"Kamu masih marah sama Jimmy, Nik?" tanya Pandu kemudian, sambil mengusap-usap kepalanya yang sebetulnya tidak begitu sakit itu.
"Nggak koq. Mama bilang, aku nggak boleh marah sama dia, karena ada kemungkinan, kemungkinan besar malah, papa berniat menjodohkan aku dengan Jimmy. Jimmy itu anak salah satu partner bisnis papa."
Pandu terkejut. Wulan juga.
"Kamu suka sama Jimmy, Nik?" tanya Wulan.
Niken mengangkat bahu. "Nggak tau. Kata mama, aku musti mendekatkan diri padanya. Nggak harus pacaran, cuma mengenalnya lebih dekat. Biar bagaimana dia bakal jadi calon suamiku."
Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pandu," Percakapan mereka terhenti karena sapaan dari luar jendela. Semua menoleh. Ratna rupanya.
"Aku boleh minta tolong sama kamu, Ndu?" tanya Ratna dengan nada super-manjanya.
"Kalo aku memang bisa bantu, aku pasti bantu." jawab Pandu ramah.
"Tolong ajari aku kalkulus dong, aku sama sekali nggak ngerti. Besok Kamis ada ulangan matematika kalkulus."
"Boleh," kata Pandu yang memang jago matematika. "Di mana?"
"Aku bisa datang ke rumahmu, supaya kamu nggak usah susah-susah ke rumahku. Sore ini bagaimana?"
"Baiklah. Jam tiga?"
"Oke. Sampai ketemu nanti sore." kata Ratna centil, sambil berlalu.
"Ndu, ini sudah ketiga kalinya aku dengar Ratna minta tolong tentang kalkulus. Memangnya dia benar-benar bodoh?" tanya Niken.
"Dia memang selalu begitu kalau mau ulangan. Jadi lupa semua, harus diulang kembali. Setiap ada bahan baru juga begitu." kata Pandu menjelaskan.
"Cantik-cantik tapi bodoh…" kata Wulan geli.
"Kalo aku bilang, dia nggak bodoh koq. Aku pernah ambil dia di panitia acara seminarku. Dia cukup berpotensi. Otaknya jalan. Feelingku sih ini cuma cara dia untuk mengambil hatimu aja Ndu." kata Niken.
"Apapun alasannya, aku cuma berbaik hati menolong dia. Aku nggak ada maksud-maksud lain." kata Pandu tegas.
"Aku tau kamu nggak ada maksud-maksud lain. Siapa yang nuduh? Aku bilang, dia yang punya maksud terselubung." kata Niken.
Pandu hanya diam saja. Kata-kata Niken masuk akal. Tapi dia tidak mungkin menolak menolong teman. "Kata Bapak, kalau kita punya kelebihan, kita harus menggunakan kelebihan itu untuk menolong sesama." demikian kata Pandu kemudian.
☆☆☆☆☆☆☆☆
Hari masih pagi. Pandu bersiul-siul sambil mengayuh sepedanya dengan riang melintasi pintu gerbang timur sekolah. Melihat Wulan berdiri di pintu gerbang, dia mengerem sepedanya.
Wulan setengah berlari ke arah Pandu.
"Ada apa Wulan?"
"Niken. Dia meneleponku tadi malam. Katanya mulai hari ini dia bakal diantar-jemput Jimmy. Setiap hari. Termasuk ke kegiatan-kegiatan sekolah. Termasuk latihan band katanya."
"Bukannya papa-mama Niken nggak setuju dia nge-band?" tanya Pandu heran.
"Iya. Tapi sekarang mereka mengijinkan dengan syarat Jimmy harus ikut kemana pun Niken pergi."
"Oooh…" desah Pandu. "Niken yang malang. Seandainya saja aku bisa menolongnya."
"Salah. Aku juga tadinya berpendapat begitu. Niken ternyata sama sekali nggak ingin aku membantunya. Dia menuruti keinginan ortu-nya itu dengan senang hati. Aku berkali-kali tanya, apa dia suka sama Jimmy. Jawabnya selalu nggak."
Pandu menimpali, "Aku nggak ngerti gimana cewek sepandai Niken bisa jadi bodoh sekali dalam masalah seperti ini. Seakan-akan dia sama sekali tidak ingin mengenal dan merasakan apa itu cinta. Aku sendiri memang belum pernah, tapi aku ingin sekali mengenal dan merasakan apa itu cinta."
"Ndu, aku memberitahumu, cuma sekedar memperingatkan, jangan sekali-sekali kamu menentang atau mempermasalahkan hal ini di depan Niken. Aku sudah mencoba semalaman kemarin meyakinkan dia, buntut-buntutnya dia malah marah-marah. Ya sudah, aku akhirnya menyerah."
"Baiklah. Kita harus dukung Niken. Walaupun aku masih tetap merasa keyakinan Niken ini perlu diluruskan. Kalau dia memang bahagia seperti itu, yah kita mau nggak mau sebagai temannya harus dukung dia, kan?"
"Itu dia mobil Jimmy, Ndu." kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar gerbang.
Benar saja, Niken ikut turun dari mobil itu setelah diparkir tidak jauh dari gerbang timur itu.
Melihat kedua temannya ngumpul di dekat situ, Niken berlari kecil ke arah mereka.
"Hallo friends…" sapa Niken.
"Punya bodyguard baru kamu yah?" Pandu meledek.
"Mama yang suruh. Mama bilang, Jimmy bisa dipercaya. Perjanjiannya, aku tetep nggak mau pacaran. Cuma aku harus mau membiasakan diri dengan Jimmy."
"Jadi kamu sudah pasti akan kawin sama Jimmy?" tanya Pandu.
Niken mengangguk pelan.
Pandu berkata lagi, "Aku masih nggak mengerti…"
Wulan langsung menyeletuk, mengingatkan pembicaraan mereka barusan, "Pandu…"
"Nggak papa, Ndu, kamu mau ngomong apa?" tanya Niken.
"Aku nggak mengerti. Kamu udah pasti kawin sama Jimmy, tapi kamu nggak mau pacaran sama dia. Apa maksudmu?"
"Aku nggak cinta sama dia. Kenapa mesti pacaran sama dia? Karena pada akhirnya aku bakal kawin sama Jimmy, aku harus mulai membiasakan diri sama dia. Kawin kan gak harus saling mencintai."
Pandu baru saja mau bilang, "Harus, dong!", tapi Wulan sudah duluan menonjok perut Pandu dengan sikunya.
"Sudah bikin pe-er Pak Heri, Nik?" tanya Wulan mengalihkan bahan pembicaraan.
"Pe-er yang mana?" tanya Niken.
"Bikin essay tentang biografi seorang pahlawan?" Pandu mengingatkan.
"Aduh! Iya! Aku lupa. Mati aku. Koq bisa pikun begini sih? Gimana nich?" kata Niken panik.
"Tenang, tenang, Nik…" kata Pandu. "Pelajaran bahasa masih jam ke lima. Kamu masih ada waktu untuk bikin essay itu."
"Dapat biografi pahlawan-nya dari mana dong?" kata Niken hampir putus asa.
"Begini saja deh. Aku kebetulan punya ide lain untuk bikin essay. Kamu boleh menyalin essayku, aku buat baru lagi dengan tokoh yang lain." kata Pandu menyarankan.
"Kamu baek sekali, Ndu! Kebetulan gaya nulis kamu sama Niken hampir sama. Pasti tidak akan ketahuan. Ide bagus tuh, Nik" kata Wulan.
"Aku nggak enak, Ndu. Kamu musti nulis ulang lagi," kata Niken.
"Ide sudah ada di kepala. Sementara kamu nyalin essayku, essay baruku pasti sudah selesai." kata Pandu mantap.
"Tunggu apa lagi?" tanya Wulan. "Mumpung belum bel masuk nih, cepetan gih, bikin!"
☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆
"Pandu Prasetya, kemari!" panggil Pak Heri dengan nada galak.
"Saya, Pak." jawab Pandu sambil melangkahkan kaki menuju ke depan kelas.
"Bapak suruh kamu mengarang tentang pahlawan, kenapa kamu mengarang tentang ibumu?" bentak Pak Heri.
Niken menggigit bibirnya. Dia merasa bersalah sekali sudah mengambil essay Pangeran Diponegoro-nya Pandu. Sudah terlambat sekarang. Tapi mengapa Pandu terlihat tenang-tenang saja?
"Bapak nggak bilang kan, pahlawan-nya harus sudah mati apa masih hidup. Ibu itu pahlawan saya. Kalau bapak baca lebih jauh, bapak bisa merasakan jiwa kepahlawanan ibu saya. Ibu yang melahirkan saya dan ke-empat kakak laki-laki saya. Ibu yang dengan penuh jerih-payah membesarkan kami, dengan uang gaji bapak yang pas-pasan. Waktu saya masih kelas satu SD, saya sering mengomel karena baju seragam saya jelek sekali, karena lungsuran dari kakak saya yang nomer tiga. Setiap pulang sekolah, selalu saja ada tambahan lubang di baju seragam saya. Ibu selalu dengan hati-hati menambal lubang itu. Suatu hari, ibu mengejutkan saya dengan membelikan baju seragam baru. Saya sangat senang sekali. Saya tidak tahu kalau ibu menabung selama enam bulan hanya untuk membeli baju seragam saya itu. Sekarang bapak bilang, kalau bukan jiwa pahlawan, kata apa yang cocok untuk diberikan pada ibu saya itu?" pertanyaan retorika Pandu itu menyudahi kotbah panjang-lebarnya.
Pak Heri mengangguk-angguk puas. Ia bahkan bertepuk tangan, diikuti oleh teman-teman sekelasnya. Niken yang paling keras tepuk tangannya. Pandu sahabatnya ini memang tidak hanya rupawan, tapi manis juga hatinya.
=======================================