae menarik tangan wanita itu hingga tersentak dan langsung memberikan buku itu ke genggamannya.
Setelah itu, Jae pun berlalu. Ia berjalan ke arahnya semula dengan perasaan yakin. Entah yakin untuk apa, ia tidak tahu. Benar, Jae memang tidak melihat sesuatu yang buruk di wajah perempuan itu. Namun ia bisa merasakan ada hal lain yang tertahan di matanya. Ketika ia mencoba berbalik untuk melihatnya sekali lagi, wanita itu masih saja mematung dengan gayanya yang sama. Dia terbengong-bengong masih sambil menggenggam buku catatannya. Ketika bergerak, dia malah terlihat seperti robot.
"Tuan! Tuan Jae! Aku mencarimu ke mana-mana! Ada apa, Tuan? Kenapa kau sangat serius? Apa ada masalah?" Kim datang dari arah yang berlawanan.
"Kita akan pergi ke kafe berikutnya!"
"Hah?"
*****