"Se-seratus? Minggu depan? I-iya, tentu saja bisa! Iya, itu bisa diatur. Aku pasti akan berusaha menyelesaikannya tepat waktu! Iya, baiklah. Terima kasih!"
Shin menutup telepon dari seorang pria dengan penuh semangat. Senyumnya terus mengembang, membuat Sora penasaran. Namun pria itu tidak sedang ingin melamarnya. Jika itu terjadi, Shin justru akan merasa cemas.
"Siapa itu, Kak? Kenapa Kakak terlihat sangat senang?"
"Dia general manager di sebuah hotel yang diperintahkan oleh atasannya untuk memesan seratus kue, untuk suatu acara minggu depan!"
"Seratus?" Sang adik terkejut.
"Iya! Dia mengatakan, setiap bulan pemilik hotel tempatnya bekerja mengundang anak-anak dari panti asuhan ke sana untuk makan-makan. Dan rencananya kue-kue itu akan dibagikan kepada mereka nantinya!"
"Waah, mulia sekali! Seratus kue? Itu sangat banyak untuk kita, Kak!"
"Ya, kau harus membantuku kali ini! Keuntungannya nanti bisa untuk mengganti tabungan kita yang akan kita gunakan untuk membeli hadiah Bibi Ri besok."
"Benar, Kak. Aku pasti akan membantu Kakak."
"Bagus!"
Mereka sedang ada di rumah.
Siang ini setelah mengantar seluruh pesanan kuenya kepada para pelanggan, tidak banyak aktivitas lainnya lagi yang menyibukkan Shin. Sora baru pulang dari sekolah dan tugas Shin hanya perlu menyiapkan makan siang untuk mereka berdua.
"Tapi ... aneh, ada begitu banyak toko kue besar dan terkenal di luar sana, mereka adalah orang-orang kaya, kenapa mereka bisa tahu tentang kue Kakak? Apa yang membuat mereka berpikir untuk memilih kue Kakak?"
"Orang itu bilang, dia tertarik pada kue yang Kakak titipkan di kafe Nyonya Jessi. Dia adalah pelanggan Nyonya Jessi di kafenya. Nyonya Jessi membantunya karena dia tidak punya waktu untuk mencari toko kue yang lainnya. Anak-anak di panti itu juga suka dengan kue cokelat. Karena itulah dia meminta nomor telepon Kakak dari Nyonya Jessi!"
"Waah, Nyonya Jessi memang baik. Kakak benar-benar beruntung." Sora meloncat kegirangan, mencengkeram lengan Shin karena terlalu senang.
"Aw!" Shin menyingkirkan tangan sang adik dari lengan kirinya karena masih merasa sakit di bagian itu.
"Oh? Kakak kenapa?"
Ragu-ragu Shin menjawab, "Tadi pagi saat aku kembali dari pasar, sebuah mobil menabrakku." Sembari meringis kesakitan menggenggam lengan kirinya.
"Apa? Bagaimana bisa? Apa orang itu bertanggung jawab?"
"Sebenarnya Kakaklah yang salah."
"Ya Tuhan, bagaimana Kakak akan membuat kue sebanyak itu dengan tangan sakit?"
"Tidak apa, ini hanya cedera kecil. Minggu depan pasti sudah lebih baik."
"Kakak ... lain kali berhati-hatilah!"
"Iya, Sora, kau jangan khawatir! Kakak akan pergi ke apotek sebentar membeli krim untuk mengobatinya, bisakah kau bantu Kakak menyiapkan makan siang kita?"
"Iya, Kak. Tapi apa Kakak yakin akan pergi sendiri? Aku saja yang belikan!"
"Tenanglah, aku bukan anak kecil lagi! Justru akan semakin berbahaya jika kau yang pergi keluar sendirian!"
"Baiklah."
*****
Jae mengemudikan mobilnya pelan-pelan. Sambil bersenandung dalam hati, ia membawa roda-roda dari mobil kesayangannya berputar menyusuri aspal. Sore ini ia akan pulang lebih cepat karena tidak ada urusan penting lagi yang mengharuskannya tertahan di tempat kerja. Pandangannya beredar ke satu sisi menjelajahi setiap toko yang berjejer di sepanjang bahu jalan raya. Toko-toko besar yang menjadi pusat perbelanjaan di Gangnam. Di sisi lain, sungai Han mengalir di sepanjang jalan.
Pusat pandangannya berakhir pada seorang wanita yang berdiri sambil termenung di pinggiran jalan dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Wanita itu tertunduk dan tak berkutik sama sekali, membuat Jae merinding. Dia seperti hantu di sore hari, tapi orang-orang berpenampilan modis yang lalu lalang di sekitarnya tampak tak mempedulikannya sama sekali. Jae sempat berpikir, apakah hanya dirinya yang bisa melihat sosok itu? Jae ingin memastikannya. Beberapa meter, mobilnya akan melintas di depan wanita misterius itu dan ia semakin penasaran sebelum akhirnya Kim memekik ...
"Tuan, awas!"
Kepala Jae berputar cepat ke depan dan seseorang tiba-tiba sudah ada di depan mobilnya. Jae menginjak rem mendadak. Ia bersama asistennya terpental dan nyaris saja menabrak seorang pria pejalan kaki yang mungkin saat itu sedang menyeberangi jalanan. Untung saja! Jae mengempaskan napas lega dari mulutnya. Namun keberuntungan Jae hanya sekejap ketika ia mendapati pria itu tiba-tiba menjatuhkan diri lalu mengerang. Suaranya yang keras seketika menarik seluruh perhatian orang-orang yang berlalu lalang di bahu jalan. Celaka!
Mereka berbondong-bondong mendatangi pria itu. Beberapa dari mereka mulai menghampiri mobil Jae dan berteriak memintanya untuk keluar.
"Eh, oh? Bagaimana mungkin? Kita sama sekali tidak menabraknya! Aduh, Tuan, bagaimana ini?"
Jae mengernyit heran, "Apa yang dia inginkan?" Merasa tahu pria yang tergeletak memegangi kakinya di depan mobil Jae itu tampaknya memang sengaja ingin bermain-main dengan menjebaknya.
Jae tak gentar. Ia keluar dan menghadapi massa dengan berani.
"Hey, Tuan! Apa kau bisa menyetir? Lihat, kau menabraknya!"
"Mobilku bahkan tidak menyentuhnya sama sekali!" Jae berkata apa adanya.
"Tapi bagaimana dia bisa terjatuh?"
"Itu hanya siasatnya untuk mendapatkan ganti rugi dariku!" cetus Jae gusar, sebab orang itu telah meragukan kemampuan mengemudinya, sedangkan Jae sendiri adalah pembalap dulunya. Kemudian ia menatap pria yang mengaku telah ditabraknya. "Hey, kau! Berdirilah dan jangan mencari masalah denganku!"
Sementara beberapa pejalan kaki mengelilinginya untuk memberikan bantuan, pria kucel yang masih berpura-pura kesakitan sembari terus memegangi kakinya itu menjawab, "Tuan, aku memang orang miskin, tapi Anda jangan pernah menghina harga diriku! Aku tidak pernah berbohong. Anda memang menabrakku tadi! Untuk apa aku berpura-pura demi mendapatkan uang? Aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Tapi ... bagaimana bisa setelah ini aku bekerja dengan kaki seperti ini?" Dia merintih sambil memaksakan diri untuk menangis.
Jae membuang muka, gerah mendengar pria itu mulai menciptakan drama. Ada apa dengan hari ini? Kenapa ia bisa menabrak dua orang dalam sehari, setelah tadi pagi ia mencelakai seorang perempuan?
Pria lain membela, "Tidak! Dia harus bertanggung jawab dengan membawanya ke rumah sakit!" Dia menunjuk Jae.
Sebenarnya Jae tidak keberatan sama sekali jika memang harus bertanggung jawab untuk kesalahan yang ia buat. Sayangnya, ia tidak akan melakukan hal bodoh demi menyelesaikan masalahnya yang satu ini. Orang itu mencoba menipu dan mungkin akan memerasnya. Jae tidak akan segan untuk melawannya, bahkan meski harus berurusan dengan hukum.
"Dasar orang-orang tidak penting!" celetuknya menggumam, lantas beranjak pergi.
Orang-orang itu tidak mau berhenti. Mereka menahan Jae dan memaksanya untuk bertanggung jawab.
"Kau harus bertanggung jawab!"
"Ya, itu benar!!"
Semua orang di sekelilingnya berteriak-teriak seolah-olah Jae seorang penjahat yang berencana untuk melarikan diri. Sementara Kim ketakutan dan mencemaskan dirinya, Jae tenang-tenang saja menghadapinya.
"Dia tidak menabraknya!" Suara dingin dan lantang itu tiba-tiba saja menerdiamkan suara-suara bengap di sekitar Jae.
Semua mata beralih pada perempuan yang tiba-tiba muncul di belakang Jae. Oh? Dia ... bukankah sosok misterius yang Jae lihat di tepi jalan tadi?
"Hey, Nona! Apa kau melihatnya sendiri kalau pria ini tidak menabraknya?"
Perempuan itu mengangguk tanpa mengangkat wajahnya sedikit pun ke arah massa. Dia menundukkan wajah membiarkan rambutnya yang lurus menutupi sisi-sisi wajahnya. "Aku berani bersumpah. Dia tidak menabraknya. Orang itu tiba-tiba jatuh sendiri, mungkin karena terkejut saja." Suaranya terdengar parau.
Dia membela Jae, ya, mungkin karena benar perempuan itu melihat kejadian yang sebenarnya. Jae merasa terbantu, akan tetapi Jae tidak tertarik pada pembelaannya itu. Ia lebih serius mencermati sikap aneh wanita misterius itu. Rupanya dia manusia, pikirnya.
Akibat dari kesaksiannya, orang-orang pun percaya dan mulai balik menyerang pria yang telah menjebak Jae. Jae hanya tersenyum sinis membiarkan pria itu mulai dihakimi massa. Namun ketika ia berbalik kembali ke belakang, wanita yang telah membuktikan bahwa Jae tidak bersalah itu sudah hengkang.
"Ei, tunggu!" Jae menahannya sebelum dia semakin menjauh.
Perempuan itu berhenti, akan tetapi dia sama sekali tidak berbalik atau sekadar memutar pandangan ke arahnya. Dia bergeming memegangi sepeda kayuhnya.
Ragu-ragu Jae berkata, "Terima kasih."
Dia menganggukkan kepalanya satu kali, setelah itu pergi menaiki sepeda kayuhnya. Lalu tiba-tiba sebuah ingatan muncul dalam benak saat melihat sepeda hitam yang dikendarainya. Dia ... seperti perempuan yang Jae tabrak tadi pagi. Benarkah itu dia?
*****