Chereads / PANDU & NIKEN / Chapter 15 - LIMA BELAS

Chapter 15 - LIMA BELAS

Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengikuti Niken saat ini juga percuma, dia yakin tidak akan bisa meyakinkan gadis yang teramat keras kepala ini. Wulan yang baru mau menyelamati Niken atas suksesnya acara mereka malam itu, melihat Niken berlari keluar jadi mengurungkan niatnya. Dia menatap Pandu yang masih berdiri terpaku di belakang panggung. Pasti ini ulah Pandu, pikirnya.

"Kamu apain dia, Ndu?" tuduh Wulan.

"Aku cuma berusaha jujur sama dia, kalo aku sayang sama dia…" kata Pandu masih menatap Niken yang bayangannya semakin kecil menjauh.

"Kamu cinta sama Niken? Aduh, Ndu… kamu koq nambah-nambahin masalah sih?" keluh Wulan. "Kamu udah pernah diceritain Niken tentang kakaknya? Tentang niat perjodohannya?"

"Sudah, sudah. Sudah semua. Aku nggak bisa mencegah semua itu terjadi, Wulan. Aku…"

"Seandainya Niken cinta sama kamu pun, dia nggak akan berani melawan papanya. Papanya bisa shock kalo tau hal ini."

Pandu diam saja. Dia masih bingung. Bukan bingung akan perasaan cintanya, itu dia sudah yakin. Bingung mesti berbuat apa. Musti bersikap bagaimana terhadap Niken.

"Wulan, kamu pernah bilang, kamu nggak yakin Niken benar dalam prinsipnya yang nggak mau menerima cinta. Aku benar-benar cinta sama dia, Wulan. Boleh percaya boleh nggak, tapi aku belum pernah jatuh cinta, dan belum pernah pacaran. Mungkin itu juga sebabnya dia nggak bereaksi tadi, karena aku nggak tau bagaimana caranya merayu cewek… Aku butuh bantuanmu…"

"Tunggu. Kamu bilang apa tadi? Kamu belum pernah pacaran?" tanya Wulan berusaha mengoreksi.

"Kamu boleh tanya sama ibuku, sama siapa saja yang pernah kenal aku. Aku belum pernah jatuh cinta. Persahabatanku sama Niken itu hubungan terdekatku dengan seorang cewek. Itu juga lantaran aku nggak sadar aku sudah jatuh cinta sama dia sejak awal jumpa. Sekarang aku baru sadar, dan perasaan itu sungguh indah, tapi sangat menusuk, sakit sekali. Apalagi kalau memikirkan dia bakal menjauhi aku. Oh, Wulan, kamu harus bantu aku."

"Aku nggak tau mesti bantuin gimana. Niken itu orang yang susah di hal-hal seperti ini. Aku nggak bisa bantuin kamu sebelum aku yakin Niken juga cinta sama kamu."

"Aku cuma butuh kamu bantuin aku untuk meyakinkan dia untuk mau membuka dirinya. Kalau pada akhirnya terbukti bahwa dia nggak mencintaiku, akan ada seorang cowok yang beruntung yang bisa memilikinya, membahagiakan dia. Kamu percaya Niken layak mendapatkan itu kan?"

"Iya sih. Baiklah. Aku nggak berani janji apa-apa, melihat kondisinya seperti ini sekarang. Kata-katamu tu selalu meyakinkan. Aku nggak tahu kenapa Niken nggak mau percaya sama kamu. Semoga saja kamu nggak bohongin aku."

"Aku nggak akan pernah main-main sama yang namanya cinta. Dosa kata ibuku. Kamu bisa percaya deh sama aku tentang yang satu ini."

"Duh, Gusti, kamu punya banyak pilihan, kenapa juga hatimu mesti memilih jatuh cinta sama orang yang sulit, Pandu?"

Pandu hanya bisa membisu. Campur aduk perasaannya saat ini. Bahagia, karena baru saja menyadari perasaan hatinya. Berbunga-bunga, penuh rasa cinta. Di saat yang sama juga merasa sedih, karena tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya yang meluap-luap itu pada gadis yang dicintainya. Juga bingung, karena mungkin rasa cintanya ini bakal membuat gadis itu menderita.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Malam itu juga, Pandu menceritakan segala-galanya pada ibunya. Ibunya sabar, diam mendengarkan. Di tengah-tengah keputusasaannya, Pandu bahkan sempat menangis. Terakhir kali ibunya melihat Pandu menangis waktu kelas 1 SD, waktu kakeknya meninggal. Pasti Pandu sangat mencintai gadis ini.

"Ibu nggak heran kamu jatuh cinta sama Niken." kata ibunya kemudian.

"Ibu nggak keberatan, walaupun Niken bukan gadis Jawa?" tanya Pandu.

"Tentu saja nggak. Kamu sudah Ibu besarkan, Ibu didik dengan pengertian bahwa semua manusia itu sama di mata Tuhan. Ibu bangga, kamu bisa melihat jati diri Niken dari balik perbedaan kulitnya. Ibu pun bisa melihat Niken sebagai seorang gadis yang teramat cantik, karena kecantikan dari dalam dirinya."

"Bagaimana aku bisa yakin kalau ini benar-benar cinta, Bu? Bukan sekadar perasaan sementara saja?" tanya Pandu.

"Itu kamu harus bisa merasakannya sendiri. Ibu nggak bisa menilai. Ibu cuma bisa menyarankan, ikuti kata hatimu."

Ibunya lalu menghibur Pandu dengan bercerita tentang jaman ibu pacaran sama bapak dulu, cerita-cerita cinta kakak-kakaknya, dengan segala perjuangannya masing-masing. Dengan mendengarkan cerita ibunya, Pandu jadi semakin yakin dia perlu memperjuangkan cintanya, karena cinta itu hal yang paling mulia di dunia ini, yang layak untuk dipertaruhkan.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Hari Senin, tanggal 17. Anak-anak bersiap-siap untuk mengikuti upacara bulanan yang selalu diadakan tiap tanggal 17. Niken tadi sudah sampai sekolah jam setengah tujuh kurang, tapi lupa kalau hari ini tanggal 17, jadi tadi tidak memakai seragam upacara. Lantas pulang lagi, ngebut, ganti baju seragam lalu kembali ke sekolah lagi. Sampai sekolah jam tujuh kurang lima menit, bertepatan dengan bel pertama masuk. Pintu gerbang hampir saja ditutup. Niken cepat-cepat lari ke dalam kelas, untuk menaruh tas sekolahnya. Dari jauh dilihatnya koridor sudah sepi, semua anak sudah mulai berbaris di lapangan, rupanya. Setelah menaruh tasnya dari luar jendela, dia berbalik ke arah lapangan. Dilihatnya Pandu baru saja keluar dari WC putra. Berusaha menghindar, dia balik kanan, masuk ke dalam kelas lagi. Rupanya Pandu cukup awas matanya. Maklum, mata elang ini.

"Fei," panggil Pandu cepat. "Untung ada kamu. Tolongin dong aku dari tadi di WC berusaha pake dasi ini nggak bisa-bisa." kata Pandu dengan nada putus asa.

Niken ragu-ragu mendekat. Dia lalu tersenyum geli melihat dasi Pandu yang kucel karena terlalu banyak dilipat-lipat.

"Kenapa nggak dipakai dari rumah dasinya? Kan bisa minta tolong ibumu?" tanya Niken sambil menerima dasi dari tangan Pandu.

"Panas dong pake dasi dari rumah, apalagi aku naik sepeda." kilah Pandu.

Niken yang sedari kecil sering melihat papanya memakai dasi, ilmu pasang dasi bukanlah hal yang baru untuknya.

Niken lalu menaikkan kerah baju Pandu. Sekilas, tak sengaja ditatapnya wajah Pandu. Alisnya yang tebal, mata coklatnya benar-benar menawan. "Aduh, kenapa jadi deg-degan begini, sih?" keluhnya dalam hati, lalu memusatkan perhatiannya pada dasi yang menggantung di leher Pandu.

"Malu-maluin ah, cowok nggak bisa pakai dasi." kata Niken, matanya masih tertumbu pada dasi Pandu.

"Emang cowok harus bisa pake dasi? Aku belum pernah ke acara di mana aku harus pake dasi koq." bela Pandu.

"Nih… sudah jadi. Gimana? Bagus nggak?" tanya Niken sambil merapikan hasil karyanya.

"Perfect. Makasih ya Fei. Oh ya… tentang kemarin…"

"Tolong jangan sebut-sebut tentang kemarin, Ndu. Please."

"Aku cuma mau minta maaf, kalau aku sudah sakiti hati kamu kemarin. Tapi aku benar-benar serius, Fei." lanjutnya.

Niken diam saja, membeku.

"Keluar, yuk. Upacara sudah hampir mulai, tuh!" kata Pandu mengingatkan.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆