"Aaaah, lihat! Itu Hyun Jae!"
"Waah, sekarang dia jauh lebih tampan!"
"Ya, dia lebih dewasa tanpa baju balapnya."
"Kenapa dia harus menutup akun media sosialnya, ya? Dia sudah tidak pernah aktif sejak tiga tahun lalu padahal pengikutnya lebih dari tujuh ratus ribu orang. Bahkan mereka membuat fans klub khusus untuknya!"
"Ya, itu karena dia sudah tidak menjadi pembalap lagi. Lagi pula kabarnya, yang mengelola akun itu adalah manajernya!"
"Benarkah? Pantas saja dia tidak pernah membalas kiriman dari para penggemarnya. Tapi, setelah mengundurkan diri dari profesinya, kenapa dia tidak menjadi aktor saja mengikuti jejak karier ibunya? Pasti akan sangat mudah baginya untuk menjadi seorang selebriti, apalagi seperti yang kita ketahui, ibunya adalah seorang penyanyi dulunya. Itu pasti akan lebih menjanjikan untuknya!"
"Benar! Tapi Yoo-Mi, ibunya, sudah menetap di New York sejak bercerai dengan ayah Jae dan mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara sana! Apakah dia bisa membantu Jae?"
"Tentu saja, dia punya modal ketampanan dan tubuh proporsionalnya. Beberapa agensi kabarnya pernah menawarinya untuk bermain film, tapi Jae menolak dan lebih memilih untuk melanjutkan bisnis ayahnya."
"Aakh, aku tidak menyangka kau tahu semua tentang dia."
"Tentu saja, dia adalah idola yang sesungguhnya bagi para gadis. Tapi aku rasa ... ada untungnya juga Jae mengundurkan diri dari profesi balapnya ataupun tidak menjadi selebriti. Karena sekarang Jae jadi sering berkunjung ke sini!"
"Hey, jaga sikapmu di depannya! Jangan kecentilan seperti itu! Lagi pula usianya lima belas tahun lebih tua dari kita! Panggil dia Kak Jae!"
"Aah, iya iya!"
Ragu-ragu Sora melihat dari balik kerumunan.
Beberapa teman perempuan sekelasnya, bahkan dari kelas lain mulai membicarakan kedatangan Park Hyun-Jae, pemilik generasi ketujuh sekolahan tempat Sora menuntut ilmu ini. Semenjak ayahnya sang pemilik sekolahan sebelumnya ini meninggal, Jaebegitu nama panggilannya, mengambil alih semua tanggung jawab.
Sekolahan ini sendiri terdiri dari dua perguruan, SMP dan SMA, terletak tak jauh di antara pusat Distrik Gangnam dan kawasan Desa Guryong. Menjadi salah satu sekolah terfavorit di Gangnam-gu, dengan bangunan yang luas dan megah. Keduanya di bawah kepemimpinannya. Ini adalah kunjungan keduanya, tapi yang pertama bagi Sora berkesempatan dapat melihatnya secara langsung. Ia tidak menyangka. Rupanya dia pria yang masih muda dan benar-benar tampan seperti yang mereka katakan.
Jae datang dengan kacamata hitamnya bersama seorang pria berkacamata minus, sebaya dengan Jae dan terlihat kutu buku, berpakaian formal, mungkin asistennya. Park Hyun-Jae adalah salah seorang pembalap motor nasional dulunya, dan terkenal pendiam tapi sangat keren. Beberapa kali dia berhasil membawa harum nama kotanya di pertandingan balap antar kota. Ya, Sora memang tidak tahu jelasnya seperti apa. Ia hanya tahu informasi seputar kehidupan pria itu dari mulut ke mulut saja.
Dia tidak seterkenal itu di dunia pertelevisian, tapi dia cukup memiliki nama di dunia balap dan penggemarnya. Selain itu, dia juga terlalu tampan untuk seorang pembalap dan karena wajahnya yang berkarismatik itulah menjadi aset mahal bagi para pendukungnya, terutama di kalangan perempuan. Mereka para gadis tidak mengerti dunia balap, tapi mereka rela pergi ke arena balap untuk melihatnya bertanding atau hanya sekadar latihan saja. Kini Sora harus mengakui itu.
Jae mengedarkan pandangannya pada sekelilingnya sambil mendengar Pak Kepala Sekolah memberikan laporan, lalu berjalan memasuki koridor. Para murid terutama bagi para gadis pun tak dapat menutupi kekaguman mereka terhadap pria ber-baby face itu. Tak terkecuali dengan Sora sendiri. Mereka berdiri di sisi-sisi koridor mengiringi Jae sambil memaksakan diri untuk dapat berjabatan tangan dengan laki-laki itu. Beberapa dari mereka cukup berani untuk mengambil fotonya dengan kamera ponsel.
Sora terbengong di tengah jalan. Ia melongo mengawasi pria berkemeja putih dan dimasukkan ke dalam celana formalnya tanpa dasi dan sabuk itu dengan perasaan meleleh. Seluruh rambutnya klimis dan tertata dengan gaya medium yang bervolume, dengan model rambut belah samping memperlihatkan seluruh dahinya. Dia rapi dan gagah. Dia seperti model. Tidak ada yang bisa Sora bayangkan untuk menggambarkan sosoknya selain hanya pria ideal. Ya, sungguh pria yang ideal. Seandainya Sora bisa mengenalnya dan mengobrol dengannya, betapa bangganya Sora!
"Hey, Sora! Kenapa kau masih di sini? Cepat kembalikan semua buku itu ke ruang guru dan lanjutkan piketmu!" Teman sekelas Sora menegur.
"Oh, iya." Sora beranjak dari hadapan Jae membawa beberapa buku yang ia dekap sedari tadi sambil membayangkan sosok Jae yang menggemaskan.
Ia pergi ke kantor dan melihat beberapa guru perempuannya sibuk berdandan di meja masing-masing. Heh?
"Kali ini Jae harus melihatku!"
"Kau sama sekali bukan tipenya! Dia pasti akan menyapaku!"
Kunjungan Jae selalu saja menorehkan kisah unik dan mengesankan di sekolahannya. Bahkan setelah Jae pergi, mereka terus saja membicarakannya. Tak hanya bagi murid perempuan, para guru pun berlomba untuk terlihat semenarik mungkin agar dapat memikat hati pria itu. Itu sangat berlebihan, tapi mungkin Jae pantas untuk diperebutkan.
"Mari, mari, silakan masuk!"
Begitu terdengar suara Kepala Sekolah, guru-guru perempuannya buru-buru menyudahi aksi dandan mereka dan merapikan meja masing-masing. Sora sendiri terkejut saat berbalik dan melihat Jae memasuki ruangan yang sama. Dengan tegap pria itu berjalan melewati beberapa guru perempuan Sora yang telah berbaris menyambutnya. Jae sama sekali tidak memandang mereka. Sora ingin tertawa, tapi merasa kasihan juga.
Jae duduk di sofa sementara asistennya memilih tetap berdiri di samping kursinya. Saat Kepala Sekolah meminta guru-guru perempuan Sora membuatkan minuman dan mengambilkan beberapa berkas untuk Jae, Sora tak berkutik begitu Jae menoleh dan memaku pandangannya ke arah Sora. Oh! Dia melihat ke arahnya, Sora berdebar. Saat kedua bola mata itu menatapnya datar, Sora justru bergetar. Mata ini ... kenapa tak bisa berpaling meski tengah diawasi? Semakin lama, Sora merasa seolah terbiasa dengan keadaan ini. Tatapan simpati dari mata pria itu membuat Sora merasa Jae seolah tak asing baginya kendati ini adalah yang pertama kalinya mereka bertemu.
"Tuan Jae, silakan diminum."
*****
Shin mengayuh pedal sepedanya pelan-pelan. Ia akan pulang setelah dari pasar untuk membuat kue. Untuk bisa sampai ke rumahnya, ia harus melewati lapangan umum yang masih berupa tanah di belakang sebuah konstruksi proyek pembangunan gedung tinggi. Menurut kabar yang ia dengar, tanah luas di depan lapangan itu akan dibangun sebuah hotel. Sangat mengagumkan. Akan ada hotel di tengah padatnya permukiman warga yang kumuh. Bagaimana bisa orang itu berpikir untuk membangun hotel di lokasi seperti ini?
Mungkin, orang itu telah memiliki cara pandang yang berbeda dari sudut lain. Mungkin juga orang itu berpikir akan ada perubahan meningkat di sekitar lingkungannya dalam beberapa tahun ke depan. Hanya dengan melihat gedung bangunan yang masih berpondasi itu dari balik pagar beton, Shin takjub tapi juga ngeri. Ia tidak pernah datang ke tempat-tempat besar dan tinggi seperti itu, untuk bisa naik ke atas sana, pasti butuh keberanian bagi Shin. Menatap mata orang lain saja ia ketakutan, bagaimana Shin akan seberani itu untuk mengangkat pandangannya demi bisa naik ke atas?
Karena terlalu serius memperhatikan bangunan, Shin tidak mengawasi jalanan. Sebuah mobil keluar dari area konstruksi, dari sisi kanan dan berjalan mundur ketika sepeda Shin melaju ke arah yang sama. Gbrrkk! Begitu ia melintas, mobil sport putih itu menabraknya.
"Agh!"
Walau tak sedang melaju kencang, bahkan berjalan mundur dengan sangat pelan, tetap saja tabrakan itu membuat Shin dan sepedanya terpental lalu terguling. Dalam waktu secepat itu, Shin tidak sempat menghindar karena ia sendiri dalam keadaan tidak fokus dan tidak menyadarinya. Shin tersungkur di tanah dengan posisi satu lengan terbanting menahan tubuhnya. Akibat kecelakaan singkat itu, tak hanya membuat Shin kaget dan kesakitan. Si pengendara mobil pun buru-buru keluar untuk menolongnya.
"Hey, kau tidak apa-apa?" Dia seorang pria, berlutut di depan Shin yang berusaha membawa dirinya sendiri untuk bangun. Dia berkemeja putih, memegang lengan kiri Shin dengan tangan kanannya.
"Ma-maaf, ini salahku!" Shin menundukkan kepala sembari memegangi lengan kirinya di mana pria itu juga memeganginya. Shin tak berani melihat wajah orang itu atau sekadar menunjukkan wajahnya sendiri. Ia tahu diri. Ia terus memalingkan wajah, menatap lurus jam tangan silver yang melingkar di tangan kanan pria itu. Shin malah merasa khawatir akan membuat bagian mobil orang itu lecet dan harus mengganti kerugiannya.
Pria lain yang keluar bersama orang itu membantu memungut barang-barang belanjaan Shin yang terlempar dari keranjang sepedanya.
"Apa kau terluka?" Pria berpakaian formal di depan Shin kembali bertanya.
Shin hanya sanggup menggelengkan kepalanya saja tanpa berani menampakkan wajahnya. Ia biarkan rambutnya terus menutupinya, sengaja menyembunyikan matanya.
"Kau yakin? Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit." Suaranya agak serak dan parau.
"Ti-tidak perlu."
"Tuan, dia tiba-tiba muncul begitu saja di belakang kita."
Pria yang telah memungut barang belanjaan Shin, dan juga membangunkan sepeda Shin kembali itu menyalahkan Shin. Dia memanggil pria di depan Shin dengan sebutan Tuan, semakin membuat Shin merasa cemas harus berurusan dengan orang kaya.
Shin cepat-cepat bangun dan mengambil sepedanya sebelum mereka akan menyadari kesalahan Shin dan mulai berpikir untuk menuntut pertanggungjawaban. Shin buru-buru pergi sambil menaiki sepedanya kembali.
"Gara-gara kau, dia pergi ketakutan! Bagaimana kalau dia terluka, hah?"
Shin masih bisa mendengar suara sang Tuan memarahi bawahannya. Saat terdengar suara mesin mobil, Shin menghentikan laju sepedanya. Ia berbalik ke belakang dan melihat mobil dua pintu yang tadi menabraknya mulai berjalan mundur, lalu berbelok, melaju ke arah seberang.
Dia pasti bukan penduduk sini, pikirnya.
Setiap orang di sini, bahkan anak-anak kecil pun akan menertawakannya saja ketika melihat Shin terjatuh dari sepedanya, seperti sedang menonton atraksi yang lucu. Tidak satu pun orang yang mau menolongnya, apalagi untuk sekadar bertanya keadaannya. Mendekati Shin, menjadi hal yang tabu bagi mereka. Orang itu ... sepertinya ... dia orang yang baik.
*****