Chereads / PANDU & NIKEN / Chapter 8 - DELAPAN

Chapter 8 - DELAPAN

Acara Gelar Seni merupakan event tahunan yang sudah dilangsungkan sejak jaman dahulu kala di SMA Angkasa. Tahun lalu, waktu kelas satu, Niken dipilih menjadi salah satu anggota panitia bidang acara panggung. Tahun ini dia terpilih menjadi koordinator bidang yang sama. Pandu jadi salah satu anggota tim perlengkapan, atau dalam bahasa lain, tim angkut-angkut barang.

Niken mendapat banyak bantuan, terutama dalam hal promosi acara, dari Mbak Merlina dan kawan-kawan penyiar radio Boss. Anak-anak radio Boss 'rame-rame'. Dulu, waktu Niken masih boleh pergi keluar sendiri naik mobil, dia sering mampir malam-malam kumpul di radio Boss Fm. Kadang-kadang malah jadi penyiar dadakan, kalau kebetulan ada yang sedang sakit. Akhir-akhir ini Niken merasa kegiatannya jadi dibatasi lantaran kemana-mana harus membawa Jimmy. Seperti tuyul saja tu anak mengikutinya ke mana-mana. Walaupun Jimmy sering bilang, dia kapan aja, ke mana pun, jam berapa pun, mau menemani Niken, tapi sungkan juga mengajak-ajak Jimmy keluar malam ke radio Boss, misalnya. Makanya, kalo mama-papa lagi keluar kota, Niken curi-curi pergi jalan-jalan sendiri ke luar. Refreshing. Seperti hari Sabtu malam ini. Dia janji akan menjemput Pandu ke radio Boss malam ini. Wulan sebetulnya mau ikut, tapi ibunya sedang sakit flu, jadi dia mesti menjaga dua adik kecilnya di rumah.

Jam delapan malam. Dengan alasan mau fotocopy, Niken sukses mengelabui satpam yang berjaga di pintu gerbang. Lolos! Niken cepat-cepat tancap gas sebelum satpam berkumis yang galak itu berubah pikiran. Niken belum pernah ke rumah Pandu, tapi Pandu sudah berkali-kali memberi tahunya, pakai acara menggambar peta pula. Lagipula Pandu bilang, dia akan menunggunya di depan rumah, jadi tidak susah kan semestinya untuk menemukan anak jangkrik di gelap malam begini?

Begitu Pandu masuk mobil, langsung kena damprat.

"Sial lo Pandu ya! Masa' kamu kasih petunjuk lewat jalan satu arah, aku disuruh lewat arah yang berlawanan, gimana sih?"

Pandu bingung. Ngomong apaan sih Niken ini?

Niken masih ribut-ribut, "Ini jalan depan rumahmu, kan satu arah. Kamu kasih petunjuk aku masuk dari arah gang yang salah! Tu di mulut gang ada tanda dilarang masuk!"

"Oooooooooooooh…" Pandu menepuk dahinya. "Sorry, Fei. Aku kan biasanya naik sepeda, jadi itu route terdekat, begitu. Aku lupa kalo gang ini arahnya dari sebelah sono," kata Pandu geli melihat Niken komat-kamit terus.

"Ah blo'on amat kamu, kasih petunjuk ke rumah sendiri saja salah." Niken masih mengomel.

"Yang penting kan sampai, ya kan? Nanti pulangnya aku lewatin jalan mobil deh." kata Pandu yang tak sanggup menahan gelinya melihat Niken sewot begitu.

"Kamu punya kaset yang laen?" tanya Pandu, mendengar lagu pop slow yang diputar Niken.

"Protes melulu sih?!"

"Ngantuk dong, dengerin lagu slow begini. Ini lagu apaan sih?" tanya Pandu.

"John Denver. Annie's song. Aku suka. Jangan diganti."

"Gak punya kaset yang lain?"

"Nggak." jawab Niken singkat.

"Ah masa?!"

"Bener. Orang ini CD-player. Kamu masukin kaset yah nggak cocok lubangnya" kata Niken geli.

"CD yang laen dong!" Pandu tak kalah protesnya.

"Ribut amat sih? Dinikmati gitu lho…"

"Aku kirain kamu suka lagu-lagu rock. Ternyata lagu cengeng begini kamu juga suka, ya?"

"Aku suka apa saja yang berbau musik." kata Niken cuek sambil nyanyi.

You fill up my senses

Like a night in a forest

Like a mountain in springtime

Like a walk in the rain

Like a storm in the desert

Like a sleepy blue ocean

You fill up my senses

Come fill me again…

Diam-diam Pandu mengamati cerianya wajah Niken malam ini. Enak juga ternyata lagunya, walaupun slow begini, apalagi kalo Niken ikut nyanyi. Suara Niken empuk sekali, bak bantal dari busa. Makanya kontras sekali kalo dia menyanyi lagu-lagu rock. Kontras bukan berarti jelek. Kombinasi yang bagus. Suara lembut dan musik kasar. Niken memang punya bakat besar di bidang musik. Dia sering melihat Niken saat latihan bareng Hendro dan Bram, mengarahkan melodi gitar mereka. Dia pribadi juga sering mendapat masukan positif dari Niken buat variasi keyboardnya. Dengan hobinya menulis puisi, Niken pasti bisa jadi komposer lagu tenar. Apalagi dengan suara dan wajahnya yang saingan manisnya.

"Sorry… kamu ngantuk ya dengerin lagu slow begini?" tanya Niken yang jadi merasa berdosa melihat Pandu terbengong-bengong.

"Nggak. Aku ternyata bisa enjoy koq. Masih punya banyak lagu slow?" tantang Pandu.

"Kalo mau dengerin lagu rock, lebih baik sekarang saja. Di Boss Radio, mereka seringnya putar lagu-lagu cengeng lewat jam 9 malam."

"Nggak masalah. Aku pengen tau gimana kehidupan penyiar yang sebenarnya. Makanya aku langsung mau waktu kamu ajakin. Eh, ngomong-ngomong mana bodyguard kamu?" goda Pandu.

"Jimmy? Aku bosan ngeliat dia terus. Sudah lama aku puasa nggak ke radio Boss karena dia." gerutu Niken.

"Nggak boleh bosan dong. Nanti kalo udah kawin musti liat dia tiap hari, 24 jam lagi!" kata Pandu geli.

"Kawin? Siapa yang mau kawin?"

"Ya kamu, dong… Aku calon saja belum ada. Kamu kan yang katanya sudah pasti kawin sama si Jimmy?"

"Iya, tapi kan nggak dalam waktu dekat ini. Paling-paling lima belas tahun lagi." kata Niken dengan gaya super cueknya.

"Lima belas tahun?! Wah… semoga aja si Jimmy tahan bantingan, mau nunggu kamu selama itu." kata Pandu kaget. Lima belas tahun, berarti mereka bakal berumur 32 tahun dong!

"Biarin. Nggak kawin juga nggak papa. Eehh… yang jual martabak kesukaanku masih buka. Mampir sebentar beli martabak yah…" kata Niken sambil meminggirkan Honda civicnya.

Sebentar kemudian Niken sudah kembali dengan membawa dua plastik besar penuh martabak.

"Banyak bener kamu belinya, Fei?" tanya Pandu heran.

"Buat anak-anak radio Boss. Kamu gak mau?"

"Mau juga sih…" Mata Pandu berbinar-binar melihat martabak. Hidungnya peka sekali kalo mencium bau makanan enak.

Niken lalu membuka satu bungkus martabak. Di baginya menjadi dua, separuh diberikan ke Pandu, yang separuh langsung masuk ke mulutnya.

"Kamu jago makan juga yah?" tanya Pandu dengan mulut penuh martabak.

Niken cuma mengangguk-angguk. Mulutnya juga penuh makanan, tidak bisa menjawab.

Tangannya yang satu di kemudi, yang satu memegang martabak.

"Persneleng tiga," perintah Niken.

"Hah? Apa?"

"Blo'on, pindahin ke persneleng tiga, sekarang." kata Niken.

Pandu cepat-cepat memindah persneleng dari gigi dua ke gigi tiga.

"Wah… bahaya nich sopir lagi asyik makan martabak!" kata Pandu setelah shocknya reda.

"Gigi empat." sahut Niken tanpa menanggapi komentar usil Pandu.

Pandu menuruti saja perintah Niken. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia tanyakan pada Niken, tapi lebih baik tidak usah saja, pikirnya.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆