"Tuan Jae, lihat! Nyonya mengirim banyak daftar lamaran untuk Anda! Mereka juga menyertakan foto dan keterangan data diri. Semuanya adalah gadis yang cantik, berpendidikan dan memiliki karier yang bagus. Nyonya telah menyeleksi dan menyisakan sepuluh gadis untuk Anda pilih. Mereka adalah gadis terbaik dan dari keluarga baik-baik. Wah, ada gadis dari Itali juga! Dia seorang chef dan menguasai lima bahasa asing! Apa Anda tertarik ingin melihatnya?"
Kim, asisten Jae itu terus saja mengeluarkan kalimat-kalimat membosankan dari mulutnya sejak mereka meninggalkan rumah. Setiap hari membicarakan hal yang sama dan Jae sama sekali tidak tertarik untuk menanggapinya. Memilih salah satu dari sekian banyak lamaran gadis-gadis yang ingin menikahinya, bercanda? Menikah adalah hal yang serius, bagaimana bisa Ibu menjadikannya seperti sebuah ajang pencarian bakat? Menikah adalah sesuatu yang tidak main-main dan jauh dari keinginan Jae saat ini. Seandainya itu adalah hal yang harus dijalaninya sekarang juga, maka Jae ingin mencarinya sendiri. Jae yang akan melamarnya sendiri.
Jae sudah katakan itu pada ibunya di New York. Ia telah meminta Ibu untuk menghentikan rencananya dengan membuka audisi konyol bagi para orang tua yang ingin mencalonkan putrinya sebagai istri Jae. Bahkan Ibu menyiarkan pemberitaan itu secara langsung dalam akun fans klubnya saat Jae masih menjadi seorang pembalap, tanpa sepengetahuan darinya. Akun itu dibuat oleh para pendukungnya saat Jae masih aktif dalam dunia balapnya. Mereka membuatnya tanpa seizin Jae dan kerap kali mengunggah foto Jae saat sedang berada di arena balap untuk dijadikan konsumsi publik.
Sebenarnya Jae tidak pernah menyukainya, bahkan sang ibu menyiarkan kabar tentang pencarian calon istrinya di akun itu pun, Jae baru mengetahuinya dari Kim. Jae tidak menyangka saat ia melihatnya sendiri, akan ada begitu banyak antusiasme dari para gadis untuk mengikutinya. Astaga ... Jae benar-benar tidak habis pikir setiap mengingatnya. Selain dapat mempermalukan diri sendiri, Jae bukanlah seorang selebriti yang kehidupan asmaranya harus dipublikasikan. Menjadi pembalap hanya hobi, Jae tidak mendambakan popularitas. Namun karena Ibu adalah seorang penyanyi dulunya dan namanya masih cukup dikenal hingga saat ini, hal itu menjadi salah satu faktor lain yang mendukung Jae untuk menjadi perhatian masyarakat. Mereka juga menganggap setiap bagian dari hidup Ibu termasuk Jae pun layak untuk dikulik. Mereka terus membicarakan Jae setiap hari di situs internet dan grup media sosial. Ya Tuhan, Jae tidak menyukai itu. Ia ingin marah.
Sejak perceraian kedua orang tuanya lima belas tahun silam, membuat Ayah dan Ibu Jae saling bersitegang dan bersikukuh dalam urusan mendidik Jae. Ayah yang memenangkan hak asuh anak atas diri Jae sebagai anak tunggal, karena sebenarnya Ibu memang tidak pernah benar-benar ingin mengurus Jae. Jae sempat merasa beruntung kala itu. Ia pun besar dalam didikan sang ayah dan bebas menggeluti hobinya bermotor yang akhirnya menghantarnya menjadi seorang pembalap profesional dan disejajarkan dengan pembalap nasional lainnya. Ia merasa sangat senang kala itu dengan apa yang dijalaninya. Ia bangkit setelah dua tahun sebelumnya harus terpuruk atas kepergian ayahnya akibat sakit yang diderita.
Tiga tahun lalu, kecelakaan yang dialaminya memaksanya untuk mengundurkan diri dari profesi itu, dan ia pun harus rela melepaskan kesempatan untuk menjadi wakil dari negaranya dalam adu balap internasional yang akan diikutinya beberapa hari setelah itu di Amerika. Akhirnya, Jae tidak punya pilihan lain lagi selain meneruskan bisnis ayahnya.
Kini di usianya yang baru memasuki tahun ke-30, ia telah menjadi seorang komisaris dari beberapa bisnis perhotelan peninggalan ayahnya. Jae sedih saat itu karena merasa harus menerima dan menjalani semua itu seorang diri, tapi ia berusaha bangkit untuk menjaga apa yang telah Ayah percayakan padanya. Namun kepergian Ayah agaknya menjadi peluang untuk Ibu kembali mengambil alih Jae. Walaupun Jae telah menolak tinggal bersama ibunya di New York, Ibu masih saja keras kepala ingin mengatur kehidupannya, bahkan untuk urusan pasangan.
Ibu semakin bersikap protektif dengan mengirim Kim untuk mengawasinya. Kini ia pun harus tinggal bersama pria itu dan bertemu dengannya setiap hari. Dia akan selalu ada di setiap kaki Jae melangkah. Dia bak sepatu yang harus dipakai Jae ke mana pun Jae pergi. Dia seperti bayangan yang terus mengikutinya. Terkadang Kim juga seperti hantu yang meneror Jae setiap Jae ingin melakukan sesuatu yang dilarang oleh ibunya. Aaakh, menjemukan!
"Tuan Jae, apa Anda mendengarku?"
Jae masih tidak berpaling. Ia fokus menyetir, membiarkan pria dengan usia lima tahun lebih muda darinya itu bicara sesuka hatinya. Ia menepikan mobilnya di pinggiran jalan raya, memarkirnya tepat di depan salah satu toko yang berderet di sepanjang jalan.
"Oh?"
"Kita berhenti sebentar. Aku akan mengambil jam tangan yang aku serviskan di tempat ini kemarin."
"Kemarin ... bukankah kita tidak ke sini?"
"Petugas dari toko datang mengambilnya di rumah."
"Ow, tapi ... kenapa di sini, Tuan? Kenapa ... Anda tidak mencari tempat yang lebih baik dan menjamin?"
Jae menatap Kim dengan tatapan yang tajam. Ia tidak suka jika pria berkacamata minus itu mulai mengomplain dan mengatur urusannya. Karena hal itu juga, yang terkadang memaksa Jae untuk memanfaatkan pemuda itu supaya mengerjakan tugas darinya.
"Maksudku ... ini adalah toko perhiasan, untuk melakukan servis arloji Anda, seharusnya Anda membawanya ke toko khusus jam tangan," ujar Kim takut-takut.
"Biarpun ini adalah toko perhiasan, tapi mereka juga menawarkan jasa reparasi khusus untuk jam tangan asli. Karena jam tanganku itu bukan jam tangan sembarangan. Di sini, setiap mesin jam dibongkar sepenuhnya dan setiap cangkang juga bracelet dikilapkan lagi dengan teliti untuk mengembalikan kilaunya. Akurasi pencatatan waktu dan kekedapan air diuji secara ketat untuk menjamin tingkat kualitas dan keandalan yang sewajarnya. Mesin jam dibongkar dan masing-masing komponen dibersihkan secara ultrasonik menggunakan larutan formulasi khusus.
"Mereka akan memeriksa secara cermat setiap individu komponen mesin jam dan mengidentifikasi komponen mana yang perlu diganti. Yang digunakan hanya komponen pengganti asli yang dipasok langsung dari kantor pusat. Fungsional dari mesin jam dilumasi dengan cermat untuk meminimalkan gesekan dan mencegah aus menggunakan pelumas mutakhir, untuk memastikan bahwa mesin jam tangan akan terus bekerja dengan akurat. Cangkang jam diuji secara ketat untuk memastikan persyaratan tahan-tekanan terpenuhi.
"Melalui proses tiga tahap, uji kedap udara, uji tekanan dan uji kondensasi akan mengungkapkan sekecil apa pun tingkat kelembapan di dalam cangkang. Pemeriksaan kualitas yang ketat dilakukan di setiap tahap proses penyervisan. Selama pemeriksaan akhir, cadangan daya, akurasi waktu dan penampilan estetis jam tanganku akan dipastikan terakhir kali apakah sesuai spesifikasi pabrik untuk menjamin standar kualitas setinggi mungkin. Tidak hanya itu, setelah servis lengkap, jam tanganku akan dilindungi garansi servis selama satu tahun," ujar Jae memaparkan, dengan serius tapi datar.
"Karena perlu kau ketahui, jam tanganku ini sekelas jam tangan Patek Phillippe yang terbuat dari emas dan dilapisi dengan casing stainless steel, dan hanya ada empat seri di dunia. Karena kantor resmi pelayanan servisnya berada di luar kota, jadi aku memilih tempat ini. Nyonya besarmu pasti lupa memberitahumu soal ini. Tapi, aku rasa dia sendiri juga tidak pernah tahu ini. Lain kali kau harus ingatkan aku untuk membersihkan benda kesayanganku ini setiap satu tahun sekali. Itu pun jika kau masih bekerja untukku, mengerti?"
Kim tampak menelan ludah setelah sempat tercengang-cengang mendengarkan penjelasan dari Jae mengenai jam tangannya. "Me-mengerti, Tuan. Maafkan aku."
Pria itu mengikutinya begitu Jae turun dari mobil dan memasuki toko perhiasan yang dituju. Memang, ia memiliki satu jam tangan kesayangan yang selalu melingkar di pergelangan tangan kanannya. Arloji itu pemberian dari ayahnya ketika Jae berhasil menjadi pemenang di kejuaraan balap nasional. Jae selalu memakainya dan merawatnya. Ia tidak akan membiarkan benda itu rusak. Kepergian Ayah sungguh membuatnya terpukul dan merasa kehilangan. Jae tidak ingin merasa tidak memiliki pegangan kala ia terpuruk. Jam tangan itu seperti teman baginya. Dia seperti Ayah yang akan selalu mengingatkan Jae setiap waktu yang berharga.
"Ah, Tuan Jae!"
Sang pemilik toko langsung menyambut kadatangan Jae dengan antusias. "Selamat siang, Tuan. Kami sudah menanti-nantikan kedatangan Anda sejak tadi."
Jae terdiam dan hanya menatap lurus ke arah sang pemilik toko tanpa ekspresi. Ketika ia menyerahkan arlojinya ke tangan orang lain, itu berarti ia telah memberikan tanggung jawab yang besar. Lalu seperti biasa, sang pemilik toko selalu menyambutnya dengan wajah berseri seakan-akan Jae telah memberinya suatu kehormatan.
"Tuan silakan duduklah dulu, kami akan mengambilkan jam tangan Anda."
"Cepatlah." Jae memutuskan untuk menduduki kursi tinggi di dekatnya.
"Baiklah, Anda tunggulah sebentar." Si pemilik toko berlalu masuk ke dalam ruangan pribadinya.
Ia duduk di depan etalase yang memajang berbagai macam perhiasan dengan penjagaan ketat dari beberapa security dan pengawasan CCTV. Sementara Kim tetap berdiri, tercengang-cengang melihat ke sekelilingnya. Dia terlihat terkejut begitu salah seorang pegawai mengantar segelas minuman dingin untuk Jae. Lima bulan bekerja pada Ibu untuk mengawal Jae rupanya belum cukup untuk membuat pria itu terbiasa dengan keseharian Jae di luar rumah. Ada banyak hal yang baru dilihatnya sebab beberapa bulan terakhir, Jae lebih sering di rumah untuk suatu urusan.
Menerima perlakuan istimewa bukanlah menjadi hal yang aneh lagi bagi Jae. Mereka sendiri yang ingin melayani Jae dengan alasan mereka juga melakukan hal yang sama pada mendiang ayahnya. Kim, dia putra sulung dari empat bersaudara. Kehidupan sederhana yang dijalani keluarga kecilnya jauh dari kemewahan dan selalu bekerja melayani pelanggannya. Dengan berdiri di samping Jae, martabatnya seakan ikut terjunjung, dan Kim terlihat bangga.
"Wah ... indah sekali!" Kim berseru, menarik pandangan Jae seketika. Pria itu menundukkan kepala menatap ke salah satu perhiasan kalung yang terpajang dalam etalase di depannya. Matanya berkilat-kilat, dia tergiur.
"Ambilkan aku yang ini!" pinta Jae kemudian kepada seorang pramuniaga yang berdiri di belakang etalase. Ia menunjuk ke arah yang dilihat Kim. "Berikan padanya," sambungnya membelalakkan kedua mata Kim.
"Oh? Tu-Tuan, tidak! Aku hanya asal bicara saja." Kim tergagap ketakutan.
"Tapi kau suka, kan? Ambillah, aku yang akan membayarnya."
"Tapi, Tuan, ini kalung untuk wanita!"
"Kau bisa berikan pada ibumu sebagai hadiah."
Sejenak termangu, Kim bertanya dengan rasa tak percaya. "Benarkah, Tuan?"
"Apa aku tampak sedang menggodamu?"
"Tapi jika sampai Nyonya besar tahu ...."
"Dia tidak akan tahu. Lagi pula kenapa jika dia tahu? Dia akan setuju dengan apa pun yang aku putuskan."
"Benarkah?"
"Ambillah, atau kau bisa pilih yang lain."
Kim tersenyum girang. "Terima kasih, Tuan!" Dan tidak menyia-nyiakan keberuntungannya.
Jae tersenyum simpul sambil kembali memutar arah pandangan ke depan. Ia melipat kedua tangan di depan perut dan duduk dengan tegak. Besar dalam didikan seorang ayah, membuat Jae tumbuh menjadi pribadi yang tegas dan kaku. Jae sendiri menyadari itu. Dengan pembawaan yang serius tapi tenang, orang-orang yang berhadapan dengan Jae merasa segan dan takut. Situasi yang santai berubah tegang setiap orang-orang itu bicara dengannya. Beberapa dari teman dekatnya pun kerap mengkritik sikapnya yang jarang tersenyum. Jae tidak peduli. Terlebih kini jabatannya sebagai komisaris dari hotel ternama di beberapa kota menuntutnya untuk menjaga kewibawaannya.
Namun kendati demikian, Jae masih memiliki hati yang hangat. Ia tidak pernah tega melihat orang lain menahan keinginannya untuk dapat memiliki sesuatu. Ia bergelimbangan harta, semuanya itu begitu berlebihan dan tidak pernah habis kendati Jae selalu membagikan sebagian hartanya kepada orang-orang yang kurang beruntung setiap bulannya di suatu yayasan. Jae hanya berpikir ringan, mungkin itulah hidup. Jika tidak bertemankan manusia, maka hartalah yang akan menjadi kawannya.
"Nyonya, uangmu kurang dua ribu won."
Suara seorang pegawai toko yang lain menegur lamunan singkat Jae. Ia menoleh ke sisi kanan dan melihat pegawai itu tengah melayani seorang pembeli di samping Jae. Pramuniaga itu memegang kumpulan uang kertas dengan nominal campuran.
"Oh, benarkah? Tunggu sebentar."
Jae kemudian beralih pandang pada seorang wanita di sampingnya. Jae memperhatikan wanita itu membuka dompet kecilnya, lalu menggalinya dengan telunjuk di dekat wajahnya dan terdengar suara gemerincing dari dalam sana. Tak lama dari itu, wanita bercelana jins dan berjaket longgar itu menuang dompetnya di atas telapak tangan, lalu keluarlah sekumpulan uang koin bernominal seratus won dengan jumlah yang banyak.
Hah? Jae membelalak lalu mengernyit terang-terangan.
Astaga, apa yang dia lakukan di dalam toko sebesar ini dengan mengeluarkan recehan? tanya Jae dalam hati.
Pemandangan menggelikan itu tiba-tiba membuat Jae penasaran dan ingin melihatnya semakin jauh. Sampai wanita itu menghitung satu per satu uang bernominal seratus won itu hingga mencapai jumlah yang diminta pegawai toko di atas etalase, ketercengangan Jae menjadi-jadi. Wanita itu dengan percaya dirinya yang tinggi, memberikan seluruh uang logam itu kepada pegawai yang melayaninya. Pegawai itu bengong meski akhirnya terlihat terpaksa menerimanya. Oh, ya Tuhan!
"Baiklah, aku akan membuatkan suratnya dulu."
"Eh, tunggu!" Wanita itu mencegah sebelum sang pramuniaga beranjak. Suara serak wanita itu begitu saja menarik pandangan Jae untuk melihatnya kembali. Jae merasa pernah mendengar suaranya sebelum ini. "Aku ingin melihatnya sekali lagi."
"Oh, tentu." Sang pramuniaga memberikan sebuah kalung yang akan dibeli wanita itu.
Wanita itu pun mengambilnya, memperhatikan setiap detail desainnya dengan serius. Kalung yang indah dengan bandul permata berwarna hijau, berbentuk oval, sebesar jempol kaki dan itu cukup mencolok. Sepertinya itu sangat mahal, tapi wanita itu mampu membelinya dengan tambahan uang receh.
"Kau tidak perlu khawatir, Nyonya. Ini adalah desain khusus dari toko kami dan hanya ada satu."
Wanita itu berkata, "Baiklah. Ngg, tapi tolong jangan panggil aku nyonya, aku belum menikah." Seakan percaya dan yakin, dia memberikan kalung emas itu kembali kepada sang pelayan toko untuk dibungkus.
Jae menoleh ke samping, ia melihat wanita di sebelahnya itu termenung menatap ke depan dengan pandangan kosong. Jae tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena hampir sebagian wajahnya tertutupi rambutnya yang panjang dan tegerai bebas. Dia memiliki poni dengan panjang yang juga nyaris menutupi matanya. Jae tidak bisa melihat apa pun dari wajah wanita itu selain hanya hidungnya yang lurus dan bulu matanya yang panjang dan lentik. Senyum Jae tersungging simpul.
Konyol, gumam Jae dalam hati.
Ia memikirkan bagaimana saat wanita itu meminta sang pramuniaga untuk tidak memanggilnya dengan sebutan nyonya. Dia tidak sadar sudah memberitahukan kepada orang lain bahwa dirinya belum menikah. Ketika melihat wanita itu mengamati kalung yang akan dibelinya tadi, Jae melihat dia begitu berharap, seolah-olah kalung itu akan membuat kehidupannya menjadi lebih baik.
Sadar tengah diperhatikan, wanita asing itu menegakkan badan dan langsung memutar kepalanya dengan cepat ke arah Jae. Serta merta Jae terkesiap berpaling ke depan dengan gugup dan berusaha untuk terlihat santai. Gawat, tindakan Jae dengan terus memperhatikan wanita itu tanpa sebab, tampaknya berhasil memancing kecurigaan wanita tersebut. Dia mengawasi Jae seakan mempertanyakan perbuatannya. Dia melihat Jae seperti seorang perampok yang sedang mengintai korbannya, tapi Jae tetap tak ingin melihatnya demi menjaga diri.
Beruntung sang pemilik toko kembali dengan membawa jam tangannya. "Tuan, ini jam tanganmu berikut surat garansi resminya."
Jae mengambil benda peninggalan sang ayah itu dari tangan paman pemilik toko, menyelidikinya, memastikan mesinnya bekerja secara normal, lalu memasangnya di pergelangan tangan kanannya sambil mendengar paman itu berbicara.
"Ada sedikit goresan di bagian casing bracelet yang melapisi emasnya, mungkin Anda tidak sengaja menjatuhkannya atau membentur benda keras. Tapi Anda jangan khawatir, tim ahli dari kantor pusat sendiri yang telah memperbaikinya di laboratorium mereka. Kami juga mengganti beberapa komponen mesinnya. Untuk selebihnya, baik itu berlian di dalamnya pun masih sangat bagus dan terjaga."
Jae mengamati jam tangannya yang telah melingkar di pergelangan tangannya dengan saksama. Ia tahu, goresan itu akibat gesekan tak disengaja ketika kemarin mobilnya menabrak seorang wanita bersepeda. Karena terburu-buru keluar, tangan Jae membentur pintu mobilnya. "Baiklah, aku akan kirimkan biaya servisnya ke rekeningmu seperti biasanya."
"Oh, tentu! Itu adalah masalah mudah. Selama Tuan percaya pada pelayanan kami—"
"Kim, ambil suratnya. Transfer satu juta ke rekeningnya. Dan juga untuk harga kalungmu." Jae memotong di sela sang pemilik toko berusaha untuk mengunggulkan pelayanan tokonya.
Jae turun dari kursi. Ia berputar arah untuk mengambil jalan. Wanita dengan uang recehannya itu menahan langkah Jae. Nyonya itu menundukkan kepala tercenung memandangi sesuatu dari Jae. Eh? Kenapa dia? Mengerti jika jam tangannya tengah diperhatikan, Jae pun berpikir jahil untuk mengangkat arloji di tangannya ke dada dan mengherankan, kedua mata wanita itu mengikutinya. Dia menatap ke arah dada Jae, sedetik kemudian seakan sadar tengah digoda, dia tersentak menatap mata Jae dengan matanya yang bulat. Sekilas Jae bisa melihat kulitnya yang putih.
Terkesiap, cepat-cepat wanita itu berpaling gugup, menghadapkan dirinya kembali ke arah etalase. Jae tersenyum geli melihatnya salah tingkah. Aneh, setiap orang terutama bagi perempuan yang bertemu dengannya pasti akan memusatkan perhatiannya langsung pada wajah Jae, tapi wanita itu malah memperhatikan jam tangan Jae. Sepertinya jam tangan pemberian dari ayahnya ini lebih menarik untuk dilihat bagi wanita itu. Itu mungkin berarti dia memiliki selera yang tinggi. Jae terkejut. Nyonya uang recehan itu sangat lucu, pikirnya mulai beranjak dari sana.
*****