Belum sampe di pintu depan, ibu Pandu sudah menjemput keluar.
"Silahkan masuk, wah, senang sekali kita kedatangan tamu." sambutnya ramah.
"Kenalin, bu. Ini Niken, teman Pandu. Nik, ini ibuku." kata Pandu.
"Panggil saja ibu. Nama saya Sulastri." kata ibunya Pandu menjabat tangan Niken.
"Selamat ulang tahun, Bu." kata Niken sambil menyerahkan kadonya.
"Waduh, repot-repot lho, nak Niken ini. Ayo Pandu, diajak masuk dong."
Pandu lalu mengenalkan satu-per-satu anggota keluarganya yang lagi berkumpul di situ semua.
Ayah Pandu, Pandu Pahlawan. Kakaknya yang nomer satu, Pandu Darmawan, dan istrinya, Sandra. Yang nomer dua, Pandu Sanjaya, dan istrinya Marini. Kakaknya yang nomer tiga, yang minjemin mobil, Pandu Wardhana, dan istrinya Adriana. Yang nomer empat Pandu Aditya belum menikah dan belum punya pacar.
Kakak-kakak Pandu semua ganteng-ganteng. Terutama yang nomer satu. Katanya dia pernah menang lomba wajah di majalah Mode. Nggak mengherankan. Memang ganteng sih. Alisnya tebal dan tajam, tulang rahang dan pipinya yang menonjol memberi aksen gagah di wajahnya. Itu semua pasti didapat dari ayah Pandu yang memang gagah, dan ibunya yang lembut dan melankolis.
Susah juga menghafal nama mereka, terutama karena namanya Pandu semua! Kakaknya yang nomer satu sudah punya anak, masih umur dua tahun, nggak bosen-bosen berceloteh, ngajak ngomong Niken. Lagi in the mood kali. Namanya Yunita. Sebentar saja Niken sudah akrab dengan Yunita. Rupanya Yunita sangat tertarik dengan pita rambut Niken. Niken lalu melepas pitanya, dan Yunita menerimanya dengan senang hati. Niken malah lalu iseng menguncir rambut Yunita dengan pitanya.
Makan malam itu sederhana, sayur lodeh, goreng-gorengan, dan ca kangkung. Niken sudah tambah ca kangkung dua kali. Dia sangat menikmati suasana rumah Pandu malam itu. Mungkin karena di rumah dia jarang, atau boleh dibilang hampir nggak pernah ada acara makan malam bareng. Apalagi karena keluarga Pandu begitu ramah menerima Niken. Mereka seolah-olah tidak menganggap Niken sebagai tamu, melainkan seperti kedatangan teman lama. Melihat keluarga Pandu begitu harmonis, Niken sebetulnya merasa rendah diri. Tapi sebentar saja rasa rendah diri itu hilang, karena asyik mengobrol dengan Pandu dan kakak-kakaknya.
Kalau sedang bersenang-senang memang waktu tidak terasa jadi berjalan begitu cepat. Tahu-tahu saja sudah jam setengah sepuluh malam. Niken harus pulang sekarang. Kalau tidak kereta kencananya akan berubah menjadi labu!
Setelah berpamitan, termasuk sama si kecil Yunita, Niken dan Pandu undur diri.
"Makasih Ndu, kamu bener-bener bikin aku seneng malam ini. Aku udah lupa kapan terakhir kali aku merasa seperti ini." kata Niken. Hatinya berbunga-bunga.
"Aku juga terima kasih kamu mau datang. Suasana rumahku jadi tambah meriah ada kamu."
Waktu mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Niken, Niken terpekik kaget.
"Kenapa, Fei?"
"Tuh… papa ada di teras depan." kata Niken menunjuk ke arah teras rumahnya.
"Mati deh aku. Gimana nih?" lanjut Niken, seakan tidak mau turun. Seandainya saja waktu bisa berhenti pada saat ini, berhentilah!
Papanya berdiri, menuju ke arah pintu gerbang.
"Ayo turun, Fei. Aku temeni." kata Pandu berusaha membesarkan hati Niken.
Keduanya lalu turun dari mobil.
"Niken! Masuk!" bentak papa Niken galak.
"Selamat malam Pak Tjakrawibawa. Hari ini ibu saya ulang tahun. Niken saya undang karena Niken satu-satunya teman baik saya di sekolah." kata Pandu tanpa rasa takut.
"Hmm… Niken, masuk!" ulang papa Niken dengan nada yang sama.
"Pak, tolong jangan marahi Niken. Ini semua ide saya." kata Pandu.
"Niken, kamu sudah lupa janji kamu untuk nggak pacaran?!"
"Nggak Pa. Kami nggak pacaran koq. Pandu cuma temen baek. Bener Pa!" kata Niken membela diri.
"Sudah, nggak usah banyak omong. Masuk!"
Niken lalu cepat-cepat masuk.
"Selamat malam, permisi Pak." Pandu pamitan dengan sopan.
"Jangan pernah datang-datang lagi ke sini. Niken nggak pantas sama laki-laki seperti kamu."
Pandu diam saja, lalu pergi.
☆☆☆☆☆☆☆
Sampai di rumah, keluarga Pandu sudah tidak sabar menunggu Pandu pulang. Mereka sudah ingin berkomentar tentang cewek yang baru saja bertandang di rumah mereka.
"Ndu," kata kakaknya begitu Pandu melewati ruang tengah. "Manis sekali Niken itu."
"Manis, tapi papanya galak banget." keluh Pandu.
"Kenapa emangnya?"
"Tadi aku ketemu papanya, aku diusir, coba. Katanya, aku nggak pantas buat Niken. Aku rasanya marah sekali sekarang. Pertama, aku kasian sama Niken tertekan sekali di rumah. Kedua, Niken berhak menentukan pasangannya sendiri, walaupun tololnya Niken sendiri nggak tau itu. Ketiga, aku bukan pacarnya Niken, meski aku yakin, beruntung sekali orang yang bisa pacaran sama orang seperti Niken." jawab Pandu geram.
Ibunya menimpali, seolah tak mendengar keluh kesah Pandu yang barusan. "Niken lain sekali dengan Ratna, cewek yang sering kemari itu, Ndu."
"Ibuuu….!" Pandu merengek. "Sudah aku bilang berkali-kali, Niken itu bukan pacarku, dan dia nggak ada niatan untuk pacaran sama aku, atau sama siapapun."
"Ibu hanya berkomentar koq," kata ibunya membela diri. "Ratna itu orangnya lemah lembut, nggak penuh gairah hidup seperti Niken. Hal yang paling aku suka dari Niken, dia rendah hati walaupun anak orang kaya. Malahan, hari ini dia nggak keliatan seperti anak orang kaya. Satu hal yang aku nggak suka dari Ratna, dia suka sekali merayu kamu. Niken sama sekali nggak."
"Ya jelas aja, karena Niken nggak suka hal-hal yang berbau pacaran." jawab Pandu.
"Kalau begitu Ratna itu pacarmu?" tanya bapaknya.
"Bukan juga. Aduh… koq jadi pada tanya yang aneh-aneh sih?" Pandu merasa jengah.
"Kenapa kamu koq nggak suka Ratna?" tanya bapaknya lagi.
"Yah… nggak tau ya… Ratna itu, terlalu dependen sama orang. Dia nggak pernah bisa mandiri. Lagian aku memang nggak sreg sama dia. Udah ah, tanya-tanya melulu, orang lagi kesel abis ketemu papanya Niken itu lho!"
"Kalo kamu nggak berani pacaran sama Niken, aku boleh nyoba?" goda Aditya.
Semua pada ketawa. "Aku sudah bilang, Niken itu orang yang unik. Dia nggak percaya sama yang namanya pacaran. Dia sudah dijodohin koq sama papanya." kata Pandu sambil melepas sandalnya.
"Hah? Dan Niken menurut saja?" tanya kakak-kakak iparnya hampir berbarengan.
"Iya. Kakaknya meninggal, bunuh diri, gara-gara pacaran terlalu bebas. Semenjak itu dia jadi antipati sama kata 'cinta'."
"Lha kamu sendiri suka nggak sama Niken?" tanya bapaknya ingin tahu.
"Nggak tau ya, aku selama ini nggak pernah ngeliat Niken sebagai orang yang bisa aku pacari, jadinya ya rasa sayang nggak pernah tercetus."
"Wah, sayang lho… padahal Niken itu maniiiiis sekali. Mungil. Matanya sipit, mungil. Mulutnya mungil. Idungnya juga mungil. Aku suka deh yang mungil-mungil begitu." kata Aditya bercanda.
"Aku juga…" gumam Pandu tanpa sadar.
"Ha ha… ! Jadi kamu suka sama Niken dong…!" Aditya menggoda adiknya.
"Ah! Dasar! Aku capek nih. Hatiku gerah sekali rasanya. Aku mau tidur aja." kata Pandu menuju ke kamarnya dengan langkah gontai. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, sedang apa ya Fei Fei sekarang?
Dia lalu balik lagi ke ruang tengah, mengambil sandalnya, terus keluar lagi.
"Ndu, mau ke mana kamu?" tanya bapaknya.
"Mau ke wartel di ujung jalan." jawabnya sambil terus berjalan.
"Ada apa ke wartel?" tanya bapaknya lagi.
"Telepon." jawab Pandu singkat.
"Koq nggak pake telfon rumah aja?" tanya ibunya.
"Nggak, ah. Nanti aku digodain terus."
Yang lain lalu tambah cekikikan. Sudah jam setengah 11 malam, tapi rumah Pandu masih ramai sekali seperti pasar malam. Telepon ada di ruang tengah. Bisa tidak dengar apa-apa kalo telepon Niken dari rumah.