"Tuan, kita akan ke mana?"
"Melihat lokasi pembangunan," jawab Jae singkat. Bertanya di saat Jae sedang serius menyetir mobil pribadinya adalah kebiasaan Kim yang paling Jae benci. Dia selalu bertanya dan tidak akan berhenti jika Jae tidak menjawabnya.
Namun menjawabnya, juga tidak membuat Kim diam. "Aah ... iya, baiklah. Lokasinya memang tidak jauh dari sini, kita bisa mampir ke sana lagi untuk memantau. Sekarang aku mengerti, kenapa Tuan lebih memilih untuk membeli rumah di wilayah ini daripada harus menempati rumah peninggalan ayah Tuan sendiri di Cheongdam-dong," katanya berpendapat.
"Kau sedikit lebih pintar sekarang," timpal Jae.
"Aku selalu mengamati Tuan!" aku Kim bangga.
"Tapi alasan yang lebih tepat, adalah karena rumah peninggalan Ayah di Cheongdam-dong itu juga menjadi hak Ibu dan akan diwariskan padaku dengan syarat aku telah menikah dan memiliki seorang anak," papar Jae membenarkan. Ia berpikir untuk membungkam mulut Kim.
Kim malah mendapat gagasan yang tepat, "Ah? Itu sangat mudah! Nyonya besar telah menyeleksi beberapa lamaran para gadis untuk Anda. Anda tinggal memilih salah satu dari mereka, maka semuanya akan selesai!" seru Kim begitu antusias langsung disambut sorotan tajam dari mata Jae.
Senyuman Kim lenyap seketika. Dia masih saja berusaha kendati tahu Jae tidak menyukai pembahasan topik mengenai jodoh.
"Apa dia mengirimmu ke sini hanya untuk misi itu?" celetuknya.
"Ough! Ngg ...." Kim tertunduk takut-takut.
Jae tahu dia tidak akan pernah berhenti. Karena itu ia ingin membuat pria itu jera terus memaksakan rencananya pada Jae. "Sepertinya kau sangat berambisi. Berapa dia membayarmu jika kau berhasil membuatku menikah, hah?"
"Tuan, tidak seperti yang Anda pikirkan!" Kim melambaikan tangannya, mengelak. "Ini bukan masalah uang, tapi Nyonya besar sangat mengkhawatirkanmu. Beliau merasa bersalah karena tidak pernah ada untukmu. Sejak kecelakaan yang menimpa Tuan hari itu, Nyonya besar berpikir untuk menikahkanmu supaya ada yang mengurusmu."
"Aku bisa mengurus diriku sendiri selama ini. Dan jika benar dia merasa bersalah karena tidak pernah ada bersamaku, kenapa harus mengirim orang lain untukku? Apa kekasihnya di sana tidak bisa mengurus dirinya sendiri?" Kali ini Jae sadar suaranya meninggi.
"Oh! Tuan, maafkan aku ...." Kim menunduk, hampir menangis.
Jae mengambil napas pendek lalu mengembuskannya besar-besaran usai menepikan mobilnya di sebuah lapangan. "Turunlah, aku hanya sebentar."
"Ngg, apa Anda perlu mengganti kemeja Anda terlebih dulu?" Kim mencegah niat Jae untuk membuka pintu mobilnya.
Jae menurunkan pandangannya sendiri ke arah dada dan melihat kemejanya begitu kotor dan jorok. Bekas tinta pena dan percikan ingus dari nyonya uang recehan itu. "Tidak usah," putusnya kemudian. Ia turun dari mobil dan Kim pun mengikutinya.
Proyek pembangunan sedang berjalan. Di sebuah tanah dengan luas bangunan yang tak terhingga, di situ dulu Ayah telah berencana membangun sebuah hotel lagi. Sudah lama Ayah memulainya, tapi kematian Ayah hari itu membuat kontrak kerjanya dengan para tim yang bersangkutan terpaksa dihentikan. Kini demi Ayah, demi melanjutkan impian Ayah, demi mendapatkan tujuan hidupnya, Jae ingin meneruskan langkah ayahnya kembali. Ia ingin menjadi orang yang tidak pernah berhenti. Ia akan melakukan apa pun untuk dirinya sendiri. Tidak untuk siapa pun.
Sebelum kematiannya, Ayah memberikan sebuah surat untuk Jae melalui pengacara. Jae bisa membuka surat itu setelah ia menyelesaikan proyek pembangunan hotelnya ini. Entah kenapa dan apa tujuannya, Jae tidak mengerti. Sampai pada detik ini, surat itu pun masih tersimpan dengan baik dalam kamarnya. Jae tidak pernah ingin membukanya meski terkadang ia juga penasaran. Namun Jae tidak mau membukanya kendati Ayah tidak akan pernah tahu, karena ia tahu, Ayah mengerti kapan waktu yang tepat bagi Jae untuk merasa siap.
Ia dan Kim menaiki sebuah bangunan setengah jadi, masih dalam bentuk pondasi, di mana itulah gedung yang akan menjadi bangunan tertinggi di wilayah Guryong. Memang, untuk sampai ke lokasi, Jae harus melewati beberapa bidang tanah yang digunakan para warga Guryong untuk bercocok tanam dan lapangan yang penuh dengan sampah di tepian jalannya. Jae yakin pemilihan tempat untuk bisnis perhotelannya ini akan lebih menguntungkan dibanding hotel-hotel milik Ayah yang lain.
Meski tidak terletak di depan jalan raya besar, tapi ia mengerti kenapa Ayah memilih lokasi ini untuk pembangunan hotel berikutnya. Ayah telah memiliki prospek ke depannya. Jae sendiri bisa membayangkan kemudahan yang akan para pengunjung rasakan dengan menyewa hotelnya. Selain dekat dengan pusat Distrik Gangnam yang terkenal dengan tempat-tempat mewahnya, kafe-kafe berkualitas, juga tempat hiburan berkelas, hingga menjadi pusat tujuan para wisatawan untuk berbelanja barang bermerk, hotelnya ini juga tak jauh dari kaki bukit Guryong.
Seperti yang sudah semua orang ketahui, meski Desa Guryong telah ditiadakan dari peta Korea Selatan sebab terkenal dengan perkampungan kumuhnya, tapi kini kawasan itu selalu menjadi tujuan lain para wisatawan untuk berkunjung dan menjadi relawan. Selain itu, hotelnya ini juga berada dekat dengan gedung sekolahan milik keluarganya. Karena kini ia bertanggung jawab untuk mengelola dan mengurusnya, keputusannya untuk membeli rumah sendiri di daerah terdekat sejak setahun yang lalu dirasanya cukup benar. Lagi pula, karena suatu alasan pula, ia merasa tidak bisa tinggal di rumah mewah peninggalan ayahnya dan akhirnya pergi dari sana, membiarkannya kosong tak berpenghuni. Di sana juga terlalu banyak kenangan yang membuatnya sulit untuk bangkit.
"Woooh? Apa itu? Seperti tempat pembuangan sampah!"
Jae mengikuti arah pandang mata Kim begitu pria itu terkejut menatap ke sebuah arah. Mereka berjalan ke bagian belakang gedung dan bisa melihat lapangan terbuka yang amat luas dan dikelilingi banyak tanaman. Tidak jauh dari sana, ada sebuah sungai keruh dan deretan rumah yang mengelilinginya. Rumah-rumah tak beraturan dengan genting-genting atapnya yang kotor dan penuh dengan sampah. Di sudut sungai ada gundukan sampah yang menggunung. Sangat menyeramkan. Jae sudah pernah melihatnya saat beberapa stasiun televisi meliput kondisi desa itu. Mungkin bagi Kim yang sejak kecil tinggal di New York karena orang tuanya bekerja di sana sebagai tenaga kerja asing, pemandangan memilukan itu adalah hal yang baru dilihatnya kendati Kim sendiri penduduk asli Seoul.
"Itu permukiman," timpal Jae.
"Ya, permukiman yang kumuh," tambah Kim. "Aku tidak percaya tempat seperti itu benar-benar ada!"
"Tuan, di sini akan kami buatkan sebuah gudang dan kantor untuk memantau CCTV yang akan dipasang di setiap sudut ruangan." Seseorang yang Jae percayakan untuk menjadi pengawas konstruksi berjalan di depan dan mencoba melakukan pekerjaannya.
Kim berjalan di sampingnya sementara Jae mengedarkan pandangannya pada tempat yang ditunjukkan padanya. Ia mempelajari dan mulai memikirkan suatu gagasan. Sesekali Kim ikut campur. Dia bertanya pada pimpinan konstruksi dan kali ini Jae membiarkannya, karena di sisi kebiasaannya yang suka sekali mencampuri urusan Jae, terkadang Kim tanpa sadar mewakili apa yang ingin Jae katakan juga.
"Jaga ucapanmu!"
Kepala Jae sontak berputar cepat, melempar pandangan ke luar gedung. Seseorang berteriak. Suara perempuan yang lantang dan penuh amarah.
"Jika kau tidak bisa menghormati orang yang lebih tua, maka jangan pernah sekali-kali menghina orang tua!"
Di tengah lapangan, di kejauhan sana, di belakang pohon, Jae melihat seorang perempuan berdiri di sisi sepeda kayuh yang tergeletak di tanah dan empat pemuda menghadapinya.
"Waaah, dia marah!"
"Hey, hey! Ternyata ... perawan tua ini cantik juga, ya!"
Jalan Jae memelan dengan sendirinya. Tampaknya terjadi sesuatu di sana. Kendati dari kejauhan dan berada di tempat yang lebih tinggi, Jae masih bisa mendengar samar-samar apa yang mereka katakan. Sepertinya para remaja itu mencoba menggoda perempuan di sana. Jae tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajahnya, tapi Jae yakin perempuan itu sedang terancam.
"Sayang sekali harus berjualan kue!"
"Apa lagi yang bisa dia jual? Bahkan meski harus menjual dirinya, para pria pun akan berpikir ulang untuk membelinya!"
"Anak kurang ajar!!"
Plaaaak!
Oh? Perempuan itu menampar pipi salah seorang dari mereka dengan sangat keras. Jae terkejut. Hanya dengan mendengar suaranya, Jae tahu itu pasti sangat menyakitkan. Tak sadar, langkahnya tertahan dan ia tiba-tiba merasa khawatir tanpa alasan.
"Kau berani menamparku?" Pemuda di sana tercengang-cengang memegangi pipinya.
"Jika sekali lagi kau berani menghinaku, maka aku akan menghajarmu!" Perempuan itu mengancam sambil mengangkat telunjuk.
"Menghajarku? Apa kau seberani itu, huh?"
"Kau pikir aku takut, hah?" Perempuan itu mengangkat tangannya kembali tapi pemuda lain menahannya di udara. Dan satu anak lagi mengambil tangannya yang satunya, mencengkeramnya.
"Lepaskan!" Dia berteriak, memberontak.
Sial. Sepertinya itu tidak akan baik. Bagaimana Jae bisa menahan diri untuk tidak terlibat, sedangkan ia melihat dengan matanya bahwa perempuan yang di sana itu telah membahayakan dirinya sendiri? Mengerti sesuatu yang lebih buruk akan terjadi di depan matanya, Jae pergi dan berlari ke arah belakang tanpa meninggalkan pesan.
"Lho? Tuan? Di mana Tuan Jae? Apa kau melihatnya?"
"Tidak. Tadi dia di sini."
"Aku juga tahu tadi dia di sini! Tapi di mana dia sekarang?"
Jae berlari secepat mungkin menuruni gedung, berharap dapat mencegah hal buruk yang akan terjadi di lapangan itu. Bukan berlagak sok menjadi pahlawan, tapi melihatnya dalam situasi seperti itu, apakah Jae harus diam saja sedangkan ia tahu seseorang sedang terancam? Tidak. Jae harus mencegahnya!
Ketika Jae sampai di tempat kejadian, ia merasa beruntung karena keempat bocah liar itu sedang berlari ke arahnya, mungkin melarikan diri. Mereka tertawa puas sambil membawa sebuah kalung dan menunjukkannya pada perempuan di sana. Perempuan itu masih ada di tengah lapangan, dia terduduk di tanah sambil menangis tanpa suara.
"Berhenti!" pekik Jae sontak saja menghentikan laju keempat berandalan di depannya.
Mereka berbalik, tertegun melihatnya.
"Kembalikan benda itu padanya atau kalau tidak, dalam lima menit polisi akan datang meringkus kalian semua!" tegasnya menggertak.
Gelagapan, mereka berempat saling melempar pandang, bingung dan Jae bisa melihat mereka mulai ketakutan dengan ancamannya. Geram dengan sikap polos mereka yang berlagak seperti preman, Jae pun berjalan mendekat. Ia merampas kalung dari tangan salah seorang pemuda dengan tatapannya yang mengerikan.
"Dasar tidak bermoral!" Jae baru menceletuk dan keempat bocah dengan penampilan kucel itu berlari ketakutan.
Mereka semuanya kabur ke segala arah. Jae tidak habis pikir, kenapa anak-anak muda itu ingin menjadi penjahat jika digertak saja sudah ketakutan? Sepertinya mereka hanya bocah ingusan yang mencoba untuk menjadi dewasa dengan menjadikan para perempuan yang tidak berdaya sebagai korbannya. Jae merasa beruntung ia tumbuh dengan benar.
Eh? Jae tercenung untuk beberapa saat begitu ia mengangkat kalung di tangannya, memperhatikannya dan sebuah ingatan muncul begitu saja di otaknya. Kalung dengan bandul permata berwarna hijau. Kalung ini? Sama seperti kalung yang ia lihat di toko perhiasan beberapa saat yang lalu. Kalung yang dibeli oleh seorang wanita dengan uang recehan dan dia pula yang telah mencoreti kemeja Jae dengan pena. Jadi ... apakah itu dia? Jae mengarahkan matanya pada perempuan yang masih terduduk di tanah, di tengah lapangan. Di sana dia masih menangis di samping sepedanya yang terbengkalai.
Jae menghampirinya. Ia berhenti tepat di depan wanita itu dan mengulurkan kalung dari tangannya. "Apa ini milikmu?"
Isak tangisnya langsung mereda. Wanita itu sedikit mengangkat wajahnya dan melihat kalung yang menggantung di depan matanya. Rambutnya penuh dengan gula pasir, dia sangat kacau, sesuatu yang tidak menyenangkan pasti telah terjadi padanya. Bagaimana bisa anak-anak muda itu sampai berani menggoda wanita yang lebih dewasa dari mereka? Jae menunggunya. Menunggu untuk apa, ia tidak tahu. Wanita itu tidak lekas mengambil miliknya dan mungkin yang ditangisinya. Entah apa yang dipikirkannya, dia hanya terdiam dan terus menatap kalungnya, atau mungkin jam tangan milik Jae?
"Kau baik-baik saja?" Jae ingin memastikan, tapi dalam sekejap napas, wanita itu mengambil kalung di tangan Jae dengan gerakan cepat hingga Jae tersentak.
Dia berputar arah lalu merangkak mengambil tas yang tergeletak di sekitarnya, kemudian membangunkan sepedanya bersama dirinya sendiri tanpa melihat Jae sama sekali. Seolah marah, entah kepada siapa atau mungkin juga malu, dia menaiki sepedanya dan mengayuh pedalnya dengan cepat ke arah seberang. Dia pergi semakin jauh dari Jae tanpa berkata apa pun.
Jae tercenung.
Ini adalah yang ketiga kalinya Jae bertemu dengannya tanpa sengaja dalam satu waktu. Ia tidak mengerti kenapa wanita itu begitu aneh. Dia berbeda dari wanita yang seharusnya. Dia selalu menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya. Jae berpikir, apakah Jae menakutinya? Sepanjang sejarah, tidak pernah tercatat ada wanita yang takut melihatnya. Mereka bahkan ingin selalu melihatnya, tapi ... ada apa dengan wanita itu?
Namun ... Jae lebih tidak mengerti lagi dengan apa yang ia rasakan. Ia tidak mengerti sejak kapan ia mau peduli pada masalah orang lain. Ketika melihat wanita itu dibully, Jae hanya merasa hatinya ingin melibatkan diri untuk menolongnya.
*****