Chereads / PANDU & NIKEN / Chapter 6 - ENAM

Chapter 6 - ENAM

"Fei?"

"Pandu, aku sudah tunggu-tunggu telfon kamu dari tadi. Aku nggak bisa keluar. Mama curiga kalau aku mau pergi main band. Aku sudah dilarang dari dulu-dulu, tapi tetep aja nekad. Mama tahu dari Jimmy, sialan bener tu anak pake acara lapor-lapor ke mama segala. Kunci mobilku disita, ada di kamar mama nih. Kamu bisa jemput aku?" Niken sepertinya lega sekali mendengar Pandu meneleponnya.

"Jemput kamu? Jemput pake apa?" Pandu bingung.

"Kamu kan punya sepeda. Tolong dong, aku nggak enak sama yang laen. Aku kepengen banget manggung hari ini." desak Niken.

"Gimana caranya kamu keluar?"

"Ngg… aku bisa keluar lewat jendela. Tepat seperempat jam lagi, aku tunggu kamu di ujung jalan Merdeka, tau kan? Yang ada warung baksonya? Aku bakal ada di sekitar situ. Makanya kamu cepetan jalan sekarang."

"Oke deh. Kamu hati-hati yah…"

Jantung Niken berdebar keras. Belum pernah dia mau melarikan diri dari rumah seperti ini. Pelan-pelan dibukanya jendela kamarnya yang menuju ke arah luar. Dengan berhati-hati, kakinya satu per satu keluar dari jendela. "Huh," gerutunya. "Mau main band saja susah amat!"

Dia tidak bisa keluar lewat pintu gerbang, karena satpam selalu jaga di pintu depan, dia bakal ketahuan, dong. Niken harus melompat pagar samping.

"Tinggi juga, oi…" katanya dalam hati. Setelah berdoa singkat komat-kamit, Niken mulai memanjat pagar yang tingginya dua kali lipat tingi badannya itu.

"Sukses!" serunya dalam hati waktu melompat di atas kedua kakinya di tanah lagi. Lari, Niken! Lari!

Belum sampai di ujung jalan, Niken sudah bisa melihat Pandu duduk di atas sepedanya. Lega sekali dia melihat Pandu hari ini.

Pandu mengayuh sepedanya ke arah Niken. Niken langsung melompat ke atas boncengannya waktu Pandu mendekat.

"Kita nggak punya banyak waktu. Ayo." ajak Niken.

"Kamu nggak pernah bilang kalo kamu nggak diijinin nge-band sama ortu kamu?" tanya Pandu heran.

"Wah, dari awal aku memang nggak bilang kalo aku ikut nge-band. Mereka bisa bunuh diri kalo tau aku sudah setahun nge-band." jawab Niken, masih terengah-engah.

"Lantas, kenapa kamu nekad?"

"Entahlah. Mungkin karena kutukan. Boleh dibilang aku sebenarnya tipe pemberontak. Aku benar-benar bisa enjoy dan lepas saat main band. Nggak salah, kan? Nggak ngerti deh, kenapa mereka larang-larang aku begitu. Aku tahu mana yang benar, mana yang salah. Menurutku, main band bukan hal yang jelek. Makanya aku tetap lakukan walaupun tahu mereka bakal marah besar."

"Kamu kelihatannya diproteksi ketat sama mama-papa kamu ya?"

"Ya. Tapi sebenarnya papa-mama nggak ada di rumah tadi. Tapi rumah dijaga ketat. Persis seperti penjara. Mama pergi sama temannya, nggak tau ke mana, setengah jam yang lalu dia berangkat. Papa sih memang selalu pergi ke luar kota, ngurus bisnis."

"Kamu tau kan kalo kamu boleh telfon aku kapan aja kalo kamu kesepian?" tanya Pandu memastikan.

"Tahu, tahu… Cepetan ah, jangan sama ngobrol melulu. Nggak sampai-sampai nanti."

"Kalo gitu, pegangan yang erat. Aku mau ngebut." kata Pandu seraya mengayuh sepedanya lebih kencang.

Niken pegangan di besi boncengan sepeda Pandu. Tapi tetap berasa mau jatuh. Saat benar-benar mau jatuh, Niken meraih pinggang Pandu, dan memegangnya erat-erat.

Pandu yang duduk di sadel cuma senyum-senyum saja.

"Belum pernah bonceng sepeda yah?" tanya Pandu geli.

"Belum. Aku bisa naik sepeda, tapi belum pernah dibonceng. Apalagi dibonceng orang usil seperti kamu."

"Aku sudah bilang tadi, pegangan yang erat. Kamu malah nggak pegangan koq. Salah sendiri."

"Aku nggak tahu kalau maksud kamu pegangan itu pegangan pinggang kamu." bela Niken.

"Mau pegang apa lagi selain pinggangku?" tanya Pandu tambah geli.

Niken diam saja. Dia sudah cukup malu dengan memegang pinggang Pandu. Tapi dengan begitu dia merasa nyaman sekarang, tidak berasa mau jatuh lagi.

"Kamu udah sering boncengin cewek yah?" tanya Niken penuh selidik.

"Sering sekali malah." kata Pandu ketawa.

"Siapa aja?" tanya Niken.

"Ibuku."

Niken bermaksud menjitak kepala Pandu, kalau saja ia tak berasa mau jatuh lagi karena lepas satu tangan dari pinggang Pandu. Buru-buru didekapnya lagi pinggang Pandu erat-erat. "Sialan kamu Pandu!" teriaknya.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Acara band tadi berlangsung dengan sukses. Mbak Merlina, salah satu penyiar radio Boss FM yang sudah lama Niken kenal yang bilang. Hari ini mereka luber pengunjung, band yang bersedia tampil juga banyak. Tiga jam mendengarkan musik rock benar-benar memuaskan hati. Sekarang ini masalah yang ada buat Niken tinggal bagaimana caranya pulang. Pasti orang rumah sudah pada menyadari bahwa Niken raib dari rumah. Mereka pasti juga sudah lapor ke Mama. Bukan tidak mungkin mama sekarang ada di kamarnya, menunggunya pulang dengan penuh amarah.

"Nik, apa kamu bakal nggak nge-band lagi setelah ini?" tanya Pandu.

"Nggak dong. Aku cuma harus ekstra hati-hati mulai dari sekarang. Masalahnya sekarang aku harus pulang."

"Aku nggak masalah mengantar kamu pulang, Niken" kata Pandu menjelaskan. "Tapi kamu mesti siap mental dimarahin. Walaupun seharusnya kamu sudah siap mental dari waktu minggat tadi."

"Iya. Kayaknya nggak ada jalan lain." kata Niken masih berusaha berpikir keras.

"Aku punya akal!" kata Niken tiba-tiba. "Antarkan aku pulang." katanya seraya memegangi boncengan sepeda Pandu, siap-siap untuk naik.

"Baiklah," kata Pandu. "Apa rencanamu?" katanya sambil mulai mengayuh sepedanya.

"Mereka nggak mungkin mencari di seluruh pelosok rumah. Aku akan ke rumah tetangga sebelah, aku kenal baik sama mereka. Mereka baik sekali. Dari tetangga sebelah, aku bisa panjat ke atap rumahku. Dari atap, aku bisa turun lewat tangga belakang. Kalau ditanya dari mana, aku jawab, dari atap. Merenung, cari inspirasi buat bikin puisi. Mereka pasti percaya, deh."

"Kamu memang gila, Fei!"

---------------------------------------------

"Niken, ini buku catatan sejarahmu yang aku pinjam…" kata Jimmy dari luar jendela, sambil menyodorkan buku catatan Niken. Setelah Niken menerimanya, Jimmy cepat-cepat pergi.

"Aneh. Baru kali ini dia nggak berusaha berlama-lama di dekatmu, Niken. Kamu nggak merasa aneh?" tanya Wulan. Pandu mengiyakan.

"Pasti ada apa-apanya," kata Pandu. "Coba dilihat bukumu."

Niken membuka bukunya. Tidak ada apa-apa. Aman-aman saja. Eh… tunggu… ada amplop biru yang diselipkan di sampul mikanya.

"Nah… betul kan sangkaanku?" kata Pandu berbangga hati.

Masih bingung, Niken membuka amplop kecil itu. Ada secarik kertas di dalamnya. Dibuka dan dibacanya pelan-pelan.

Niken, kamu cantik sekali hari ini.

"Apa katanya?" tanya Wulan tidak sabar.

"Cuma sebaris" kata Niken sambil menunjukkan isi surat itu kepada Wulan. Pandu ikut mengintip. Ditatapnya wajah Niken dengan serius dan seksama.

"Apa-apaan kamu, Ndu?" tanya Niken jengah.

"Memastikan si Jimmy bener apa salah. Aku lihat hari ini kamu biasa-biasa saja. Sama seperti kemarin. Wajah manis, rambut dikuncir satu, rapi di belakang, dengan pita kuning. Baju kamu juga biasa aja. Wah, sepertinya dia salah tuh…" kata Pandu bercanda.

"Dasar mata jangkrik!" kata Niken menggerutu.

"Mata jangkrik?" tanya Pandu bingung.

Wulan tertawa terbahak-bahak. Pandu tambah bingung.

"Siapa mata jangkrik? Aku?" tanya Pandu.

"Nggak merasa tho?" tanya Niken acuh.

"Seperti apa sih mata jangkrik itu?" tanya Pandu.

"Seperti yang kamu punya!" kata Niken sambil menjitak kepala Pandu.