Langit membuka kedua matanya. Ia menatap mata ketakutan Avara yang sebentar lagi akan menumpahkan air bening. Ia tak berhenti menatap wajah Avara yang kebingungan dan ketakutan. Mungkin ia akan tunggu Avara menjatuhkan air matanya dan berteriak sekencang-kencangnya.
Tidak-tidak sepertinya Avara sudah sangat ketakutan dengan aksi Langit ini. Sampai-sampai mengucap satu kata pun rasanya berat. Sikap Avara yang hanya membisu ini membuat Langit tak tega. Ia menatap Avara lebih hangat dari tatapan sebelumnya. "Va, Lo itu anugerah buat gue. Orang yang selalu bikin gue seneng, orang yang membuat gue jadi berarti, dan orang yang akan menjadi milik gue. Gak mungkin dong gue rusak sumber kebahagiaan gue," Ucapnya
Avara memejamkan matanya beberapa detik. Ia menghela napas begitu panjang, ada ketenangan di dirinya saat ini. "Lo yakin banget tuhan ngasih gue buat lo?"
Ucapan Avara barusan membuat Langit menjauhkan pandangannya. Ia sadar diri ia tidak berhak menatap Avara begitu dalam. "Gue sih gak maksa tuhan. Gue juga gak berhak maksa hambanya. Gue manusia biasa yang bisanya cuma berharap." Langit berpaling dari hadapan Avara ia melangkah lebih dulu menuju dua pintu yang menjulang tinggi. "Gak usah takut ada bibi di dalem," Lanjutnya menciptakan keterbatasan Avara untuk menyanggah. Buktinya Avara hanya diam begitu masuk ke dalam. Ia hanya memainkan matanya menilik satu-persatu furnitur mahal yang bernuansa Eropa.
Langit menyimpan kasar tas dan jaketnya di sofa. "Lo tunggu sebentar ya,"
Lagi-lagi Avara tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya membalasnya dengan anggukkan.
"Baik Bu nanti saya coba bilang ke Aden,"
Langit menatap datar pembantunya yang sedang berbicara di telepon itu. "Bi, buatin minuman dua ya. Sama camilannya juga," Singkatnya lalu kembali membalikkan badannya.
"Den, tunggu sebentar ini ibu nelpon," Bi Murni sigap mendekat ke arah Langit.
"Langit gak mau ngomong,"
"Ayo atuh bicara dulu sebentar ya. Nih"
Terpaksa Langit meraih ponsel yang di sodorkan pembantunya. "Ada apa?"
"Mama punya kabar gembira buat kamu. Sebentar lagi Mama dan Papa akan pulang," Ucap seseorang di seberang sana
"Buat apa?"
"Loh? Kok ngomong begitu sih? Mama mau ngasih kejutan loh buat kamu,"
"Palingan besoknya pergi lagi. Gak usah pulang aja sekalian,"
"Kamu kok ngomong gitu sih? Mama ini orang tua kamu loh. Gak belajar sopan santun apa sama orang tua?"
"Iya Langit gak di ajarin sopan santun sama orang tua Langit," Langit menjeda dan tertawa singkat "Langit jadi gak tau tuh caranya bersikap santun sama mereka,"
"Cukup ya Langit jangan menyinggung Mama. Sama Bibi kamu bisa bersikap baik tapi sama Mama sendiri seperti ini,"
"Langit cuma menghargai orang yang selalu ada buat Langit. Yang ngajarin Langit caranya sopan santun. Bahkan kalo boleh yang harus Langit anggap ibu itu Bibi bukan Mama, Karena cuma Bibi yang selalu ada buat Langit," Ucapnya bergetar bahkan sebentar lagi air bening akan tumpah dari pelupuk matanya.
"Aden, Aden gak boleh bicara seperti itu atuh, Mama pasti sayang sama Aden. Mereka kerja banting tulang untuk Aden juga,"
"Gak papa Bi. Biarin, biar dia mikir. Kalo Langit udah gak ada, biar dia nyesel seumur hidup,"
"Heh? Gak boleh bicara seperti itu atuh. Ya, jangan sekali-kali lagi ya,"
Genangan air matanya semakin tinggi. Ia tak boleh menjatuhkannya di hadapan Avara. Ia segera mencuci wajahnya dan menjauhkan genangan kesedihannya sebelum ia menemui Avara kembali.
"Maaf ya nunggu lama," Avara berhenti menilik ruangan yang sangat besar itu setelah Langit kembali menemuinya.
"Gak papa. Mau mulai sekarang?"
"Boleh," Sikap Langit masih saja seperti itu. Apakah Langit tersinggung dengan ucapannya tadi?
"Mau pelajaran apa dulu?"
"Terserah lo aja," Situasi saat itu benar-benar canggung. Langit selalu diam dan murung, hal itu membuat Avara tak bebas berbicara.
"Yaudah bahas matematika bab satu dulu aja ya, biar lo lebih paham nantinya," Langit hanya mengangguk terserah. Membuat Avara semakin merasa canggung.
"Eh kirain teh Danu sama Alex yang datang, ternyata teman perempuan ya Den. Tumben pisan atuh bawa teman perempuannya main ke rumah," Pembantunya yang sudah ia anggap sebagai ibu itu datang membawa pesanan majikan kesayangannya.
"Iya Langit lagi belajar Bi, sebentar lagi ujian,"
"Oh ya udah atuh selamat belajar ya, Bibi ke belakang dulu,"
"Terima kasih Bi," Kali ini Avara ikut bersuara di sertai senyum hangatnya.
Setelah memutuskan untuk mengerjakan latihan soal yang di berikan Avara, dan juga sudah mendapatkan penjelasan yang rinci darinya, Langit kembali dingin. Ia hanya fokus dengan bolpoin dan bukunya. Bahkan saking fokusnya, minuman di sampingnya masih utuh terisi penuh.
Avara sendiri terlihat tidak nyaman dengan situasi ini. Ingin sekali ia bertanya dan meminta maaf tapi ia sangat takut. Takut dengan kenyataannya jika Langit benar-benar marah padanya. Ia berpikir sejenak, tidak-tidak ia harus berbicara kepada Langit. Ia harus mencairkan kembali situasi di antaranya yang sudah sangat membeku. "Lang, lo gak minum dulu? Gak haus apa? Enak loh ini, punya gue aja udah mau abis,"
Sikap Langit masih tetap sama. Ia masih cuek dan sibuk bergelut dengan buku-buknya. Entah karena benar-benar sedang belajar atau malah benar-benar marah pada Avara. "Kalo lo masih mau, minum aja punya gue. Nanti gue minta bibi buat bikinin lagi," Bisa-bisanya Langit tidak menegakkan kepalanya dan menatap Avara. "Eng-enggak kok udah cukup. Em, lo marah ya sama gue?" Bahkan pertanyaan Avara yang menyudut ini tidak membuat Langit berpaling ke arahnya.
"Marah? Enggak,"
"Tapi lo cuek sama gue. Gue minta maaf ya kalo omongan gue yang tadi buat lo tersinggung,"
Kali ini Langit menaruh bolpoinnya dan menegakkan kepalanya menatap gadis ketar-ketir di hadapannya. "Gue gak akan bisa marah sama lo Vara,"
"Lo cuek banget sama gue Langit,"
"Gue cuman pusing aja sedikit,"
"Pusing? Lo belum minum obatnya ya? Mana obatnya gue ambilin," Avara sigap mencari di mana Langit menyimpan obatnya. Ia tak ingin Langit sampai terlambat minum obat.
Pria yang tadi bersikap dingin ini sekarang sudah bisa tersenyum untuk Avara. "Hey, hey, hey.. liat sini," Avara sedikit tenang, ia mengikuti perintah Langit untuk menujukan tatapannya ke arah pria itu.
"Coba senyum," Matanya ia kedipkan untuk meyakinkan Avara agar mengikuti perintahnya.
Avara tersenyum tak mengerti. Sangat terlihat senyuman itu bukan senyuman yang tulus. "Yang tulus dong," Kali ini Avara berusaha untuk tersenyum dengan tulus meskipun ia tak tahu untuk apa ia tersenyum. "Nah. Kan gini enak, gue jadi gak pusing lagi deh," Langit begitu menikmati senyuman sempurna di hadapannya yang berjarak beberapa inci saja.
~To be continued~