Chereads / PANDU & NIKEN / Chapter 16 - ENAM BELAS

Chapter 16 - ENAM BELAS

Selesai upacara, seisi sekolah jadi gempar karena Ratna kehilangan gelang emasnya yang dia tinggal di laci mejanya. Bodoh benar Ratna, dia memang sering menaruh barang-barang berharga di laci. Uang, gelang, dan lain-lain.

Kepala sekolah mengumumkan akan mengadakan penggeledahan segera. Dari kelas satu sampai kelas tiga. Semua kelas akan digeledah total sampai gelang Ratna ketemu.

Anak-anak berkumpul di depan kelasnya masing-masing. Niken melihat Jimmy lewat. Jimmy yang juga melihatnya memandang Niken dengan tampang licik. Niken mengernyitkan dahinya. Instingnya langsung bekerja.

"Pandu!" Niken memanggil Pandu yang berdiri tidak jauh dari situ.

"Perasaanku nggak enak. Bisa jadi ini adalah akal-akalannya Jimmy. Coba cek tas kamu, Ndu." kata Niken mengajak Pandu masuk kelas, ke arah meja mereka.

Pandu mengecek seisi tasnya. Tidak ada apa-apa. Tak ada satupun barang yang hilang, maupun barang yang mencurigakan.

"Cek ulang," perintah Niken. "Aku nggak mungkin salah." gumamnya. "Pasti ada apa-apanya, nih."

Niken lalu melongok ke laci meja Pandu.

"Astaga, Pandu!"

Pandu terkejut, ikut melongok ke arah lacinya. Tidak cuma gelang Ratna yang ada di situ. Uang dalam jumlah besar juga ada di situ. Pandu dan Niken saling menatap, tidak percaya.

"Fei, aku nggak pernah…" kata Pandu bingung.

"Aku percaya. Kamu nggak akan mencuri. Sekarang bagaimana kita menghapus bukti ini, dan cepat!" kata Niken panik.

"Ndu, pindahin semua uang ke laciku. Aku bisa mengaku itu uangku. Ayo cepat." katanya.

Good idea. Selesai memindahkan semua uang kertas itu ke laci Niken, mereka baru nyadar.

"Gelangnya?!" kata mereka hampir bersamaan.

"Taruh di laciku aja, Ndu. Siapa tau mereka percaya bahwa itu gelangku." kata Niken.

"Nggak. Aku nggak akan lakukan itu. Terlalu beresiko, Fei." kata Pandu sambil memegangi gelangnya.

"Lebih beresiko kalo ada di lacimu, Ndu. Ayo dong, berikan padaku."

"Jangan!"

"Nggak usah berebut, serahkan pada saya." tiba-tiba Pak Yusril sudah berada di ruang kelas.

Seperti tercekik, mereka tak bisa berkata apa-apa. Pandu menyerahkan gelang itu pada Pak Yusril dengan gemetaran.

"Kalian berdua, ikut saya ke kantor."

Dengan langkah lunglai dan kepala tertunduk, mereka berdua mengikuti Pak Yusril ke kantor kepala sekolah.

"Niken, kamu tunggu di luar. Saya mau bicara dengan Pandu dulu."

Niken lalu duduk di kursi di luar kantor kepala sekolah dengan cemas. Dari luar tidak terdengar apa-apa. Setidaknya Pandu tidak dibentak-bentak, pikirnya. Kalau dibentak pasti terdengar dari luar ruangan. "Kasihan Pandu. Jimmy kurang ajar," pikir Niken geram. Setengah jam kemudian, pintu terbuka kembali.

"Pandu, kamu tunggu di luar. Niken, masuk."

Setelah menutup pintu, Niken duduk di depan meja Pak Yusril.

"Ceritakan apa yang kamu tahu." kata Pak Yusril.

"Ini semua ulah Jimmy, Pak. Dia yang memfitnah Pandu. Saya nggak punya buktinya sekarang, tapi Pandu nggak bersalah."

"Benarkah itu? Kenapa Jimmy mau memfitnah Pandu?" tanya Pak Yusril.

"Karena Jimmy cemburu sama Pandu. Ceritanya panjang, Pak. Mereka hari Sabtu kemarin berkelahi di lapangan parkir setelah pulang sekolah. Ini pasti akal-akalannya Jimmy, Pak. Saya tidak mencuri gelang itu. Pandu juga tidak mungkin."

"Aneh sekali." kata Pak Yusril kemudian. "Karena Pandu baru saja mengakui semua perbuatannya."

"Apa?!"

"Pandu bilang, kamu tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Kamu cuma berusaha menyadarkan dia bahwa mencuri itu salah. Dia yang melakukan semua ini. Dia pun sama sekali tidak menyebut nama Jimmy. Dia mencuri gelang itu waktu anak-anak sudah keluar semua ke lapangan pagi tadi."

"Dia bohong, Pak. Saya bersama dia tadi sebelum upacara. Di kelas 2C. Waktu saya masuk, dia dari WC putra, dan dia mengaku sudah lama di WC karena nggak bisa pake dasi. Terus saya yang memakaikan dasinya. Dia ke lapangan bersama saya, Pak."

"Kamu tahu hukuman apa yang harus saya berikan untuk pencuri?" Pak Yusril bertanya lagi.

Niken menggeleng lemah.

"Skors seminggu untuk pertama kali ketahuan. Kedua kali dikeluarkan." jawab Pak Yusril tegas.

"Pak, ini masalah serius. Saya belum pernah berbohong, terutama dalam masalah kritis seperti ini. Saya tidak akan membela Pandu jika saya yakin Pandu bersalah. Ini hampir ujian naik kelas, Pak. Kalau diskors, Pandu…"

"Pandu sudah mengakui perbuatannya, Niken. Kalau kamu bisa menunjukkan bukti-bukti bahwa dia bukan pencurinya, saya bersedia mencabut hukuman itu."

"Saya tahu Jimmy pencurinya. Tapi saya tidak punya bukti apa-apa sekarang." kata Niken lemas.

"Saya tidak ada jalan lain, Niken. Hukuman Pandu mulai besok pagi. Kalian berdua kembali ke kelas."

Di luar pintu, Niken melihat Pandu duduk tertunduk di kursi.

"Ndu, kenapa kamu bilang begitu sama Pak Yusril? Kenapa kamu mengaku bersalah kalau kamu nggak berdosa?"

Pandu diam saja. Dia lalu melangkah menuju ke kelas.

"Pandu. Jawab dong. Kita bisa sama-sama mencari bukti bahwa Jimmy pencurinya. Kamu nggak perlu mengakui sesuatu yang bukan kesalahanmu." kata Niken sambil berusaha mengikuti langkah Pandu.

"Fei, dengar. Pikir dong. Kalau aku nggak akui ini, masalah ini bakal diekspose besar-besaran. Besar kemungkinannya kamu ikut diskors. Kita cuma bisa lebih hati-hati di lain waktu, jadi tidak terjebak seperti ini lagi. Yang sudah terjadi ya sudah. Jimmy pasti sudah memikirkan segala-galanya. Bagaimana kamu bisa menemukan bukti bahwa dia yang mencuri? Kamu nggak punya bukti apapun untuk memulai tuduhanmu. Semua bukti mengarah ke aku. Ini jalan keluar terbaik, percayalah, Fei. Jangan perpanjang masalah ini."

"Kamu bisa minta waktu untuk membuktikan ketidakbersalahanmu, Ndu. Aku pasti akan bantu." cegah Niken.

"Berapa lama, Fei? Seminggu, sebulan, dua bulan? Pak Yusril tidak akan setuju. Dia pasti menganggap aku pencuri yang berusaha melepaskan diri dari hukuman, dan kamu berusaha menolong pelarianku. Sudahlah, Fei. Lupakan saja."

Niken terpana. Dari kata-kata Pandu, Niken bisa jelas menangkap bahwa Pandu mengaku cuma dengan maksud untuk melindunginya. Kenapa dia harus berbuat seperti itu?

"Ndu, tunggu!" kata Niken mengikuti Pandu. "Aku bisa melindungi diriku sendiri. Aku nggak butuh pertolonganmu untuk membelaku, Ndu. Kamu nggak perlu berkorban seperti ini."

"Fei, aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kamu sampai ikut diskors. Aku melihat ini satu-satunya cara untuk melepaskan kamu dari segala tuduhan. Sudahlah, Fei, kamu nggak akan pernah mengerti."

"Karena yang kamu bilang kemarin, karena kamu sayang sama aku?" tanya Niken lagi.

Pandu menatap wajah Niken lekat-lekat. Wajah yang begitu polos dan tanpa dosa. Digenggamnya kedua lengan Niken dengan kedua tangannya.

"Aku pun nggak tahu, Fei, kenapa aku berbuat seperti ini. Kamu boleh bilang aku gila. Memang kenyataannya begitu. Kamu satu-satunya cewek yang bikin aku seperti ini, Fei. Aku mengerti kamu nggak mau tahu. Tapi aku nggak akan pernah menyesali keputusanku ini. Suatu saat aku akan membuatmu percaya, cinta suci itu ada, dan layak diperjuangkan."