Chereads / PANDU & NIKEN / Chapter 9 - SEMBILAN

Chapter 9 - SEMBILAN

"Mbak Merlina baik yach, tadi kita dikenalin sama Jabrique, grup rock lokal yang lumayan tenar. Gelar Seni kali ini bakal meriah banget karena Jabrique janji mau muncul." kata Niken sepulangnya dari Radio Boss. Dia kelihatan girang sekali.

Pandu sibuk menggeledah semua CD koleksi Niken. Gila koleksinya dari Mozart sampe metal ada semua.

"Setel yang ini dong…" kata Pandu sambil mengacungkan cover CD Bryan Adams.

"Sorry, Ndu, itu covernya doang. CD-nya ada di kamarku. Kamu mau nggak mau mesti dengerin lagu2 yang ada di jukeboxku. Ada 5 cd koq, kamu pencet-pencet aja tombol ini sendiri, sampe nemu CD yang kamu suka." kata Niken sambil memencet satu tombol di car stereonya.

"Yak ini aja deh!" kata Pandu waktu mendengar intro lagu Nirvana, Come as you are."

"Fei…"

"Apa?"

"Aku baru aja denger tadi sore, katanya papa kamu punya simpanan di Malang yah?"

"Ah, kalo itu aku sudah tahu dari dulu koq. Kamu baru tahu sekarang yah?" kata Niken seakan tak peduli.

"Iya. Nggak sedih?"

Niken mendesah. "Kamu sungguh-sungguh ingin tahu?"

"Ya sungguhan dong, aku kan temen kamu. Kalo kamu sedih, aku pengen hibur kamu…"

"Aku nggak papa koq. Awalnya sih terang sedih. Aku sudah tahu sekitar empat tahun yang lalu, lebih malah. Sudah lama kan? Sebelum cici ku meninggal. Cici yang bilang ke aku. Dia marah besar waktu itu. Semua hadiah miliknya yang dari papa dibuang ke lantai. Yang barang pecah belah ya jelas pecah. Ribut sekali rumah waktu itu. Trus dia minggat sebulan gak balik-balik. Ya gara-gara minggat itu dia kenal sama si Edi, anak pejabat itu. Waktu itu aku nggak sesedih cici. Cuma kecewa saja, koq papa tega berbuat begitu. Kasian mama. Dia kuatir sekali waktu cici minggat."

Niken menghela napas panjang. "Tadinya aku benci sama si wanita lain itu. Koq jahat, sudah tahu papaku sudah menikah, sudah punya anak dua, koq ya nekad aja. Usut punya usut, ternyata wanita itu juga sama-sama nggak tahu kalo papaku itu sudah punya keluarga. Jadi sama-sama dibohongin, gitu. Yang jahat memang papaku."

"Kamu hebat, Fei, bisa kuat begitu. Kalau saja hal seperti itu terjadi di keluargaku, aku bisa gila." kata Pandu jujur.

"Ya, karena kamu dibesarkan di keluarga yang harmonis. Tuhan nggak akan kasih nasib yang nggak bisa dijalani, Ndu. Sejak kecil, aku jarang ketemu papa. Mama sih tadinya selalu di rumah. Sejak empat tahun yang lalu itu, mama jadi jarang ada di rumah juga. Mungkin itu juga yang bikin cici jadi gak betah di rumah, trus main sama Edi jelek itu."

Pandu menatap mata Niken lekat-lekat. "Kamu sendiri?"

"Sejak cici meninggal, aku jadi tau kalo cici udah milih jalan yang salah. Aku nggak mau seperti dia. Sedih itu bisa dilampiaskan ke hal-hal yang laen. Belajar, misalnya, dengerin musik, berenang, jogging, nge-band..." kata Niken sambil senyum.

"Aku nggak bisa bayangin betapa bosannya kamu di rumah. Abis pindah Semarang, aku juga kesepian banget. Setidaknya aku masih ada ibu…" kata Pandu menerawang.

Tiba-tiba ada nada bersemangat di kalimat Pandu, "Kamu ada acara apa Jum'at tanggal 14 bulan depan?"

"Gak ada acara apa-apa. Emang kenapa?" tanya Niken.

"Hari Jum'at tanggal 14 bulan depan, ibuku ulang tahun. Kakak-kakakku mau datang semua dari luar kota. Daripada bengong di rumah, kenapa kamu nggak ikut ngerayain ulang tahun ibuku? Ibu belum punya banyak teman di Semarang, jadi bakal cuma acara keluarga aja. Mau ya?" tanya Pandu menawarkan.

"Makasih, Ndu. Kamu baek. Aku tau niatmu baik, pengen menghibur aku, biar aku nggak kesepian. Tapi nggak usah, ah." tolak Niken baik-baik.

"Kenapa nggak?"

"Ndak enak dong, aku nanti ngabis-abisin makanan lho?" goda Niken.

"Nggak papa. Ayolah…" ajak Pandu setengah memaksa.

"Baiklah." kata Niken akhirnya. "Jam berapa aku harus sampe sana?"

"Jam 6 bagaimana? Kamu bisa ikut bantu-bantu nyapu, ngepel, masak-masak dulu?" kata Pandu dengan senyumnya yang nakal.

"Serius nich…"

"Fei, kamu musti mikir, gimana kamu bisa keluar rumah tanpa Jimmy?" tanya Pandu mengingatkan.

"Oh… iya! Aduh, anak jelek itu lagi." keluh Niken.

"Gini deh… Aku ada akal." kata Pandu sambil tersenyum licik. "Kali ini kita harus jahat sedikit. Jum'at pagi itu, aku bisa bawa mobil kakakku ke sekolah. Aku kerjain mobil Jimmy siang itu sebelum pulang sekolah, jadi aku bakal anterin kamu dan Jimmy pulang. Aku akan pura-pura nggak begitu bisa nyetir, apalagi ke daerah atas, jadi aku akan suruh Jimmy nyetir mobilku sampe ke rumahmu."

"Oh… pinter juga kamu, Ndu! Jadi satpam bakal mengira itu mobil Jimmy, dan sorenya kamu bisa jemput aku pake mobil yang sama. Aku bakal siap di depan pintu gerbang, jadi kamu nggak usah turun mobil. Aduh, Pandu baek, deh!" kata Niken langsung mengerti rencana licik Pandu, sambil mencubit pipi Pandu gemas.

"Namanya juga Pandu…" kata Pandu sambil menepuk dadanya.

☆☆☆☆☆☆☆

Siang itu, rencana bulus mereka berjalan dengan mulus. Jimmy sama sekali tidak menaruh curiga. Satpam apalagi. Sorenya, satpam yang mengenali mobil yang tadi siang, membiarkan saja Niken pergi, mengira Jimmy yang datang menjemputnya. Begitu Niken masuk mobil, Niken dan Pandu nggak bisa menahan ketawa.

"Aduh, aku udah deg-degan terus nungguin kamu…" kata Niken.

"Aku malah santai saja. Lebih deg-degan waktu jemput kamu nge-band itu." kata Pandu sambil melirik Niken. Sekilas dia bisa melihat Niken pake rok. Apa? Niken pake rok? Penasaran, kali ini dia nggak melirik lagi, tapi menatap dengan jelas, sambil mengucek-ucek mata. Dia nggak salah lihat. Niken sore ini pake rok katun biru muda sederhana, rambutnya dikepang tempel di belakang. Rapi sekali. Wajahnya tampak polos sekali dan cantik sekali walaupun tanpa make-up.

"Aku bawa kado buat ibumu" kata Niken mengagetkan lamunannya.

"Ah, kamu ngado segala. Mestinya nggak usah, Fei."

"Nggak papa. Nggak repot koq. Cuma kain."

"Hey, jangan gigit-gigit jari gitu dong… jelek…" kata Pandu sambil berusaha menyingkirkan jemari Niken jauh dari mulutnya.

"Sorry… aku memang begini kalo nervous." Niken mengaku.

"Nervous??"

"Iya… aku belum pernah ketemu ibumu, sekarang aku malah bakal ketemu seluruh keluargamu. Gile…"

"Alaaa… mau ketemu ibuku aja nervous. Malu-maluin. Eh,aku kasih tahu nih, untung kamu bukan pacarku. Pasti kamu bakal disorot habis-habisan kalo kamu memang pacarku. Itu udah dialami oleh semua kakak-kakak iparku. Jadi kamu santai saja. Ibu tahu kalau kamu cuma teman koq."

"Iya. Kenapa sih mesti nervous begini? Kayak mau ketemu camer saja. Padahal waktu aku pertama kali mau ketemu camer malah nggak nervous kayak gini." kata Niken ketawa ngikik.

"Emang kamu udah pernah ketemu camer?"

"Udah. Mama-papanya Jimmy maksud kamu kan? Sudah dong. Mereka datang ke rumah. Aku sama sekali nggak nervous. Cuek saja. Pada dasarnya karena aku nggak respek sama papanya Jimmy, maupun sama mamanya. Itu keluarga jauh lebih hancur-hancuran daripada keluargaku."

"Nah… kita udah nyampe. Turun yuk." ajak Pandu sambil turun dari mobil.

Rupanya Niken masih belum ilang nervousnya. Pandu lalu membuka pintu dari luar.

"Hoi, manja sekali minta dibukain pintu segala, tuan putri? Minta dituntun masuk juga nih?" Pandu meledeknya.

"Enak saja. Aku bisa jalan sendiri."

Pandu meraih lengan Niken, mencegahnya untuk terus jalan.

"Tunggu. Sebelum kamu masuk ke rumahku, kamu mesti maklum, rumahku ini nggak rumah gedongan kayak rumahmu…"

"Kamu lebih baik berhenti ngomong, sebelum kamu bikin aku tersinggung." kata Niken.

"Aku nggak bermaksud begitu. Maksudku…"

"Aku tau koq maksudmu. Aku yakin rumahmu ini jauh lebih indah daripada rumah gedonganku. Kamu nggak usah takut lah. Aku udah sering ke tempat yang jauh lebih buruk dari ini, rumah Wulan misalnya. Aku malah sering nginep sana dulu. Jadi kamu nggak usah takut aku bakal merasa nggak nyaman."

Pandu takjub mendengar jawaban Niken yang begitu tegas.