Sesudah berkata-kata, Pandu cepat-cepat berlalu ke kelas. Niken mengikutinya dengan langkah pelan-pelan di belakang. Ada perasaan asing menyelimuti hatinya waktu Pandu ngomong tadi. Belum pernah ada orang yang rela berkorban buat dia seperti ini. Dia dibesarkan di lingkungan yang kurang toleransi, dimana tiap orang harus berjuang untuk kepentingannya sendiri. Lingkungan yang memproteksi dirinya dari luar, sehingga dia tak pernah merasa kecewa, tak pernah merasa kekurangan, selalu berkecukupan, tapi di lain pihak haus akan kebebasan dan kebahagiaan yang tidak pernah didapatnya dari pojok manapun di rumahnya. Dalam waktu berbulan-bulan belakangan ini, Pandu secara tidak langsung telah mengajarkannya untuk menghargai hal-hal kecil yang menyentuh hatinya. Pandu telah mengenalkannya pada sisi lain di dunia ini yang membuatnya bahagia. Pandu tadi bilang, dia satu-satunya cewek yang bikin Pandu seperti itu, otak Niken menganalisa, Pandu juga satu-satunya orang yang bikin Niken jadi seperti ini. Pandu yang baik, Pandu yang ganteng, Pandu yang… mata jangkrik?
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
Siang itu Niken mengajak Wulan main ke rumahnya, seperti biasanya. Ngobrol-ngobrol di kamar, Wulan suka sekali membaca puisi-puisi Niken. Terutama akhir-akhir ini, setelah kenal Pandu, Niken lebih sering menulis puisi-puisi ringan yang riang, dibanding puisi-puisinya terdahulu yang membuat orang sedih saja.
"Wulan, kamu sudah pernah jatuh cinta? Jatuh cinta tu rasanya seperti apa sih?" tanya Niken.
"Kamu nggak pernah ngomong seperti ini, Nik. Tumben. Kesambet apa sih?" Wulan balas bertanya.
Niken diam saja, tapi wajahnya memelas, seakan berkata, "Jawab dong…"
"Sama seperti kamu, aku juga belum pernah jatuh cinta. Naksir sering, tapi jatuh cinta... sepertinya belum pernah. Kenapa sih tanya-tanya?"
"Emang apa bedanya naksir sama jatuh cinta?" Niken tidak mau menjawab, malah bertanya lagi.
"Blo'on benar ini anak. Naksir tu cuma sekadar suka karena dia ganteng, atau karena salah satu kelebihan di dirinya. Biasanya ya karena ganteng itu tadi. Misalnya, aku naksir Brad Pitt, gitu. Nggak berarti aku pengen pacaran sama dia. Brad Pitt kayaknya contoh kejauhan deh. Misalnya Mas Bayu, tetangga sebelah rumahku. Kalo ngeliat dia rasanya gimanaaa gitu. Tapi ya cuma sebatas itu aja. Nggak ada niatan untuk menyayang atau disayang sama dia."
"Trus kalo cinta yang kayak gimana?"
"Reaksi orang terhadap cinta tu lain-lain, Nik. Ada yang nggak suka makan, nggak bisa tidur, mikirin si jantung hati. Ada yang malah makan terus, tidur juga pulas, karena mimpiin si jantung hati. Jadi aku nggak bisa jelasin definisinya, karena terlalu abstrak dan tiap orang lain-lain reaksinya."
"Oke… Kasih contoh cinta jadi aku bisa ngerti dong." kata Niken.
"Banyak dong… Romeo and Juliet, yang paling terkenal. Mati demi membela cinta. Cinta yang aku pernah rasakan adalah cinta ibuku. Aku nggak pernah ketemu bapakku. Tapi ibu mencurahkan segala cintanya pada aku dan adikku. Ibuku yang seorang diri menjadi ibu dan bapakku sekaligus. Masih banyak contoh-contoh lain, Nik. Yang pasangan-pasangan terkenal legendaris biasanya karena mereka mati tragis membela cinta. Ya seperti Sam Pek dan Eng Tay, Roro Mendut dan Pronocitro. Cinta yang paling terkenal, cinta Yesus yang rela mati menebus dosa manusia, makhluk yang dicintainya."
"Hmm…" Niken cuma menggumam.
"Mereka terkenal karena seakan-akan mereka telah menjadi pahlawan cinta. Memperjuangkan cinta mereka sampai titik darah terakhir. Membuktikan bahwa cinta sejati itu benar-benar ada dan mereka nggak segan-segan mempertaruhkan nyawa untuk memperolehnya."
"Jadi yang dialami kakakku, itu bukan cinta?" tanya Niken ragu-ragu.
"Menurutku itu cinta juga. Sepihak tapinya. Kakakmu benar-benar cinta mati sama cowok itu, tapi si cowok bajingan itu cuma mempermainkan dia aja. Kalo kamu mau cerita yang sebenarnya, kenapa nggak tanya saja sama itu cowok? Dia kan saksi hidup. Kenapa kamu nggak tanya ke dia?" Wulan menyarankan.
"Kenapa aku nggak pernah mikir itu, Wulan? Pinter juga kamu." Niken mengacungkan jempolnya.
"Wulaaan…" kata Wulan sambil menepuk dadanya.
"Aku telfon dia sekarang yah…" kata Niken.
"Silahkan saja. Aku perlu keluar?" tanya Wulan.
"Nggak usah. Kamu di sini aja, kalo ngantuk tidur aja, Wulan." saran Niken. "Aku ke kamar cici dulu, pasti nggak susah untuk menemukan nomor telepon Edi." lanjutnya.
Memang tidak susah mencari nomer telepon Edi di kamar Tasya, kakak Niken. Namanya jelas ada di address book Tasya, di baris nomor satu, pula. Setelah mendapatkan nomer teleponnya, Niken balik lagi ke kamarnya, lalu mengambil gagang telepon wireless di kamarnya.
"Hallo, bisa bicara dengan Edi?"
"Ya, ini Edi. Ini siapa yah?" tanya Edi. Jelas saja itu Edi, orang Niken menelepon nomor telepon genggamnya.
"Namaku Niken." kata Niken. Dia ingin tahu apakah Edi mengenal namanya.
"Niken… adiknya Tasya?" tanya Edi. Halus sekali suaranya waktu menyebut nama Tasya.
"Betul."
"Apa yang bisa aku bantu, Niken?" tanya Edi sopan. Niken tidak menyangka Edi bisa sesopan ini. Terakhir kali bertemu Edi, dia tidak seperti ini. Sombong sekali.
"Aku ingin keterangan darimu. Aku ingin tahu, apakah cici itu benar-benar cinta sama kamu, dan apakah kamu nggak cinta sama cici, sampai dia mati bunuh diri?" tanya Niken to the point.
"Tasya… dia sangat mencintai aku. Rasanya aku nggak akan mungkin bisa menemukan orang yang mencintai aku seperti dia. Aku… walaupun malu, aku harus mau mengakui, aku nggak menganggap serius Tasya waktu itu. Aku terlalu bejat. Aku menganggap Tasya terlalu naif, mengumbar kata-kata cinta. Aku sendiri nggak pernah mengerti apa sebenarnya cinta, dan belum pernah merasakannya, sampai saat sudah terlambat." kata Edi pelan.
"Lantas kenapa kamu bunuh dia secara nggak langsung? Dia hamil, Edi, kamu tau kan?" tuding Niken emosi.
"Aku tahu. Aku memang benar-benar bajingan. Nggak seharusnya aku mempermainkan cintanya. Aku yang memaksa dia untuk menyerahkan kehormatannya padaku. Yang ada di kepalaku waktu itu cuma kenikmatan seksual belaka, sementara dia mengira aku mencintainya. Waktu aku tahu dia hamil, aku tahu nggak mungkin ada orang lain yang bisa menghamili dia selain aku. Aku panik. Aku nggak mau mengorbankan masa depanku. Tasya sendiri malah sudah siap untuk menikah, dan lain-lain. Aku egois sekali. Aku usir dia dari rumahku, aku nggak mau mengakui perbuatanku. Dia menangis memohon-mohon malam itu."
"Kamu nggak berperasaan, Edi."
"Benar. Aku memang jahat. Mungkin kamu nggak tau, tapi dia jatuh di depan rumahku malam itu. Hujan deras. Dia keguguran. Aku bawa dia ke rumah sakit. Ada sedikit perasaan lega waktu itu, mengetahui bahwa aku nggak harus bertanggung-jawab…"
"Keguguran? Jadi kenapa dia bunuh diri?" Niken bingung.
"Dia sakit hati karena perlakuanku. Dia berkali-kali bilang dia mencintaiku. Aku bilang, aku nggak sanggup mencintainya, apalagi menikahinya. Aku sakiti perasaannya lagi. Aku bahkan bilang, aku hanya mempermainkannya. Terakhir kali aku bertemu dia ya di rumah sakit itu. Aku pergi, meninggalkan dia sendirian di kamar. Aku nggak tahu bagaimana dia bisa pulang ke rumah malam itu. Naik taksi, mungkin."
Edi lalu melanjutkan, "Aku shock waktu mendengar Tasya bunuh diri. Aku nggak menyangka dia benar-benar mencintaiku. Saat itu aku baru sadar bahwa aku juga mencintainya. Tapi sudah terlambat. Aku sudah mengecewakannya dengan keegoisanku. Sepeninggal Tasya, aku sama sekali nggak pernah pacaran apalagi menyentuh cewek lagi. Aku selalu ingat kekejamanku padanya. Di setiap cewek yang kutemui, aku bisa melihat mata Tasya yang penuh cinta, yang kecewa, yang mau mengorbankan segala-galanya untukku. Walaupun kamu bukan orang yang tepat, aku ingin meminta maaf, Niken. Maaf aku merenggut nyawanya. Aku seharusnya melindunginya, bukan melukainya." kata Edi penuh rasa penyesalan.