"Kenapa kamu nggak bilang ke Pandu sendiri?"
"Ayolah, gampangan kamu yang bisa jinakin dia. Dia pasti menurut sama kamu." bujuk Wulan.
"Iya deh, nanti aku bilangin. Tapi dia harus angkut-angkut speaker gede-gede itu dulu sama anak-anak. Abis itu ya…"
"Ndu…" sapa Niken waktu Pandu baru saja selesai angkut-angkut, sambil menyodorkan tissue untuk mengelap keringatnya.
"Kamu hari ini promosi tissue apa gimana sih? Aku udah ngabisin tiga tissuemu hari ini."
"Kayaknya kamu butuh satu lagi deh." kata Niken sambil menyodorkan satu tissue lagi. "Tapi yang ini buat Ratna."
"Ratna?" tanya Pandu bingung.
"He'eh. Dia nangis sesenggukan di depan UKS tuh."
"Trus apa hubungannya sama aku?"
"Erat sekali. Dia nangis lantaran tau kamu berantem sama Jimmy tadi, dan dia tau itu gara-gara aku. Sama seperti Jimmy, dia pasti merasa sedikit banyak cemburu. Banyak, mungkin."
"Lantas, aku bisa apa?" tanya Pandu masih tak mengerti.
"Tu anak belum makan siang, dari tadi menangis terus, bikin bingung orang. Kalo nggak cepat-cepat ditolong, dia bisa pingsan, kehabisan tenaga karena belum makan, atau lebih parah, kehabisan air mata."
"Aku nggak berminat meladeni dia hari ini. Capek." jawab Pandu ogah-ogahan.
"Ayo, dong. Aku juga merasa bersalah, nih. Paling nggak, temui dia. Jelasin kalo nggak ada apa-apa antara kita. Jadi dia nggak salah paham, dan yang penting nggak menangis terus."
"Kamu sungguh-sungguh ingin aku deketi dia, Fei?"
"Kata Wulan sih, dia cinta sama kamu. Nggak tau gimana koq dia bisa cinta sama orang konyol kayak kamu, tapi kenyataannya emang iya. Ratna cantik, lembut. Itu kan kriteria cewek idamanmu, kalo nggak salah. Kenapa nggak diembat aja?"
"Baiklah. Aku akan bujuk dia untuk pulang dan nggak nangis lagi. Rasanya nggak bakal susah sih. Nanti aku balik ke sini lagi."
"Ndu, nggak usah cepat-cepat kembali kesini juga nggak papa. Kamu bakal aku butuhin lagi nanti kalo anak-anak dekor selesai."
Pandu mengangguk ragu, lalu berlalu dari situ, menuju ke arah UKS di depan.
☆☆☆☆☆☆☆☆
Ini hari Minggu sore, hampir malam. Gelar Seni sudah secara resmi dibuka tadi pagi. Niken seharian tadi sudah banjir keringat karena dari tadi sibuk mondar-mandir, lari kesana kemari. Rambutnya dikuncir ekor kuda di belakang, jadi tidak mengganggu. Dari tadi siang dia tidak sempat pulang. Niken sengaja bawa baju ganti, jadi dia tadi bisa mandi dan ganti baju di kamar mandi sekolah, untuk acara band nanti malam. Bandnya akan menjadi acara pembukaan pentas band malam ini. Acara puncaknya sih Jabrique band.
"Niken, si Heni demam panggung, tuh, aku udah berusaha nenangin dia, tapi kayaknya gagal total. Tolong dong…" keluh Juned. Niken mengangguk mengerti, lalu menghampiri Heni yang duduk di belakang panggung yang sedang komat-kamit menghafal naskahnya, seperti sedang menghafal mantera saja.
Melihat Niken datang menghampirinya, Heni langsung berdiri dan mengeluh, "Niken, kamu gantiin aku jadi MC hari ini ya. Aku nggak sanggup. Aku takut…"
"Kenapa mesti takut?" Niken memegangi tangan Heni. Dingin sekali tangannya. Keringat dinginnya sudah membuat kertas naskah yang dipegangnya jadi bergelombang dan kucel. "Aku udah bilang sama Juned, aku nggak mungkin milih kamu jadi MC kalo aku nggak yakin sama kemampuanmu. Aku tahu kamu bisa, Heni!" lanjut Niken dengan nada mantap.
"Kamu sepertinya sudah salah pilih, Niken. Aku nggak bisa...."
"Kamulah yang nggak sadar sama kemampuanmu sendiri, Hen. Buang deh itu naskah. Kamu mesti ngomong dari dalam hati kamu."
Pandu yang juga berdiri di dekat situ, sedang mempersiapkan diri untuk manggung di acara pertama, membisikkan sesuatu pada Niken. Lalu dia berlalu.
Sebentar saja dia datang lagi, membawa Galih. Tanpa ba bi bu, Galih mencium pipi Heni, lalu cuma menganggukkan kepala, terus pergi lagi.
Niken bengong. Heni apalagi. Tapi kemudian, Heni meremas kertas naskahnya, lalu berkata, "Ayo, aku udah siap. Mana Juned?"
Niken tambah bengong. Semenit kemudian, Heni dan Juned sudah asyik bercuap-cuap di atas panggung. Niken yang menonton dari pinggir panggung masih terbengong-bengong.
"Itu yang namanya kekuatan cinta." bisik Pandu.
Niken masih bengong, menatap wajah Pandu, meminta penjelasan.
"Aku tau Heni sudah lama naksir Galih. Galih juga suka sama Heni, tapi nggak tau kalo Heni naksir dia, jadi nggak berani ngomong. Hari ini aku sudah jadi mak comblang yang baik kan?" kata Pandu sambil mengedipkan sebelah matanya.
Niken lalu tertawa terbahak-bahak. "Terus kenapa Galih nggak bilang apa-apa sama Heni?"
"Cinta nggak butuh kata-kata, Fei. Heni tahu sekarang kalo Galih juga cinta sama dia. Itu saja cukup."
Niken kembali ke kebengongannya. Pandu mau tidak mau harus mengagetkannya, karena Heni dan Juned sudah menyebut-nyebut band mereka.
"Hoi! Mau manggung sekarang apa tahun depan?"
"Oh…! Ya sekarang dong!" kata Niken menyambar stick drum-nya di meja.
Baru aja Niken keluar dari panggung, Sandra dengan wajah pucat sudah menyambutnya dengan berita buruk.
"Niken, aku baru aja dikontak manager Jabrique. Mereka nggak bisa manggung malam ini karena ada komitmen lain. Bull shit, lah. Gimana nih? Padahal Jabrique udah dijadwalkan nyanyi 2 lagu malam ini. Gimana dong, Niken?!"
Kepala Niken jadi pusing mendadak. Seperti drum yang dipukul-pukul rasanya, tapi tanpa ritme yang jelas. "Kasih aku waktu buat mikir, San. Aku keluar panggung dulu. Sumpek."
Niken keluar lewat pintu panggung belakang. Pandu mengikutinya.
"Koq Jabrique nggak bertanggung jawab begitu, sih?" Pandu mengomel.
"Ini salahku. Mestinya aku punya back-up plan buat ini. Seharusnya aku tahu mereka bisa membatalkan sewaktu-waktu. Mereka kan band terkenal. Teman-teman pasti kecewa semua. Aduh, kepalaku jadi pusing deh. Aku nggak tau mesti gimana." sahut Niken jujur.
Baru kali ini Pandu mendengar Niken nggak tahu harus berbuat apa. Biasanya Niken pasti punya jalan keluar.
"Rileks, Fei. Kalo rileks kita pasti nemuin jalan keluar." kata Pandu berusaha menghibur, sambil mendekat ke arah Niken. Kedua tangannya diletakkan di bahu Niken, kiri dan kanan, lalu mulai memijit-mijit bahu Niken.
Niken memejamkan matanya. Enak sekali dipijit begini. Apalagi kalau sedang pusing seperti sekarang. Angin malam semilir membantu menenangkan suasana hatinya. Pikirannya melayang ke ciuman Galih tadi.
Pandu ikut memejamkan matanya, ikut berpikir, sementara tangannya masih memijit bahu Niken. Kasihan Fei Fei, dia pasti capek seharian sibuk terus, kata Pandu dalam hati. Hari ini dia melihat sisi lain dari Niken. Niken bisa juga merasa tak berdaya. Entah setan apa yang merasukinya, tiba-tiba saja dia bisa merasakan sesuatu yang harusnya dia ketahui sejak pertama ketemu Niken. Cinta!
"Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?" Pandu mengutuk dirinya dalam hati. Walaupun belum pernah merasakan ini sebelumnya, dia yakin ini tak lain dan tak bukan adalah cinta. Ibunya benar, cinta itu datangnya nggak terduga-duga, dan kalau sudah datang tak bisa diusir-usir. Kalau saja ibu ada di sini sekarang, ibu pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah dia bilang terus terang sama Niken? Dengan resiko berat harus kehilangan persahabatannya? Atau tidak usah bilang, dengan resiko kehilangan kesempatan memperoleh cinta sejati?
Aduh, kepala Pandu jadi ikut pusing.