"Kakak, bagaimana hari ini? Apa semua baik-baik saja?"
"Ya, seperti biasanya."
"Kakak, kemarin siang Hyun Jae berkunjung ke sekolahku!"
"Hyun Jae? Siapa dia?"
"Pemilik sekolahan, Kak!"
"Lalu kenapa kau memberitahuku? Sekolahan itu miliknya, jadi tidak aneh kan, kalau dia mendatanginya? Apa dia menagih uang sekolah padamu?"
"Kakak, aku ingin kau tahu betapa tampannya dia!"
"Oh? Hanya itu? Apa perlu?"
"Tentu saja Kakak harus tahu! Dia adalah mantan pembalap dan namanya sangat ditakuti dalam dunia balap. Setiap orang di sana sangat mengaguminya. Dia begitu disegani."
"Oya? Kakak tidak pernah mendengar namanya dan tidak tahu apa pun tentang dia."
"Tentu saja, televisi di rumah kita sudah lama rusak dan Kakak selalu sibuk bekerja! Tapi kemarin, aku melihatnya langsung! Dia masih sangat imut meski usianya sudah tiga puluh tahun. Pria seperti dia, seharusnya duduk manis dan membiarkan fotografer mengambil gambarnya."
"Dari mana kau bisa tahu tentang dia?"
"Semua temanku membicarakannya. Dan ternyata, Jae memang sangat menggemaskan!"
Mereka sedang makan siang di dalam rumah. Di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu utama dalam rumah kecil mereka. Mereka memilih duduk lesehan di depan meja yang dikelilingi kursi-kursi tua dan usang. Pun dengan beberapa menu seadanya, Shin menikmati makanannya bersama sang adik. Rumah peninggalan Ibu ini menjadi satu-satunya tempat mereka berlindung. Meski hanya ada satu kamar dan dapur sepetak beserta satu kamar mandinya, rumah sederhana inilah yang menjadi saksi mereka tumbuh bersama tanpa orang tua.
"Sora, fokuslah pada sekolahmu dan jangan membicarakan hal yang tidak penting. Apa kau tahu, Kakak bekerja keras untuk bisa menyekolahkanmu di sana supaya kau bisa menjadi pintar, bukan untuk memperhatikan si pemilik sekolahanmu itu!" tutur Shin menegaskan, ia khawatir sang adik akan berbelok arah dari tujuannya bersekolah di sana karena ia melihat adiknya itu mulai berani mengagumi seorang pria yang bahkan lebih tua darinya.
"Aaakh, Kakak! Aku menceritakan ini, supaya Kakak sedikit lebih memiliki ketertarikan pada laki-laki!" Sora berkelit.
"Kau pikir aku tidak normal sehingga hanya tertarik pada sesama jenis? Uukh, sayangnya aku tidak tertarik pada Jae-mu itu!"
"Bagaimana jika dia yang tertarik padamu, Kak?"
"Haaah? Bercanda? Setiap laki-laki yang tinggal di kampung kumuh ini dan hanya bekerja sebagai buruh saja terus berdoa agar jangan sampai terpikat padaku! Bagaimana bisa Jae-mu yang sangat kaya dan imut itu akan tertarik padaku? Apa dia sudah kehabisan stok wanita di dunia ini?" Shin ngotot sebab merasa perkataan Sora itu konyol. "Di tengah hingar bingar Gangnam, apa mungkin pria menggemaskan seperti Jae-mu itu akan masuk ke kampung kumuh ini dan menemukan sampah sepertiku?"
Setiap kisah dalam buku yang ia baca, semuanya memiliki bagian cerita yang bahagia di beberapa halaman. Shin tidak pernah menemukan halaman itu dalam kisah hidupnya selama ini. Begitu juga dengan cerita cintanya. Tidak selembar pun. Tidak satu paragraf pun.
"Kakak, jangan berkata seperti itu seolah-olah Kakak begitu menjijikkan. Kakak itu sangat cantik, Kakak juga baik. Mereka bukannya takut pada kutukan yang melekat pada diri Kakak, tapi sebenarnya itu karena mereka takut merasa tidak pantas untukmu, Kak!"
Shin mengembuskan napas beratnya sejenak. "Adik, terima kasih sudah menghiburku. Sekarang habiskan makananmu. Setelah ini kita akan temui Bibi Ri dan memberinya kejutan." Ia tidak ingin membicarakan hal yang jauh dari kata 'mungkin'.
"Oh! Apa Kakak sudah membelikannya hadiah?"
Shin berhasil mengalihkan pikiran Sora dari perbincangan yang menjurus.
"Ya."
"Coba sini, aku ingin melihatnya dulu, Kak!"
"Habiskan dulu makananmu!"
Rumah Bibi Ri berada tepat di sebelah rumahnya. Shin dan Sora hanya perlu berjalan beberapa langkah untuk bisa sampai ke sana. Di rumah kecil itu, Bibi Ri hidup seorang diri tanpa suami dan anak. Untuk melepas kesepiannya, Bibi sering kali datang ke rumah Shin dan tidur di sana. Hari ini Bibi Ri berulang tahun. Shin dan Sora merasa ini adalah waktu yang tepat untuk menyempurnakan kebahagiaan wanita tua itu. Mereka telah berencana untuk memberikan suatu hadiah. Shin telah menabung selama beberapa bulan untuk bisa mendapatkan hadiah yang indah. Sora pun rela selama itu menyisihkan uang jajan sekolahnya untuk membantu.
"Bibi!"
"Eh, kalian?"
"Bibi sudah akan kembali ke toko?"
"Ya, ini Bibi sedang bersiap-siap. Eh, Shin, Sora, apa kalian berdua sudah makan siang? Makanlah di sini, Bibi memasak makanan enak hari ini."
"Oya? Tumben sekali? Apa ... ada perayaan hari ini?"
"Tidak ... Bibi hanya merasa bosan dengan menu biasanya, jadi tadi pagi-pagi benar sebelum pergi ke toko, Bibi belanja dulu ke pasar."
Shin dan Sora saling melirik. Mereka hanya berdiri saja memperhatikan wanita baik itu tengah sibuk mengemas barang-barangnya untuk dibawa ke pasar. Mereka berdiri di belakang Bibi sambil tersenyum-senyum kecil.
"Benar, tidak ada yang spesial hari ini, Bi?" Sora menyinggung.
"Ada apa denganmu, hah?" Bibi menoleh ke arah Sora dan mulai curiga.
Shin cekikikan.
"Selamat ulang tahun, Bibi!" Shin sudah tidak sabar ingin melihat ekspresi Bibi Ri ketika ia mengulurkan satu tangannya di depan mata perempuan itu, melewati pundak Bibi, sambil menggantung kalung permata hijau dari genggamannya.
Sontak saja Bibi terkejut. Kedua mata Bibi Ri melebar. Shin dan Sora telah berhasil membuatnya tercengang-cengang. Rencana mereka untuk membuatnya terkejut sukses besar. Bibi memutar pandangannya dengan cepat ke arah Shin seolah mempertanyakan perbuatannya.
Shin tersenyum simpul, "Selamat ulang tahun, Bibi! Terimalah hadiah dari kami!" Ia melingkarkan kalung di tangannya itu begitu saja ke leher Bibi Ri yang masih terperangah menatapnya tak percaya dan Sora yang masih berdiri di belakang Bibi Ri pun mengambil alih kedua ujung kalung di tangan Shin, lalu menautkannya.
"Aaah, Bibi terlihat sangat cantik!" seru Shin berseri-seri.
Sora buru-buru berpindah tempat ke sisi Shin untuk dapat melihat kalung itu menghiasi leher Bibi Ri. Dia mengangguk menyetujui pendapat Shin. Setelah bertahun-tahun, ini adalah saat pertama kalinya bagi Shin dan Sora bisa melihat wanita itu mengenakan perhiasan di tubuhnya.
Dengan mata berkaca-kaca, Bibi Ri menunduk melihat permata yang memperindah kalung yang diberikan Shin dan Sora.
"Astaga ... apa yang kalian berikan padaku ini? Kenapa kalian bisa memiliki benda seindah ini, hah? Katakan padaku, dari mana kalian bisa mendapatkan uang untuk bisa membeli barang semahal ini? Kalian tidak mungkin mencurinya, kan?"
"Bibi ini bicara apa! Kami menabung, Bi!" cetus Sora cemberut.
"Bibi suka, kan?" tanya Shin tak hanya sekadar ingin tahu.
"Siapa yang tidak suka melihat benda secantik ini, hah?" Bibi Ri menampar Shin dan Sora dengan gerakan ringan secara bersamaan, dengan candaan. Shin dan Sora pun tertawa. "Tapi apakah aku pantas menerimanya dari kalian?"
"Kenapa tidak, Bi? Bibi sudah melakukan banyak hal untuk kami, Bibi memberikan apa yang kami butuhkan, jadi Bibi pantas mendapatkannya," ujar Shin.
"Aah, ya Tuhan ... anak-anakku sudah dewasa." Bibi memeluk Shin dan Sora secara bersamaan.
Terharu, mereka sama-sama merasakan benar kepedulian di antara satu sama lain. Kalung itu, meski harus berjuang untuk menjadikan miliknya, Shin merasa belumlah sepadan untuk mengganti kebaikan Bibi selama ini. Bibi kehilangan suaminya demi keputusannya untuk merawat Shin dan Sora.
Shin tahu, bukanlah suami yang Bibi tangisi dalam kesendiriannya. Melainkan, suaminya itu membawa pergi putra semata wayang mereka sejak anaknya itu masih berusia dua tahun. Sejak lima belas tahun yang lalu, itu artinya sekarang ini putra Bibi sudah berusia tujuh belas tahun. Sudah selama itu ... Suaminya sangat tega, sama sekali tidak mengizinkan Bibi untuk bertemu dengan anaknya, bahkan membawanya ke tempat yang tidak diketahui Bibi Ri.
Shin tidak tahu apakah ia bisa mengembalikan anak Bibi atau justru membuat Bibi melupakannya.
"Hey, Shin! Keluarlah!"
Suara yang santer terdengar dari luar itu perlahan memudarkan dekapan erat ketiganya. Shin, Sora dan Bibi Ri melepaskan pelukan masing-masing dan memasang pendengaran baik-baik.
"Shin!"
"Oh? Kakak, ada yang memanggilmu di luar!"
"Sepertinya."
"Shiiiin!!"
"Kenapa berteriak-teriak?"
"Aku tidak tahu, aku akan menemuinya."
Merasa ada yang tidak beres, Shin pergi keluar dari rumah Bibi Ri dengan cemas.
Ia melihat wanita salah seorang tetangganya berdiri di depan rumahnya dan beberapa tetangga yang lain berkerumun di belakangnya. Ada apa ini? Kenapa bibi itu datang bersama pemuda yang telah mengganggu Shin tadi siang di lapangan?
"Aakh, ini dia orangnya!"
"Ada apa, Bibi?"
"Masih tanya ada apa? Lihat yang kau lakukan pada putraku! Kau berani menamparnya?" Bibi itu berang, meneriakkan suaranya yang lantang sambil melototi Shin.
Shin memandang pemuda tidak sopan yang sempat mengambil kalungnya. Rupanya dia adalah anak tetangganya. "Ya, aku memang melakukannya." Shin mengakuinya dengan santai.
"Hah! Lihatlah semuanya! Wanita ini benar-benar membuktikan bahwa dirinya memang tidak bermoral!" Ibu dari pemuda itu tiba-tiba mencela dan berteriak melontarkan kata-kata kasar untuk Shin pada seluruh warga yang datang menyaksikan.
Mereka selalu datang melihat dan menganggap rumah Shin penuh dengan pertunjukan seru. Shin sudah tidak heran dengan kelakuan para tetangganya itu. Bibi Ri dan Sora yang keluar secara bersamaan pun bertanya-tanya.
"Bibi, aku melakukannya untuk membela diriku. Karena putra Bibi ini sungguh tidak sopan padaku! Dia dan teman-temannya berani bertindak kurang ajar padaku!"
"Dia yang mencoba menggodaku dan teman-temanku, Bu!" Bocah kurang ajar itu menyahuti, kembali melempar tuduhan.
"Apa? Hey, kau jangan mengada-ada! Shin tidak serendah itu!" Bibi Ri menimpalinya dengan emosi.
Begitu pun dengan Sora. "Ya, kakakku tidak mungkin seperti itu!"
Di saat mereka saling menuduh dan membela, Shin hanya terdiam dan berpikir. Hal yang sama terjadi lagi. Ia tahu, sepertinya semua ini akan sia-sia lagi.
"Hey, kau! Panggil teman-temanmu dan suruh mereka katakan yang sebenarnya!" Bibi Ri membela Shin karena dia tahu Shin tidak mungkin sehina itu.
"Bibi, itu tidak perlu!" Shin mencegah. "Aku minta maaf sudah menampar putramu," kata Shin akhirnya pada ibu dari pemuda itu.
"Dasar tidak bermoral! Sama saja dengan ibunya! Wanita seperti itu tidak pantas tinggal di sini!" Bibi itu pergi bersama anaknya sambil menggerutu.
Para tetangga pun membubarkan keributan ini dengan kembali ke rumah masing-masing sambil mengatai Shin dengan kata-kata yang tidak sopan. Mereka menatap Shin dengan penuh kebencian. Bahkan di tempat seperti ini, mereka menganggap Shin tidak pantas untuk tinggal? Lalu, seperti apa tempat yang pantas untuk Shin? Apakah seperti neraka?
"Shin, apa yang kau katakan, Nak? Kenapa kau tidak membela dirimu? Aku tahu itu tidak benar!" Bibi Ri merasa keberatan dengan cara Shin menghadapi situasi ini.
"Iya, Kak! Kenapa kau harus meminta maaf untuk kesalahan yang tidak kau lakukan?"
Shin menjawabnya dengan tenang, mencoba berbesar hati, "Bibi, Sora, aku tidak ingin memperpanjang masalah. Walau apa pun yang coba aku katakan untuk membela diriku, mereka tidak akan mau mengerti itu. Lagi pula mereka juga tidak akan mau mengaku. Yang mereka inginkan, hanyalah melihatku terjatuh. Dan meski aku terbukti benar, apa yang akan aku dapatkan? Mereka akan tetap menyalahkanku karena Ibu. Kita sudah menjadi kotoran di tempat ini. Tidak akan ada yang mau membersihkan kita."
Shin melihat Sora dan Bibi Ri tercenung sesaat memahami perasaannya, lalu tertunduk pasrah dan tidak lagi memprotesnya. Semoga mereka bisa mulai berpikir kenapa Shin harus mengalah.
"Nak, Bibi hanya bisa mendoakan semoga Tuhan selalu melindungi kalian." Dengan matanya yang berkaca-kaca, Bibi bersuara. "Mungkin kalian adalah kotoran bagi mereka, tapi tidak di mata Tuhan. Tuhan tahu segalanya dan dia pasti akan mengirim orang baik untuk membersihkan kalian dari kotoran itu sendiri dan membawa kalian pergi dari sini! Benar, kalian memang tidak pantas masih di sini. Orang baik, seharusnya berada di tempat yang baik, dikelilingi oleh orang-orang yang baik pula. Di sini bukan tempat yang layak untuk kalian!"
"Bibi! Kalau ada seseorang yang akan membersihkan kotoran dari sampah, apa itu berarti dia adalah petugas kebersihan?" pikir Sora melucu. Sontak memecahkan tawa Shin dan Bibi Ri.
"Kau ini!"
*****