Rere keluar dari kelasnya dengan wajah muram. Ia berjalan melewati beberapa kelas. Avara tidak berada di sampingnya menyamakan langkahnya. Ia hanya menundukkan kepalanya, sepertinya Rere marah dengan Avara. Kali ini ia melewati Alex dan Danu. Wajahnya semakin di tekukan.
"Re? Kenapa lo?" Cegat Alex yang melihat Rere tidak seperti biasanya.
Rere berhenti melangkah begitu menyadari Alex bertanya padanya. "Bisa ikut gue gak bentar?"
"Hah kenapa?" Alex begitu kebingungan setelah mendengar ajakan Rere.
"Sebentar aja," Rere meraih pergelangan tangan Alex. Ia menuntunnya ke arah yang dia inginkan.
"Ada apa sih Re?"
"Nanti malem lo sibuk gak?" Tanya Rere.
Alex berpikir sejenak. "Malem ya? Nanti malem gue ada acara sama anak-anak. Kenapa emangnya?"
"Gue cuman lagi butuh temen ngobrol aja. Barangkali lo mau nemenin. Btw ada acara apa sama YoungStar?"
"Kita mau balas dendam sama Mantle karena udah ngerusak nama baik si Langit di sekolah ini,"
"Oh gitu ya. Yaudah deh kalo lo gak bisa, gue harap lain waktu lo bisa ya,"
"Malam besok gimana?"
"Iya. Nanti kabar-kabaran lagi aja ya, gue balik duluan,"
"Oke Re,"
***
Setelah di tinggalkan Rere di situasi hubungannya kurang baik, Avara masih berada di area sekolah. Ia duduk di bangku di antara rimbunan pepohonan taman sekolah. Ia memutar kembali memori saat sahabatnya ini marah karena alasan kepedulian padanya.
"Vara," Seseorang menghentikan diamnya. Avara segera berpaling ke arah sumber suara.
"Kenapa Kak Fahri?"
"Kok belum pulang?"
"Iya, mau istirahat dulu sebentar di sini,"
"Kenapa? Lagi ada masalah ya sama Rere? Aku tadi liat Rere pulang sendiri,"
"Iya Kak. Rere kayaknya marah sama aku,"
Fahri berganti posisi. Ia berjalan ke depan dan duduk di samping Avara. "Loh kenapa?"
"Rere marah karena aku masih deket sama Langit. Dia ngira kalo Novi bully aku karena Langit deketin aku. Sebenernya dia baik, dia khawatir sama aku. Tapi aku punya alasan kenapa aku gak bisa ninggalin Langit," Jelasnya
"Kenapa? Kamu suka sama Langit?"
"Ada satu alasan yang gak bisa aku bilang ke siapa pun. Termasuk Rere,"
"Yaudah kamu yang sabar ya, nanti juga Rere baik lagi sama kamu. Yang penting kamu hati-hati aja sama Novi, dia orangnya nekat banget,"
"Iya kak. Terima kasih ya,"
"Gak ada yang mau di lakuin lagi kan di sekolah?"
Avara menggeleng tegas
"Yaudah aku anterin pulang ya. Mau kan?"
"Gak usah deh kak ngerepotin. Vara pulang naik angkot aja,"
"Gak ngerepotin kok. Lagian udah agak mendung, gak papa ya??"
Avara mengangguk terpaksa. "Yaudah kak," Ia bersedia di antar Fahri meskipun hatinya tak tenang, bagaimana jika Langit tau Ia di antar Fahri? Langit pasti marah dan ia takut akan mengganggu kesehatannya.
***
Setelah menyetujui ajakan siswa yang sudah kembali menjabat sebagai ketua osis, Avara menunggunya di halte seperti ia menunggu angkutan umum bersama Rere. Orang itu sudah datang, pria tinggi, putih berseragam di balut jaket jeans mengingatkan ia pada sosok Langit. Bagaimana jika nanti ia bertemu dengan Langit di jalan? Apa yang akan ia katakan? Saat ini Avara sudah tidak bisa menolak lagi. Ia segera naik dan duduk manis di menghadap punggung tegak milik Fahri.
Sepanjang jalan Avara tidak banyak bicara. Ia hanya diam dan tak ingin menatap ke sembarang arah. Ia tak ingin jika benar-benar bertemu dengan Langit di jalan. Perjalanannya hari ini sudah seperti mara bahaya untuknya.
"Anjir Avara tuh?" Entah sedang sial atau apa, meski bukan Langit yang berpapasan dengannya, tapi Alex dan Danu melihatnya. Mereka benar-benar melihat jelas Avara sedang bersama Fahri. Sayangnya Avara tidak mengetahui dua orang sedang menatap kepergiannya.
"Vara?" Fahri menatap kepala Avara yang menunduk dari kaca spion. Ia bingung tampaknya Avara masih sedih karena sikap Rere.
Merasa namanya di panggil, Avara menegakkan kepalanya dan sedikit di kedepankan. "Kenapa kak?"
"Mau mampir makan atau beli es krim dulu gak?"
"Gak usah kak. Langsung pulang aja ya, rumah aku udah deket kok dari sini," Penolakannya di iyakan Fahri. Ia tidak ingin menambah mood Avara lebih buruk.
Rumahnya benar-benar sudah dekat dari lokasi Fahri memberi tawaran untuk mampir membeli es krim tadi. Buktinya tak sampai 5 menit motornya sudah berhenti di depan rumah Avara. "Kak Fahri makasih ya udah repot-repot antar Vara pulang,"
"Gak papa Vara, justru aku senang, aku jadi tau rumah kamu,"
"Yaudah Kak, Vara masuk dulu ya,"
"Iya Vara. Masih ke pikiran sama Rere ya?"
"Enggak kok Kak, nanti aku coba ngomong sama Rere,"
"Yaudah, jangan di pikirin terus ya, aku pamit dulu,"
"Hati-hati Kak,"
Fahri melemparkan senyumannya sebelum benar-benar pergi dari hadapan Avara.
Setelah meyakinkan Fahri benar-benar menghilang, Avara segera masuk namun langkahnya tertunda setelah menemukan pesawat kertas yang terselip di pintu pagarnya.
Matanya ia mainkan menatap ke sembarang arah. Apakah Langit masih ada di sekitar rumahnya? 'Gimana sekolahnya? baik-baik aja kan?' Avara kembali mencari seseorang yang mengirimkan ini untuknya, tapi tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Avara segera mengambil ponselnya ia mengotak-katik sebentar lalu menempelkannya ke telinga.
"Halo?" Suara di sana
"Lo di mana?"
"Kenapa?"
"Hari ini mau belajar?"
"Enggak dulu ya, gue lagi ada urusan,"
"Yaudah gak papa,"
Pria yang di hubunginya langsung mengakhiri panggilannya. Apakah orang itu ada di dekat Avara dan marah padanya?
Avara berdecak khawatir setelahnya.
***
Malam ini sudah pukul 23:30 orang-orang dengan jaket yang sama berkumpul dalam satu ruangan. Ruangan yang cenderung gelap dan tak banyak suara ini. Mereka sengaja tak banyak bicara, mereka tidak ingin ada orang yang akan menggagalkan rencananya. Mereka hanya diam beberapa orang bermain ponsel dan beberapa orang lagi asyik makan makanan ringan. Mereka sedang menunggu ketuanya. Orang yang paling berkuasa itu belum menampakkan dirinya. Sesuai rencananya, sang leader datang tepat sebelum pukul 00:00.
Kedatangan orang paling berkuasa tanpa suara itu di sambut hangat anak buah – anak buahnya. Orang itu membuka helm dan buffnya. "Gimana? udah siap?"
Semua orang di hadapannya mengangguk secara serentak. Semuanya benar-benar menuruti instruksi sang leader yang tidak boleh banyak bersuara. Mereka hanya mengantisipasi mata-mata seperti penyadap suara atau sebagainya. Bahkan dari kemarin, ada beberapa yang menjaga markas agar tidak kecolongan.
Langit menarik standing whiteboard yang sudah berisi peta tujuannya malam ini. Ia menunjuk beberapa orang dengan gerakan dan menyuruhnya segera pergi melalui jalur selatan. Ia memberikannya jeda waktu selama 10 menit. Setelah itu, ia kembali menunjuk beberapa orang untuk pergi melalui jalur utara. Tinggal lah beberapa orang yang akan menjadi grup terakhir yang harus melalui jalur timur.
Masih ada waktu 8 menit untuk beranjak, Alex mendekati Langit. Ia sedikit mencondongkan badannya. "Lang, tadi gue liat Avara boncengan sama Fahri," Bisiknya.
"Bukan Vara kali," Balas Langit dengan suara sepelan mungkin.
"Sumpah. Itu Vara sama Fahri kelas 12 IPA," Balas Alex meyakinkan.
Setelah melihat keyakinan Alex berbicara, Langit tak berkata apa pun lagi. Ia sangat marah, entah marah pada Avara atau Fahri. Atau mungkin keduanya? "Cabut," Titahnya membuat semua orang yang tersisa bersiap siaga untuk pergi.
~To be continued~