Ragu-ragu Shin memasuki toko perhiasan itu. Toko yang berkilau dengan begitu banyak penjagaan. Ia memasuki toko di depan jalan raya itu seperti perampok yang takut-takut, tetapi juga berharap bisa membawa salah satu perhiasan dari sana begitu keluar. Namun Shin tidak berencana untuk mencuri. Ia bukan pencuri dan sama sekali tidak berpikir untuk itu. Ia sengaja pergi ke tempat itu dengan suatu harapan dapat membahagiakan bibinya, Ri.
Hari ini adalah hari ulang tahun Bibi Ri. Untuk menunjukkan kepeduliannya sekaligus berterima kasih atas segala kebaikannya, Shin berniat memberikannya sebuah hadiah yang indah. Kemarin pagi, ketika pergi ke toko bahan kue Bibi, Shin sempat melihat wanita itu mengamati perhiasan milik temannya. Bibi terlihat begitu tertarik dan ingin memilikinya. Selama beberapa bulan, setiap hari Shin menyisihkan sedikit uang dari hasil penjualan kuenya untuk ditabung. Uang itulah yang akan Shin gunakan untuk membeli. Namun Shin ragu, ia khawatir perhiasan di dalam sana terlalu mahal dan tidak satu pun yang bisa Shin beli dengan uang yang ia bawa secukupnya. Keinginannya untuk melihat Bibi Ri senang, akhirnya membuat Shin berani untuk mencoba.
Ia berdiri di depan etalase panjang yang memajang begitu banyak macam perhiasan setelah lolos melewati pemeriksaan keamanan scurity. Ini adalah pengalaman pertamanya masuk ke toko perhiasan. Shin berdebar. Ia menjadi bingung begitu mengedarkan pandangannya pada koleksi perhiasan yang tertata rapi di dalam etalase. Mereka sangat cantik dan berkilauan. Shin menjelajahi satu per satu benda menggiurkan itu dengan matanya. Aneh, ia merasa tidak satu pun ada yang menarik hatinya.
"Selamat siang, Nyonya." Seorang pramuniaga perempuan berseragam menyapa dengan hangat. "Ada yang bisa kami bantu?"
"Oh? Ya! Aku ... aku ingin sebuah kalung yang ...." Shin mendadak kikuk.
"Ini, lihatlah di sini, Nyonya. Semua ini koleksi kalung dari toko kami. Apa kau ingin desain khusus?"
Shin mengangguk cepat.
"Aku ingin ada bandul permata di tengahnya, tidak perlu permata yang asli, hanya untuk hiasan saja." Ia mengingat kembali kalung milik teman Bibi Ri yang ia lihat kemarin.
"Tentu saja. Aku akan carikan untuk Anda."
"Tapi, tapi! Biasakah ... kau mencarikan kalung dengan gram yang kecil? Yang tidak terlalu berat. Maksudku ...."
"Ah, iya. Aku mengerti. Aku akan mencarikannya."
"Terima kasih."
Sementara sang pegawai toko yang melayaninya beranjak mencarikan perhiasan seperti yang diinginkannya, Shin memutar pandangan ke sisi kiri. Seorang pengunjung pria datang menempati ruang di sebelahnya.
"Ah, Tuan Jae!" Seorang pria paruh baya berdasi keluar dari dalam dan menyambut pelanggannya di sisi Shin dengan wajah berseri. "Selamat siang, Tuan! Kami sudah menanti-nantikan kedatangan Anda sejak tadi. Tuan silakan duduklah dulu, kami akan mengambilkan jam tangan Anda."
"Cepatlah." Pria muda itu menduduki salah satu kursi besi berkaki tinggi yang telah tersedia di depan etalase.
"Baiklah, Anda tunggulah sebentar."
Paman tua itu berlalu kembali ke dalam, datanglah seorang pramuniaga yang lain dan memberikan suguhan untuk pria muda di sebelah Shin. Minuman dingin yang tampak sangat menggoda di tengah panasnya siang ini. Waw, Shin berdecak dalam batin. Dia mendapat pelayanan yang istimewa. Apakah dia sang pemilik toko? Atau pelanggan setia yang sudah terbiasa memborong perhiasan di tempat ini? Shin tidak tahu. Shin tidak mengenalnya dan tentu saja tidak akan mengenalnya. Dia terlihat begitu arogan dan ... kaya. Toko ini sangat ramai. Banyaknya pengunjung dari kalangan atas dan pramuniaga yang bertugas melayani membuat Shin sedikit minder. Sepertinya Shin terlalu berani untuk datang ke sini. Namun demi Bibi Ri ....
"Nyonya, bagaimana dengan yang ini?"
Mata Shin berbinar saat sang pramuniaga datang membawakan sebuah kalung sama seperti yang dibayangkannya. Aaah, itu terlalu indah. Shin mengambilnya dari tangan sang pegawai dan mengamati desain kalung dengan terkagum-kagum.
"Ini sangat indah," gumamnya.
"Sesuai dengan permintaan Anda, kalung beserta liontinnya dengan berat lima gram saja."
"Hah?"
"Itu adalah satu-satunya kalung dengan berat yang terkecil."
"Oh, ngg ... bisa kau beri tahu aku berapa uangnya?" Shin berbisik. Ia cukup tahu diri dan tidak ingin mempermalukan diri.
Pramuniaga itu tersenyum lalu menghitung harga per gram kalung yang dibawanya dengan kalkulator di atas etalase. Kemudian, "Dua ratus lima puluh ribu won."
Ah, itu lumayan terjangkau untuk kalung seindah ini, pikir Shin merasa beruntung. "Baiklah, aku ambil yang ini." Dia begitu antusias. Ia tersenyum membayangkan bagaimana wajah Bibi Ri saat menerimanya. Ini akan menjadi kejutan yang tak terlupakan.
Shin mengeluarkan uang dari dalam dompet kecilnya usai menghitungnya di dalam. Setelah merasa cukup, Shin memberikannya kepada sang pramuniaga. Perempuan itu menghitungnya kembali, Shin merasa sudah tidak sabar ingin segera membawa benda itu pulang.
"Nyonya, uangmu kurang dua ribu won."
"Oh, benarkah? Tunggu sebentar!"
Buru-buru Shin mencarikan tambahan.
Pegawai itu mengatakan uang Shin kurang dua ribu, bagaimana bisa uang dengan jumlah sekecil itu luput dari perhitungan Shin? Ikh, memalukan sekali! Shin membodohi dirinya sendiri sambil merogoh isi dompetnya. Eh? Oh? Tidak ada. Shin menyelipkan penglihatannya untuk masuk ke dalam dompet dan ia sama sekali tidak melihat lembaran uang lagi di sana. Gawat! Benar-benar tidak ada satu pun, walaupun hanya dua ribu saja.
Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi? Hanya ada beberapa uang koin tapi ... apakah itu bisa menolongnya? Shin tahu betul tidak ada uang lagi di dalam tasnya. Semua tabungan di rumah sudah ia bawa berikut uang untuk pegangan Shin sendiri, untuk membeli keperluannya. Semuanya sudah ia berikan pada sang pegawai toko. Jika ia membatalkan pembelian ... tidak, jangan. Hanya dua ribu saja, kan?
Dengan menyingkirkan rasa malunya, Shin terpaksa mengeluarkan logam-logam bernominal seratus won itu dari dompetnya. Ia menuangnya di atas etalase karena sedikit kesulitan mendapatkan jumlah yang diminta. Shin pun menghitungnya satu per satu hingga mencapai dua puluh koin. Aaah, syukurlah! Recehan-recehan itu telah menyelamatkannya. Bahkan masih tersisa dua keping seratus won untuk mengisi kekosongan dompetnya.
"Ini," gumamnya memberikan kumpulan uang recehan itu pada sang pegawai.
Ragu-ragu perempuan itu menerimanya. "Baiklah, aku akan membuatkan suratnya dulu."
"Eh, tunggu!" Shin mencegah sebelum sang pramuniaga beranjak. "Aku ingin melihatnya sekali lagi."
"Oh, tentu." Sang pramuniaga memberikan sebuah kalung yang akan dibeli Shin.
Shin pun mengambilnya, memperhatikan setiap detail desainnya dengan serius. Kalung yang sangat cantik dengan bandul permata berwarna hijau, berbentuk oval, sebesar jempol kaki dan itu cukup mencolok. Shin tidak percaya mampu membelinya dengan uang yang ia tabung selama beberapa bulan ini dan dengan tambahan uang receh.
"Kau tidak perlu khawatir, Nyonya. Ini adalah desain khusus dari toko kami dan hanya ada satu."
Shin tersenyum simpul. "Baiklah. Ngg, tapi tolong jangan panggil aku nyonya, aku belum menikah." Shin agak tersinggung setiap ada orang yang memanggilnya dengan sebutan itu. Berkesan tua dan tentu mereka berpikir Shin sudah menikah. Shin merasa sakit hati mendengarnya meski ia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah merasa yakin, ia memberikan kalung emas itu kembali kepada sang pelayan toko untuk dibungkus.
Napasnya berembus lancar. Tidak apa, meskipun harus bekerja keras dan membayar uang sebanyak itu, Shin merasa lega. Bibi Ri terlalu baik padanya. Shin masih ingat betul saat wanita itu menolongnya. Membawa Shin dan Sora yang masih bayi ke rumahnya, merawat Ibu Shin yang sakit hingga Ibu meninggal dunia. Bibi Ri menjaganya dari kejahatan yang mencoba menjatuhkan Shin. Bibi tetap membelanya walau Bibi tahu kesalahan yang ibu Shin lakukan.
Meski harus kehilangan suaminya, meski harus ditinggal oleh suaminya demi mengasuh Shin dan adiknya, Bibi Ri tetap tidak gentar. Bibi Ri bahkan harus menerima dan merasakan getirnya hidup bersama Shin. Jadi untuk memberikannya sebuah hadiah, adalah hal yang semestinya. Bibi pantas mendapatkannya.
Tenggelam dalam lamunan, Shin membuyarkannya. Saat matanya berkedip, ia tersadar seseorang tengah mengawasinya. Oh! Badannya menegak seketika. Pria di samping Shin! Dia! Kepala Shin berputar cepat ke arah samping, di sisi kiri dan mendapati pria muda itu terkesiap, memandang ke depan sambil menggeragap. Eits, mencurigakan sekali! Shin menatapnya sambil menyipitkan mata. Apa baru saja dia berusaha mengawasi Shin? Apa ... Shin tampak sangat memalukan dan dia mencoba menertawakannya? Payah.
"Tuan, ini jam tanganmu berikut surat garansi resminya." Pria keturunan Cina berkacamata minus yang tadi menyambut pria di sisi Shin, keluar dari dalam membawa sebuah jam tangan berwarna silver.
Pria tersebut mengambil arlojinya dari tangan paman tua itu, menyelidikinya, lalu memasangnya di pergelangan tangan kanan dan membiarkan paman itu berbicara sendiri.
"Ada sedikit goresan di bagian casing bracelet yang melapisi emasnya, mungkin Anda tidak sengaja menjatuhkannya atau membentur benda keras. Tapi Anda jangan khawatir, tim ahli dari kantor pusat sendiri yang telah memperbaikinya di laboratorium mereka. Kami juga mengganti beberapa komponen mesinnya. Untuk selebihnya, baik itu berlian di dalamnya pun masih sangat bagus dan terjaga."
Wooooik?
Shin terbelalak mendengar paman itu memaparkan kondisi jam tangan milik pelanggannya yang baru saja diambilnya dari dalam, mungkin untuk diservis seperti yang dia katakan. Shin ternganga kecil dan sempat tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jam tangan milik pria itu ... terbuat dari emas dan berlian? Waw, astaga ... itu sungguh berlebihan. Sekaya apa pria itu? Jam tangannya tentu besar dan berukuran normal seperti kebanyakan jam tangan untuk pria. Euh, Shin tidak bisa membayangkan berapa berat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan pria itu. Berapa ratus juta yang harus dia keluarkan untuk bisa mendapatkan jam tangan seperti itu?
Diam-diam Shin juga mengamati ketika pengunjung di sebelahnya itu tengah memperhatikan jam tangan miliknya dengan saksama. Shin penasaran dan ingin melihatnya lebih jelas.
"Baiklah, aku akan kirimkan biaya servisnya ke rekeningmu seperti biasanya," katanya enteng, seolah itu adalah hal yang biasa.
"Oh, tentu! Itu adalah masalah mudah. Selama Tuan percaya pada pelayanan kami—"
"Kim, ambil suratnya. Transfer satu juta ke rekeningnya. Dan juga untuk harga kalungmu." Dia berbicara kepada pria yang sedari tadi berdiri di sebelahnya, di sela sang paman berusaha untuk mengunggulkan pelayanan tokonya.
Hah? Satu juta won? Hanya untuk servis jam tangan saja? Gila. Itu malah terasa mengerikan bagi Shin. Untuk dapat mengumpulkan uang sebanyak itu, Shin harus bekerja menjual kue selama lima bulan siang dan malam.
Shin terus menancapkan tatapannya pada jam tangan perak yang menyeramkan itu hingga si pemiliknya turun dari kursi. Dia berputar arah untuk mengambil jalan. Shin masih menundukkan kepala tercenung memandangi sesuatu dari pria itu. Ia termangu-mangu hanya untuk memikirkan sebuah jam tangan. Tidak ada yang istimewa. Jam tangan itu memiliki angka dan dua jarum yang berputar setiap detik seperti jam pada umumnya. Walaupun itu terbuat dari emas dan berlian, kelihatannya sama saja dengan jam tangan yang lainnya. Sekarang ini banyak arloji yang dipasarkan dengan desain yang menarik. Jika disandingkan, akan sangat sulit membedakannya.
Jika dilihat-lihat ... sepertinya Shin pernah melihat jam tangan itu baru-baru ini, bahkan dengan jarak yang sangat dekat. Shin menggali ingatannya sejenak dan ia pun akhirnya tahu. Jam tangan itu sama seperti yang dipakai pria yang menabrak Shin kemarin! Tentu saja Shin masih ingat, karena rasa sakit di lengannya juga masih terasa linu. Apakah itu dia? Pandangan Shin mengikuti ke mana jam tangan itu bergerak ke atas. Pria itu mengangkatnya ke dada dan mengarahkan kepala arlojinya itu tepat ke depan, ke arah Shin sehingga Shin bisa melihatnya dengan jelas.
Oh, tidak!
Tersentak menyadari itu sebuah kesengajaan, Shin terkesiap menatap mata sang pemilik jam tangan sehingga pandangan mereka bertemu. Shin bisa melihat kedua mata sipit itu membidiknya, bibirnya yang kecil menyunggingkan senyuman tipis, rambutnya yang klimis dan kulitnya yang bersih memaparkan wajahnya. Ough! Shin hanya sekejap memandangnya. Lantaran diperhatikan, cepat-cepat Shin berpaling ke depan, menghadapkan dirinya kembali ke arah etalase, antara merasa takut dan memalukan. Astaga, payah, apa-apaan aku ini! Shin tertunduk membodohi dirinya sendiri. Sampai pria itu berlalu dari sisinya, Shin masih tak berani mengangkat wajahnya.
"Nyonya, ini barangmu. Kau bisa mengeceknya sekali lagi."
"Ah, iya. Terima kasih!"
Akhirnya Shin benar-benar keluar dari toko perhiasan itu dengan membawa kalung cantik dari sana. Bibi, ini untukmu, cetusnya dari dalam hatisenang dan bangga. Di depan toko, Shin tidak langsung menuju ke tempat sepedanya diparkir. Ia mengeluarkan buku dan pena dari dalam tas selempangnya.
"Baiklah. Saatnya mengantar kue yang terakhir," gumamnya seraya mencoret tulisan daftar terakhir nama pelanggan yang memesan kuenya. "Setelah itu bisa langsung pulang dan memberi tahu Sora hadiah apa yang sudah kudapatkan untuk Bibi. Bagus sekali."
Debu dan polusi yang beterbangan bergemelut dengan udara di jalan raya kala itu tiba-tiba menyerang penciuman Shin. Napasnya tersumbat dan hidungnya terasa gatal secara mendadak. Shin ternganga merasakan adanya dorongan dari dalam hidungnya. Dalam sekejap, Shin berpaling ke samping untuk bersin. Ia lega setelahnya. Namun, perasaannya berubah begitu matanya terbuka dan seorang pria sudah berdiri di hadapannya. Matanya mengerjap-ngerjap, begitu pandangannya mulai jelas, ia terkejut melihat kemeja putih yang dikenakan orang itu penuh dengan percikan air yang keluar dari hidungnya saat bersin.
Astaga!
Shin membelalak. Terperanjat mendapati pria itu masih menjauhkan wajah sambil menyipitkan mata.
"Ma-maaf! Maafkan aku!"
"Hey, apa-apaan kau ini!" Pemuda lain menceletuk Shin. Mungkin temannya.
"Maafkan aku!"
Mengaku salah, Shin langsung saja mengusap-usap dada pria itu. Ia bermaksud untuk membersihkan percikan menjijikkan itu dari kemejanya. Sialnya, kepanikan Shin membuatnya hilang konsentrasi. Ia menjadi kebingungan dan ceroboh. Begitu tersadar, hah! Shin sontak memekik kaget melihat kemeja putih pria itu penuh dengan coretan pena. Bersamaan, ia melempar pena dari tangannya ke sembarang arah.
"Hey! Apa yang kau lakukan?" Teman dari pria itu maju dan memarahi Shin.
"Aduh! Maaf! A-aku sungguh minta maaf, aku tidak sengaja!"
Payah! Karena panik, ia membersihkan kemeja orang itu dengan tangan yang masih memegang pena. Akibat kecerobohannya itu, kemeja pria itu menjadi sangat kacau. Tinta pena telah mencemari pakaiannya yang semula bersih. Dengan tangan gemetar Shin pun berusaha membersihkannya kembali, akan tetapi malah membuat nodanya kian becek dan menyebar ke mana-mana.
"Lihat! Astaga ... Dia membuatnya semakin kotor!"
"Maaf, aku sungguh tidak sengaja!" Shin merasa matanya hampir menangis. Ia tertunduk ketakutan.
"Apa kau tidak bisa berhati-hati? Kau merusak kemejanya!"
"Sudah, Kim. Sudah, biarkan saja. Aku bisa mengganti pakaianku lagi." Si pemilik kemeja menyela.
"Tapi, Tuan!"
"Tidak apa."
"Aku minta maaf." Shin membungkuk, menyesali kecerobohannya.
Orang itu berbalik meninggalkan Shin dan kepala Shin masih saja tertunduk tak menemukan keberanian untuk menampakkan wajahnya.
"Beruntunglah kau, tuanku sangat baik!" Lagi-lagi teman pria itu menceletuk Shin.
Dia bilang tuan-nya? Shin menaikkan bola matanya untuk mencari tahu seperti apa wajahnya karena dia terus saja menyalahkan Shin dan memarahinya, sedangkan si pemilik kemeja yang sudah Shin cemari dengan percikan ingus dan tinta pena tidak berkata apa pun untuk meminta pertanggungjawaban atau sekadar menggerutu. Tuan ...? Tuan itu, dia berjalan menuju ke sebuah mobil sport putih yang terparkir di tepian bahu jalan. Mobil yang sama seperti yang menabrak Shin kemarin.
Jadi benar orang itu .... Dia berjalan santai dengan lengan kemeja putih yang tersingsing dan celana formalnya berwarna hitam, bersama seorang pria lagi di belakangnya, yang mungkin adalah pelayan atau asistennya. Ketika pandangan Shin menuruni lengannya, ia malah melihat jam tangan di pergelangan tangan kanannya sama dengan jam tangan mengerikan yang ia lihat di dalam toko. Arloji berbahan emas dan berhias berlian, itu sangat mengerikan bagi Shin. Sekali lagi pria itu memaafkan Shin. Dia benar-benar orang baik, pikir Shin.
*****