"Kakak Shin!"
Begitu namanya terdengar melambung di udara, ia menahan langkah kakinya. Berbalik ke belakang dan melihat Yoona, seorang remaja salah satu anak gadis tetangga, tengah berlari kecil ke arahnya. Begitu sampai di tempat Shin, Yoona memberikan sebuah novel kepadanya sembari mengatur pernapasan.
"Aku hanya ingin mengembalikan buku ini saja, Kak. Aku sudah selesai membacanya." Yoona menyeringai, bangga.
Shin pun mengulas senyum. "Secepat ini?"
Yoona mengangguk cepat. "Kakak benar. Membaca itu sangat menyenangkan. Seperti kata Kakak, tidak harus memulainya dari awal, kita bisa membaca dari halaman tengah. Begitu menemukan alur yang menarik, membuatku penasaran dan ingin memulainya lagi dari awal!"
"Apa itu artinya ... kau sudah membacanya dua kali?"
Yoona menggeleng. "Bukan dua. Tapi empat kali!" Menunjukkan keempat jari tangannya.
"Woah?" Shin membulatkan mata, tak menyangka. "Sepertinya ... ini akan menjadi hobi barumu, ya!"
Yoona malah cekikikan. "Apa Kakak akan pergi ke pasar?"
"Ya, seperti biasa."
"Bisakah ... aku pergi ke rumahmu setelah Kakak kembali? Aku ingin meminjam koleksi buku Kakak yang lainnya."
Senyuman Shin sontak tersungging. "Tentu saja."
"Baguslah!" seru Yoona antusias.
Yoona sangat bersemangat. Keberanian Shin untuk menawarkan sebuah novel kepada gadis itu ketika bertemu di jalan beberapa waktu lalu, seakan membuat gadis yang masih duduk di sekolah menengah pertama itu menemukan pencerahan yang menghibur. Dia adalah teman sekolah Sora, adik semata wayang Shin. Mungkin Yoona merasa teralihkan dengan membaca dari masalah atau kejenuhan yang biasa dialami oleh gadis seusianya. Namun, senyuman ceria di wajah Yoona itu, Shin tak menyangka akan menjadi yang terakhir kalinya Shin lihat. Saat ibunya datang dan menghantar kegusaran di wajahnya, Yoona pun terkesiap begitu wanita paruh baya itu menarik tangan putrinya sendiri.
"Yoona!"
Pandangan Shin sontak beralih ke wanita bertubuh gemuk itu.
"Apa yang kau lakukan di sini dengannya, hah?" Ibu Yoona menceletuk sambil melirik Shin dengan sinis.
"Ibu, ini Kak Shin. Kakaknya Sora teman sekelasku!"
"Iya, Ibu tahu!" Bibi itu menyela dengan mata melotot. "Tapi apa yang kau tahu tentang dia?" sambungnya serta merta mengerutkan dahi Shin dengan berkata di luar topik.
"Ayo pulang!" Bibi tetangga dari gang seberang itu menarik tangan Yoona dan membawanya berbalik arah. "Jangan terlalu lama bicara dengannya, apalagi berteman dengannya! Nanti kau bisa kurang bergaul dan ketularan menjadi perawan tua sepertinya!" Sembari menyeret tangan anak gadisnya, bibi itu mengeluarkan kata-kata pedas dari mulutnya. Kendati menggumam dan semakin lama suaranya semakin memelan, Shin masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Tapi Kak Shin adalah orang yang baik, Bu. Aku hanya ingin meminjam buku padanya!"
"Kau bisa membeli atau meminjamnya pada orang lain, tapi tidak padanya! Jika kau terlalu sering bertemu dengannya, para pria akan melihatmu dan menjauhimu juga. Jika sudah begitu, apa kau mau jadi perawan tua seperti dia? Sebaiknya kau pun mulai menjauhi adiknya! Mereka itu sama saja, tidak memiliki harapan baik untuk urusan jodoh."
Itu lagi. Setiap hari, rasanya Shin tidak bisa bila satu kali saja tidak mendengar orang-orang di sekelilingnya menyebutnya dengan sebutan menyakitkan itu. Meskipun telah terbiasa mendengar ataupun diperlakukan seolah-olah dirinya sampah yang menjijikkan, mana mungkin hati Shin sanggup tegar menghadapinya? Setiap hari mereka menghardik dan menghujat. Mereka menjauhinya, bahkan memandangnya dengan sebelah mata. Shin hanya berdiam diri. Ia membiarkan mereka tanpa ingin membela diri.
Shin melanjutkan perjalanannya.
Selalu dengan celana jins yang usang dan kaus lusuh yang dirangkap jaket longgar, ia menuntun sepeda kayuh bututnya dan akan menaikinya setibanya ia di jalanan besar, karena di sini terlalu banyak anak kecil yang berkeliaran, keputusan untuk berjalan kaki sementara ia ambil demi keamanan. Menyusuri jalan setapak melewati jejeran rumah yang saling berhadapan dari gang yang sangat kecil dan hanya cukup dilewati untuk satu mobil saja.
Ya, Shin tinggal di permukiman yang masih berlokasi di daerah Guryong. Rumah-rumah berkawasan di sudut Distrik Gangnam di Kota Seoul ini sangat sederhana dan berhimpitan rapat. Mayoritas bangunannya adalah bangunan semi permanen yang dibangun dari bahan-bahan bekas konstruksi. Tidak ada rumah bertingkat ataupun berpagar. Lebih dari dua ribu jiwa yang tinggal di kampung itu adalah orang-orang miskin yang hanya mengandalkan mata pencaharian dari bercocok tanam, pekerja kasar, pekerja cabutan, bahkan hingga pemulung. Tidak ada orang yang benar-benar kaya di sana.
Shin biarkan rambut panjangnya terurai di kedua sisi wajahnya menutupi telinga, bersama poni sepanjang kelopak mata. Wajahnya hampir tertutupi, tapi dengan membiarkannya begitu, Shin merasa ada yang menjaganya kendati ia pergi seorang diri. Dengan membiarkan rambut cokelat samarnya menggantung di kedua sisi pipinya, Shin mampu menjaga pandangannya dari orang-orang yang melihatnya dengan mata yang jahat.
"Oh!" Seorang pria memekik, menarik perhatian Shin seketika.
Ia melihat pria itu terperanjat mundur di pinggir jalan, nyaris terjatuh. Orang itu tampak ketakutan dengan tubuh gemetaran melihatnya seperti melihat hantu di pagi hari, lalu lari terbirit-birit.
"Ada apa?"
"Dia sangat menyeramkan! Matanya melotot ke arahku!"
Shin mendengar orang itu berbicara ketika bertemu dengan temannya yang lain di belakang Shin. Apakah Shin seseram itu? Ia merasa pandangannya layu, tapi kenapa dia bilang Shin melototinya? Aneh sekali.
Shin memang memiliki sepasang mata yang besar, tapi dengan ukuran sewajarnya. Ia juga tidak pernah berdandan atau mengenakan pakaian seperti hantu, kenapa mereka semua selalu melihatnya seperti itu? Selain hantu, mereka juga kerap kali menganggapnya seperti seorang penyihir yang akan mengutuk mereka semua bila mendekatinya. Itulah mengapa tidak ada satu pun orang yang mau berteman dengannya.
Membaca buku adalah caranya untuk memiliki teman. Terutama jenis novel. Shin menemukan banyak kepribadian dan mulai mengerti setiap karakter seseorang hanya dengan menghayati tokoh-tokoh dalam cerita. Walaupun itu hanya fiksi dan fantasi, Shin merasa punya banyak sisi dalam dirinya ketika membaca. Bisa dikatakan, saatnya membaca adalah saat baginya untuk bertemu dengan teman. Shin bisa tertawa, Shin juga bersedih merasakan setiap ungkapan seakan-akan orang-orang dalam cerita itu sedang berbagi pengalaman dengannya. Seperti halnya dalam berteman, Shin juga akan merasa kesal pada tokoh antagonis yang selalu mengusik kehidupan tokoh utama dalam cerita.
Entah ini benar atau tidak, Shin rasa itu baik untuk mengatasi kesepiannya. Ia merasa seolah-olah tengah menghadapi situasi yang berbeda-beda kendati hari-harinya selalu sama.
Untuk apa Shin harus membela diri demi mendapatkan seorang teman? Walau apa pun yang coba Shin katakan untuk membuktikan bahwa ia memiliki alasan kuat yang mengharuskannya untuk tetap hidup melajang, mereka tidak akan mengubah pandangan mereka terhadap Shin karena suatu alasan di masa lalu.
Mereka tidak akan percaya dan menganggap itu hanya pengalihannya saja. Jika orang-orang itu harus menyebutnya sebagai perawan tua, itu memang benar. Di usia Shin yang sudah memasuki tahun ke-30 ini, Shin memang belum menikah. Berpacaran pun tidak pernah. Jadi untuk marah karena disebut sebagai perawan tua adalah hal yang sia-sia. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Menjadi perawan tua ... adalah hal yang tidak diinginkan oleh setiap wanita. Itu bukanlah suatu pilihan. Namun bukan berarti dia tidak layak untuk diperistri. Ataupun belum membentuk suatu kesiapan dan kemampuan dalam dirinya. Semua itu hanya masalah waktu. Shin percaya, sesuatu akan baik dijalani bila tanpa paksaan. Karena keyakinan itulah yang menuntun Shin untuk tetap pada jalannya. Ia melangkah pada jalur yang menjadi keinginannya saat ini. Walaupun kebanyakan gadis di kotanya menikah di umur tiga puluhan, tetapi setidaknya mereka pernah berkencan dan sebagainya.
Sebelum masuk ke salah satu toko yang ada di pasar tradisional—yang terletak tak jauh dari permukiman rumahnya, Shin berhenti di depan teras toko yang menjual bahan-bahan kue itu dan melihat bibi si pemilik toko sedang memegang sebuah kalung emas milik pelanggannya. Bibi Ri namanya. Usianya hampir 50 tahun. Mata Bibi berkilauan melihat perhiasan indah itu di tangannya. Shin pun mendekat sebelum akhirnya Bibi Ri menyadari kedatangannya dan lekas mengembalikan kalung itu pada pemiliknya.
"Eh, Shin!" sapa Bibi begitu teman wanita pemilik kalung emas dengan bandul bebatuan hijau yang cantik itu beranjak pergi.
Shin pun melepas senyuman. "Bibi, bahan-bahanku sudah siap?"
"Sebentar, aku hanya perlu menakar menteganya saja. Sejak pagi toko Bibi sangat ramai." Bibi Ri memotong balok mentega di sebelahnya. Dia sangat baik. Bibi Ri satu-satunya orang yang peduli pada Shin. Bibi Ri juga tidak pernah memanggil Shin dengan sebutan perawan tua. Mungkin karena selain Shin adalah pelanggan tetapnyadan tinggal berhimpitan dengan rumahnya, Bibi Ri adalah satu-satunya orang yang peduli pada ibu Shin ketika mereka baru pindah ke Guryong. Bibi Ri-lah yang merawat Shin dan Sora sejak kepergian ibunya empat belas tahun yang lalu. Jadi, Bibi juga tahu benar alasan kenapa Shin tidak juga menikah.
"Baiklah, Bibi, aku akan tunggu. Tidak usah terburu-buru, Bibi bisa melayani pembeli yang lainnya dulu."
"Baiklah kalau begitu."
"Apa aku bisa membantu Bibi?"
Shin berputar arah ke samping toko, sementara tangan Bibi Ri bergerak menimbang menteganya.
"Tidak usah, kau tunggu saja di situ. Setelah ini aku akan ambilkan bahan-bahan milikmu. Kalau kau sampai terlambat mengantar kuemu, pelangganmu bisa marah nanti!"
Ya. Bibi Ri memang paling mengerti Shin. Bibi Ri juga yang memberi modal Shin untuk menjalani usaha kue brownies dengan meminjami bahan-bahan yang diperlukan Shin dari tokonya. Berbekal pengetahuan pas-pasan, Shin menciptakan brownies lezat dari tangannya sendiri. Kue-kue cokelat itu akan dikirim Shin ke beberapa toko. Mereka memesan kue buatan Shin setiap hari untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Selama beberapa tahun inisudah empat belas tahun berlalusejak Ibu meninggal, Shin tidak pernah kesulitan untuk menghidupi adiknya seorang diri. Dari pendapatan kue itulah Shin mampu menyekolahkan adiknya.
Selain dengan menjual kue, tak banyak yang bisa Shin lakukan untuk mendapatkan uang. Ia besar dalam keluarga miskin, tanpa seorang ayah. Untuk dapat merasakan pendidikan ke perguruan tinggi sangatlah sulit baginya saat itu. Mungkin itu adalah salah satu alasan kenapa hingga saat ini tidak ada satu pun pria yang ingin mendekatinya. Mereka menilai Shin tidak berpendidikan dan tidak menarik. Shin menyadari itu dan bisa memahami itu.
Bibi Ri beralih pada seorang pembeli yang berdiri di samping Shin, "Kau butuh apa?"
"Eh, Ri!" Wanita sebaya dengan Bibi Ri itu menceletuk. "Kau sangat baik padanya, kenapa kau tidak mencarikan seorang pria saja untuknya?"
Lagi-lagi, pembicaraan orang-orang itu melenceng dari situasi begitu melihat Shin. "Kau bisa, kan, mencarikannya pemuda dari luar kota dan langsung minta pria itu untuk menikahinya. Duda juga tidak apa, yang terpenting pria itu mau dengannya. Setelah itu suruh pria itu membawanya tinggal ke tempat yang jauh supaya tidak mendengar apa pun tentang riwayat perawan tua ini dan kutukannya. Atau kalau tidak, pria itu pun akan meninggalkannya!"
Deretan kalimat sepanjang itu, apakah sebuah saran, ataukah pukulan? Bagai belati yang berkarat, orang itu mencoba menusuk dada Shin. Mengasahnya di bagian kulit dan suara gesekannya terdengar begitu ngilu. Bergerak pelan tapi memaksa. Shin merasa lebih baik langsung mati daripada harus tersiksa pelan-pelan. Sungguh.
"Hey! Jika kau ke sini hanya untuk mengurusi kehidupan Shin, sebaiknya kau pergi dan jangan pernah kembali lagi ke tokoku!"
Shin bisa melihat Bibi Ri geram mendengar cercaan pembelinya. Buru-buru Shin menenangkan, "Bibi, sudah! Sudah, jangan dihiraukan, aku tidak apa."
"Lihat, dia saja tidak keberatan dengan saranku. Memangnya apa salah yang aku katakan ini? Ingatlah, usianya sudah tidak lagi muda. Semakin tua, kemungkinan untuk memiliki keturunan pun semakin sulit. Ya, dia memang cantik, tapi lima tahun ke depan, kerutan di kulitnya akan mulai terlihat dan saat itu tidak akan ada pria yang mau dengannya! Lihatlah penampilannya setiap hari, dia seperti hantu yang menakuti semua pria dan menggentayangi para warga! Kau harus berpikir untuk melakukan perubahan padanya setelah ini!"
"Jaga ucapanmu! Pergi dari sini atau kalau tidak, aku akan membungkam mulutmu dengan tepung!"
"Bibi, sudah hentikan!"
"Uukh, diberi saran bukannya berterima kasih!" Si pembeli itu menggerutu sambil berlalu menyelamatkan diri.
Shin berputar arah. Ia masuk ke dalam toko di balik etalase untuk menghampiri wanita tua yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri. "Bibi, tenanglah!"
Gara-gara keributan itu, beberapa pembeli memilih pergi.
"Bagaimana aku bisa tenang? Setiap hari mereka membicarakanmu. Mereka tega memanggilmu perawan tua dan selalu saja mengurusi kehidupanmu!" Bibi Ri berteriak-teriak kesal.
Shin sangat berterima kasih Bibi begitu membelanya, tapi untuk saat ini ia tidak ingin pembelaan apa pun sebab karena demi melindungi dirinya, Bibi sudah terlalu sering mendapat cibiran dan hujatan dari para warga.
"Biarkan saja, Bi. Aku tidak masalah jika mereka terus menerus membicarakanku. Lama-lama ... aku jadi merasa seperti seorang selebriti." Shin mencoba menebar canda.
"Kau ini! Mereka bukannya membicarakan kebaikan atau prestasimu, tapi membicarakan hal-hal yang buruk tentangmu!"
"Mereka orang lain, Bibi, mereka tidak mengerti apa-apa tentang diriku. Jadi biarlah mereka bicara salah mengenai aku! Kecuali ... jika Bibi yang menilaiku seperti itu, aku pasti akan sangat marah karena Bibi adalah satu-satunya orang yang mengenalku sejak aku masih remaja! Apalagi jika sampai aku mendengar Bibi memanggilku perawan tua, maka aku akan benar-benar menjelma menjadi hantu dan mencekik Bibi!" Shin mengancam dengan sedikit gurauan sembari mengangkat kedua tangannya di depan leher sang bibi.
Shin pun berhasil membuat Bibi Ri tersenyum.
Bibi memegang sebelah pipi Shin, menatapnya haru. "Bagaimana kau bisa semudah itu menyikapinya, Nak? Apa kau tahu, jika setiap hari mereka terus menerus menggunjingmu dan berkata yang tidak baik tentangmu, maka akan semakin banyak pria yang tahu dan mereka akan mulai menjauhimu, Shin! Tidak akan ada pria yang mau mendekatimu lagi!" Mata Bibi Ri mulai mengembun.
Shin tercenung untuk beberapa saat.
Ya, Shin juga pernah memikirkan apa yang Bibi khawatirkan, tapi apa yang bisa Shin lakukan sekarang ini? Setiap pria mempunyai keluarga dan mereka akan mempertanyakan silsilah ataupun latar belakang orang tua Shin sebelum melamarnya. Lalu, apa yang akan Shin katakan? Sebelum ia sempat mengucap kata, orang-orang itu, para tetangganya akan membuka suara terlebih dulu dan memberi tahu kebenaran yang salah. Saat itu tidak akan ada pria yang berniat melamarnya lagi.
"Ini sudah menjadi takdirku, Bibi."
"Takdir apa yang kau bicarakan? Kutukan itu tidaklah benar, tidak pernah terjadi!! Orang-orang itu menjauhimu hanya karena mereka takut saja, tapi sebenarnya kau tidak begitu! Tidak ada yang perlu ditakuti dari dirimu! Tidak akan terjadi apa-apa padamu!"
Akhirnya Shin menjawab, "Biarkan saja, Bi. Aku tidak takut. Bahkan jika aku harus menjadi perawan tua sampai aku mati. Namun itu tidak akan terjadi. Karena Bibi selalu katakan padaku untuk tidak pesimis. Bibi selalu mengatakan jika Tuhan telah menentukan jodoh untuk setiap orang dan akan mempertemukan mereka saat keduanya telah siap dan mampu di mata Tuhan. Tuhan juga akan memberikan pertanda untuk setiap jodoh. Jadi, aku pasti akan menemukannya dan mendapatkan jodohku!"
"Tapi, Nak ...."
"Aku pasti akan menikah, Bi! Entah kapan ... mungkin setelah Sora lulus sekolah, lalu mendapat pekerjaan yang layak. Saat itu, aku akan mulai memikirkan masa depanku."
"Astaga ... masih berapa tahun lagi, Shin? Sora adikmu masih butuh waktu tiga tahun lagi untuk menyelesaikan sekolahnya! Dan beberapa tahun lagi untuk bisa lulus sarjana! Apa kau bisa tahan menunggu selama itu? Ini akan menjadi penantian yang menyakitkan untukmu!"
"Kenapa tidak, Bibi? Bibi lihat, kan, aku masih sanggup berdiri! Dan justru karena aku tahu ini sangat menyakitkan, aku tidak ingin adikku merasakan hal yang sama, Bi, nantinya! Karena aku merasa mampu, maka aku akan jalani penantian ini. Pasti akan ada seseorang yang mengerti bahwa penantian ini bukanlah sebuah kutukan, tapi pilihan bagiku. Sora harus menjalani kehidupan yang layak. Dengan berpendidikan, dia akan mendapat kehormatannya. Dia akan bertemu dengan orang-orang yang berpendidikan pula di sana. Orang-orang yang berpikiran modern dan tidak kolot seperti tetangga-tetangga kita di sini!"
"Kau ini!"
"Orang-orang seperti itu, yang berpikir rasional, akan mudah menerima Sora tanpa harus memandang masa lalunya. Pria-pria seperti itu hanya butuh seorang wanita yang bisa menyukseskan masa depannya. Sora harus mendapatkan kehidupan yang baik, Bi! Lebih baik dariku!"
"Tapi, Nak ... apakah masih ada pria seperti itu? Bagaimana jika mereka menerima, hanya untuk memanfaatkannya saja?"
"Pasti ada, Bi! Pasti ada pria seperti itu!"
*****