Chereads / Perawan Tua Untuk Tuan Muda / Chapter 7 - Terbiasa Terhina

Chapter 7 - Terbiasa Terhina

Sudah cukup untuk hari ini. Shin sudah menuntaskan pengiriman kue. Ia telah bekerja keras, bangun dini hari untuk membuat kue dan singgah di beberapa tempat. Kini ia menyusuri jalanan setapak untuk mengakhiri aktivitasnya hari ini di luar rumah. Bersiap istirahat sejenak, ia tidak sabar ingin segera tiba di rumah sambil menunggu sang adik pulang dari sekolah. Mungkin terlihat membosankan, tapi Shin tidak ingin melakukan banyak perubahan untuk saat ini. Dengan menjalani setiap harinya yang sama dan selalu begitu, adalah cara Shin bertahan hidup. Karena setiap perubahan, selalu membawa pengaruh tak baik untuknya.

Berhenti di sebuah toko kecil yang terletak di tengah permukiman warga, Shin turun dari sepedanya, sepeda kayuh tua yang selalu menemaninya mengantar kue-kuenya sampai ke pelanggan. Beruntung Shin tidak harus menjajakannya. Ia hanya menjualnya ke beberapa kafe minuman yang ada di pusat Gangnam-gu. Untuk bisa sampai ke sana, Shin hanya perlu menempuh jarak beberapa meter saja dari tempat tinggalnya. Shin akan mengantarnya sesuai waktu yang diminta dan dengan jumlah yang telah ditentukan. Mereka akan menawarkan kue Shin untuk menu camilan di tempat mereka. Tentu bersama banyak pilihan kue yang lainnya, kue yang dikirim dari penjual lain. Meski harus bersaing, Shin selalu percaya pada keberuntungannya.

"Aah, si perawan tua!"

Shin baru memijakkan kakinya di depan kios dan salah seorang pembeli berseru kepadanya. Ia tertegun sesaat dan merasa terpukul lagi. Shin tidak peduli. Ia mengulas senyumnya untuk orang itu dan terus melangkah maju.

"Bibi, gulanya satu kilo saja," katanya pada pemilik toko.

"Baiklah, ini. Ada lagi?"

"Tidak, terima kasih."

Shin pergi setelah membayarnya dengan uang yang ia dapat dari penjualan kue yang ia kirim terakhir kali. Namun mereka tidak berhenti. Mereka mulai lagi membicarakannya, dan langkah Shin pun bergerak perlahan ...

"Dasar tidak tahu diri. Jika aku jadi dirinya, aku akan pergi dari kampung ini atau lebih baik mati bunuh diri."

"Sudahlah, dia sudah mendapatkan balasan atas perbuatan ibunya. Mau dihukum seberapa berat lagi? Biarkan dia hidup, nantinya dia juga akan mulai berpikir untuk mengakhirinya," ujar si pemilik toko menimpali.

"Ya ... tapi semua orang di sini muak setiap melihatnya. Kau tahu, sejak kematian ibunya, banyak warga yang mengalami kesialan! Lagi pula ... apa dia tidak bosan dengan hidupnya itu? Tidak akan ada pria yang berani mendekatinya apalagi untuk menikahinya, jadi kemungkinan untuk dapat mengubah hidupnya itu sudah tidak ada!"

"Seandainya ada, apakah itu artinya kutukan itu tidak benar? Dan itu berarti bisa saja ibunya juga tidak bersalah!"

"Tidak benar bagaimana! Sampai saat ini apa pria yang dimaksud telah menikahi ibunya itu pernah datang, walau hanya sekadar mengakui adiknya, hah? Itu artinya ibunya telah berbohong! Jika sampai ada pria yang mau menikahi mereka, pria itu pasti sudah buta! Pria itu pasti tuli sehingga tidak bisa melihat dan mendengar apa pun tentang keburukannya!

"Saat ini sudah jelas, kan, dia sudah berkepala tiga, dia sekelas dengan putriku saat masih bersekolah. Putriku sudah menikah dan punya anak di usia kedua puluh empat tahun. Tapi dia? Karena karma, dia harus menanggung akibat dari perbuatan ibunya! Setiap ibu takut anak laki-lakinya akan dicampakkan karena pria lain jika sampai menikahinya. Atau kalau tidak, dia memang tidak ingin menikah karena takut suaminya nanti direbut wanita lain! Sungguh memalukan!"

Shin memegangi lehernya yang terasa tercekik, berusaha menelan ludah, menyiram api di dadanya. Namun ia kesulitan bernapas. Pada akhirnya air mata itulah yang jatuh membasahi kesakitannya. Selalu saja begitu. Shin mempercepat jalannya lalu pergi membawa sepedanya. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar dirinya dihina. Ia hanya bisa bersabar dan terus maju. Sebab jika ia memilih untuk berbalik dan menyerang, maka setiap tempat tidak akan pernah ia singgahi. Mereka tidak pernah bisa menerimanya. Shin akan selalu kalah.

Ia berjalan tertatih dari luka yang semakin memburuk dalam hatinya. Ia menuntun sepedanya dengan penuh usaha untuk dapat melewati setiap jengkal dan meninggalkan ingatan pahit dalam benaknya. Shin ingin berlari, ia ingin segera menghilang dari pandangan orang-orang tercela itu. Untuk membawa dirinya yang penuh dengan keburukan di mata mereka sungguh terasa berat. Shin merasa ... ia mulai membenci dirinya sendiri.

*****

"Lihat, perawan tua bekerja siang dan malam demi mendapatkan seorang suami!"

Ketika melewati lapangan yang di beberapa sudut dihiasi tumpukan sampah, sekumpulan anak remaja laki-laki melontarkan sebuah hinaan. Langkah Shin terhenti seketika di depan mereka. Shin menoleh ke arah bocah si pemilik suara yang telah berani mencercanya.

"Anak muda, jaga kesopananmu!" Karena alasan itulah Shin menjadi gusar dan tidak ingin diam. Mereka sebaya dengan adiknya dan Shin merasa perkataan pemuda itu sungguh tidak pantas untuk dikatakan oleh anak seusianya.

Bocah itu malah menantang. Dia maju, membusungkan dadanya sambil mengangkat dagu. "Kenapa? Apa aku bicara salah?"

"Tidak. Memang benar, kan, kalau dia itu perawan tua!" sahut salah seorang temannya. Mereka berempat dan terlihat tidak takut sama sekali pada Shin yang lebih tua.

Shin berang, "Apa orang tua kalian tidak mengajari kalian cara menghormati orang yang lebih tua?"

"Tentu saja kami sangat menghormati orang tua, tapi tidak dengan perawan tua!" Anak muda lain menjawab, memperjelas setiap kata. Lalu ketiga temannya yang lain menertawakannya.

"Dasar anak-anak kurang ajar!" Shin menggumam. Kemarahannya terbit dan ia merasa ingin memberontak.

"Hey, kenapa kau marah? Justru kami tahu kalau kau itu perawan tua dari orang tua kami!"

"Ya, benar!"

Mereka semua tergelak, menertawakannya.

"Dasar anak tidak tahu diri!" pekik Shin hilang kendali. Saat ini ia tidak ingin diam lagi. Mereka anak-anak yang masih kecil dan begitu berani menghinanya tanpa menyesal. Kedua matanya mulai berembun dan Shin ingin menampar keempat pemuda itu dengan tangannya sendiri.

Akan tetapi, mereka terlalu berani ... "Hey, apa kau bilang? Kaulah yang tidak tahu diri! Semua pria telah menolakmu, tapi kau tidak punya malu berkeliaran di sini. Dan sekarang kau mencoba menggoda kami yang masih muda. Apa ... itu adalah didikan dari ibumu?"

Terkejut, Shin menggeram. Ia melepaskan sepedanya hingga terguling ke tanah untuk menghadapi keliaran mereka. "Jaga ucapanmu!"  bentaknya tak tertahankan. "Jika kau tidak bisa menghormati orang yang lebih tua, maka jangan pernah sekali-kali menghina orang tua!" Ia tidak peduli tas dan gula yang baru saja ia beli dalam keranjang sepedanya jatuh ke tanah.

"Waaah, dia marah!"

"Hey, hey! Ternyata ... perawan tua ini cantik juga, ya!"

"Sayang sekali harus berjualan kue!"

"Apa lagi yang bisa dia jual? Bahkan meski harus menjual dirinya, para pria pun akan berpikir ulang untuk membelinya!"

"Anak kurang ajar!"

Shin melangkah maju dan sebuah tamparan keras ia layangkan tepat ke pipi bocah yang telah berani berkata kasar padanya. Setelah itu, Shin tidak pernah merasa selega ini dalam hidupnya. Kesakitan dalam dirinya tiba-tiba menguap dan membentuk suatu keberanian. Mereka sudah terlalu lancang padanya.

"Kau berani menamparku?" Pemuda itu tercengang-cengang menatap Shin dengan berang.

"Jika sekali lagi kau berani menghinaku, maka aku akan menghajarmu!"

"Menghajarku? Apa kau seberani itu, huh?"

"Kau pikir aku takut, hah?"

Shin mengangkat tangannya kembali tapi pemuda lain menahannya di udara, dan satu anak lagi mengambil tangan Shin yang satunya, mencengkeramnya.

"Lepaskan!" Shin berteriak, memberontak.

Ia mengentak kedua tangannya berupaya melepas, tapi genggaman kedua bocah tidak tahu diri itu tidak bisa dibilang lemah. Mereka cukup kuat sehingga Shin sulit meloloskan diri. Perasaannya mulai terancam ketika melihat pemuda yang telah ia tampar mengambil tas milik Shin di dekat keranjang sepeda. Shin memekik, tapi mereka mulai menjadi-jadi. Anak kurang ajar itu mengeluarkan seluruh isi tas Shin.

Dia membuang buku catatan pelanggan milik Shin dan benda-benda tak berharga, tapi penting bagi Shin karena selalu membantunya setiap hari seperti pena, kalkulator dan keperluannya untuk mengantar kue. Sementara satu anak lagi mengambil gula yang baru saja Shin beli, menyobek bungkusnya, membuang seluruh isinya ke tanah. Shin terbelalak, ia berteriak pada anak-anak nakal yang menganggapnya seperti mainan itu.

Shin seolah menemukan kekuatan pada saat pemuda yang telah menghina harga dirinya itu mengambil dompetnya dan mengeluarkan kalung dari sana. "Tidak!!" Shin berhasil melepaskan tangannya dan beranjak untuk menyelamatkan kalung yang rencananya akan ia hadiahkan untuk Bibi Ri di hari ulang tahunnya malam ini.

"Waah, dia menyimpan kalung!"

"Kembalikan barang itu padaku!" Shin berteriak geram dan terancam.

Bocah tak tahu aturan di sana menjauh dari serangan Shin. Dia menggantung kalung Shin di udara, di depan wajahnya dengan sebuah rencana licik dari matanya.

"Cepat kembalikan padaku!" Shin menangis tanpa sadar. Ia takut mereka akan mengambil kalung itu dan tidak mau memberikannya pada Shin, dan impiannya untuk membuat Bibi Ri senang pun akan hancur.

Ia menyerang mencoba merebut kembali miliknya, tapi para remaja brutal itu semakin mempermainkannya. Mereka melempar kalung Shin secara bergantian ke masing-masing anak. Hebatnya, mereka bisa menangkap kalung itu dengan tepat hingga Shin kerepotan mengambil alih. Shin ditertawakan, tapi ia tidak peduli. Penting baginya untuk mengambil kembali miliknya. Kalung itu adalah impiannya selama ini, satu-satunya cara untuk berterima kasih kepada bibinya.

Ketika Shin berusaha merebut kalungnya kembali dari tangan salah seorang bocah, bocah itu tiba-tiba mengambil segenggam gula yang sempat dibuangnya ke tanah dan tanpa kesadaran dari pengawasan Shin, dia melempar serbuk manis itu ke wajah Shin dengan sengaja. Beruntung Shin sempat memejamkan mata seketika, tapi tak mampu menghindari bulir-bulir gula putih itu dalam waktu secepat ini. Gula itu tersirat ke wajah dan rambut Shin dengan sangat kejam. Shin sontak mengusap bagian matanya untuk mendapatkan penglihatannya kembali. Saat berhasil, ia mendapati keempat pemuda berandalan itu telah melarikan diri, membawa kabur kalung milik Shin. Saat itu pun hilang sudah kesempatan Shin untuk melihat senyuman di bibir Bibi Ri.

Akhirnya, tangisnya pun pecah.

Shin terduduk lemah di tanah dengan penyesalan yang teramat dalam. Ia menangisi kebodohannya. Seharusnya ia bisa menahan diri. Seharusnya ia tidak perlu mendengarkan mereka. Seharusnya ia tidak melawan dan tetap berjalan pada arahnya, tapi mereka terus menerus menancapkan jarum di lukanya, membuat Shin seakan lupa pada posisinya. Ia keluar dari tempatnya dan memutuskan untuk menjadi pemberontak. Kini, akibat dari pembelaannya, ia harus kehilangan benda berharganya. Kesabarannya selama ini menjadi percuma. Sungguh, Shin menyesali dirinya sendiri.

*****