Chereads / CINTA DARI LANGIT / Chapter 14 - 14 || Dua permintaan

Chapter 14 - 14 || Dua permintaan

"Ini gak adil buat Avara bu," sanggah Langit menghampiri ketiganya.

"Gak adil kenapa? udah jelas-jelas dia yang salah." Bantah Novi mulai menegang.

"Gak adil kalo cuma Avara yang di hukum. mungkin kesalah lo di sini gak cukup bukti. tapi kesalahan lo di toilet waktu itu gue punya bukti jelas," balas Langit

"Bukti apa? dan toilet gimana?" tanya Guru BK kebingungan.

"Ibu bisa liat sendiri apa yang udah di lakuin Novi ke Vara" Langit menyodorkan ponselnya nya dan memperlihatkan video yang akan membebaskan Avara dari hukuman.

Guru BK itu mulai menonton videonya dan sesekali melirik ke arah Novi. Novi sendiri seakan memberikan isyarat yang entah apa itu maksudnya. Kesalah Novi sudah jelas terbukti, tapi kita harus garis bawahi Novi adalah anak ketua yayasan. "Ini bisa aja kan editan." ucap Guru itu memberikan ponselnya kembali kepada Langit.

"Bu, editan gimana sih? udah jelas-jelas Novi kasar sama Avara. mau ngunciin dia di toilet," ucap Langit

"Keputusan Ibu gak bisa di ganggu gugat." tegas Guru

"Bu, saya tau ibu di gaji sama bapaknya dia. tapi tolong bu ini soal keadilan, jangan cuma karena jabatan, Ibu berlaku tidak adil sama murid Ibu sendiri. mau anak siapa pun kalo dia salah ya salah bu." bantah Langit

Novi dan juga Guru BK itu menampilkan sikap tidak terimanya. sesekali mereka saling bertatapan. "Kamu udah lancang ya Langit. kamu mau saya hukum juga?" bentak Guru BK

"Oh Ibu mau hukum saya? mau hukum murid nakal, brandalan, sering bolos yang sedang memperjuangkan keadilan untuk temannya yang sebenarnya itu bukan urusan saya?" lawan Langit

"Oke Ibu gak akan hukum kalian, tapi kalo sampai kalian membuat ulah lagi. Ibu akan tambah hukuman kalian," balas Guru BK

"PERMISI!!!" Hanya itu kata yang Langit ucap sebelum Langit menarik lengan Avara dan membawanya keluar. berbeda dengan Novi, ia mengerutkan dahinya, ia tak terima dengan keputusan Guru BK yang merasa di rugikan

"Makasih ya," Ucap Avara saat berjalan sejajar menuju kelasnya

"Gue gak ngerti deh sama manusia sekarang, jabatan tuh lebih penting dari sikap," balas Langit

"Miris sih. tapi kita kan gak bisa ngapa-ngapain. biarin itu jadi urusan mereka lah,"

Setelah diam beberapa detik, Akhirnya Langit kembali bersuara. Sepertinya ia sudah mempersiapkan ucapannya. "Oh iya Va, gue boleh minta tolong gak?"

"Minta olong apa? Kalo gue bisa bantu ya gue akan bantu,"

"Gue punya beberapa list harapan sebelum gue mati,"

"Kok lo ngomong gitu? Lo pasti sembuh," Avara menyanggahnya dengan nada tidak suka.

"Va, harapan gue untuk hidup gak sepanjang lo, gue takut Va. Gue takut gak ada hal baik yang akan mereka kenang dari sosok gue. Yang ada gue akan di hantui penyesalan,"

"Lo ngomong apa sih? Lo pasti sembuh Langit," Tegas Avara

"Lo kok yakin banget sih gue sembuh? Gue aja gak yakin loh,"

"Lo pasti sembuh," Avara meninggikan intonasinya

"Va, gue cuma pengen jadi yang lebih baik aja. Seenggaknya ada hal baik yang bisa mereka kenang dari gue, dan cuma lo yang bisa bantu gue mewujudkan semuanya. Cuma lo yang tau kondisi gue,"

"Ya udah, apa harapan lo?"

"Gue cuma punya dua harapan, Pertama. Gue pengen jadi pribadi yang lebih baik. Lebih rajin, ngehormatin mama sama papa, jadi temen yang baik. Dan yang kedua gue mau lo jadi wanita terakhir yang gue liat selain mama," Langit menatap Avara begitu dalam seakan ia benar-benar meminta bantuannya untuk mewujudkan itu. "Gak harus pacaran kok Va. Gue cuma mau lo ada terus buat gue. Itu aja,"

Avara hanya diam begitu Langit menunggu jawabannya. "Va?"

"Gue gak mau ngasih lo harapan Langit,"

"Harapan? Gue udah pasti berharap sama lo Va. Tapi gue akan coba buat nahan, gue gak mau lo gak nyaman karena gue maksa lo buat jadi pacar gue. Gue cuma mau lo di samping gue apapun itu statusnya.

Avara menganggukkan kepalanya. Ini tidak masalah untuknya, ia tidak ingin egois. Langit benar-benar membutuhkan bantuannya. "Ya udah, gue bakal berusaha ada terus buat lo dan bantu lo mewujudkan semua yang lo mau," Jawaban Avara kali ini berhasil membuat Langit tersenyum, Sedikit semangat ia dapatkan kembali.

"Yaudah pulang sekolah lo ke rumah gue,"

"Hah? Mau ngapain?"

"Belajar. Gue pengen ujian semester ini dapet nilai bagus,"

"Hari ini banget?"

"Emm jangan deh baju lo basah besok aja ya?"

***

Siang ini SMA Natakusuma di gemparkan dengan penemuan sebotol minuman keras di lahan kosong dekat parkiran yang sering di pakai siswa-siswa nakal merokok. Sebotol miras yang baru di teguk tidak sampai setengahnya itu di temukan guru piket saat mengontrol semua lingkungan sekolah. Semua siswa-siswi Natakusuma di kumpulkan di lapangan hari itu juga guru-guru harus mengetahui siapa pemiliknya.

"Siapa yang bertanggung jawab atas botol ini?" Sentak Kepala sekolah penuh amarah. Namun sentakkannya ini sama sekali tidak membuat satu orang pun mengacungkan tangannya dan mengakuinya.

Seseorang bersuara tanpa mengangkatkan tangan. "Langit kali pak. Kan biasanya dia yang suka merokok di situ," Seseorang itu berteriak di belakang punggung temannya. Ia tak berani menampakkan wajahnya.

Semua pasang mata menyorot ke arah Langit termasuk Avara di sampingnya. Siapa yang berbicara asal itu? Langit benar-benar tak terima. "Bacot. Gak usah sembarangan kalo ngomong," Sentaknya mencari siapa laki-laki yang bersuara tadi.

"Sudah-sudah. Apa benar itu milik kamu Langit?"

"Enggak pak. Saya gak pernah bawa miras ke sekolah," Bantah Langit sungguh-sungguh.

"Bohong Pak. Lagian tadi saya gak lihat dia di mana pun pas jam istirahat," Akhirnya Langit bisa melihat orang yang menuduhnya tanpa bukti. Seseorang itu duduk jauh di depan dari tempatnya berdiri. "Heh. Maksud lo apa Nuduh gue kayak gitu? Dari tadi gue di ruang BK ya," Langit menatap marah siswa itu.

"Sudah! Ada urusan apa kamu di ruang BK?" Kepala sekolah yang berdiri di depan itu membentak Langit di hadapan semua siswa di sana.

"Saya tahu siapa yang harus bertanggung jawab dengan miras itu," Kali ini Rere lah yang menjadi pusat perhatian.

"Re?" Avara di sampingnya sangat terkejut mendengar pengakuan Rere. Rere berjalan menuju tempat kepala sekolah itu berdiri. Tidak ada satu pun pasang mata yang tidak menatap Rere.

"Apa yang kamu tahu?"

"Kak Fahri yang harus bertanggung jawab atas miras itu," Rere menunjuk seorang siswa yang terkenal sebagai ketua osis.

"Maksudnya apa Re?" Siswa yang di tunjuk Rere barusan berdiri dan menghampirinya.

"Ngaku aja kak. Tadi kita ketemu kan? Dan Kakak bilang habis dari belakang. Habis ngapain kak?"

"Benar itu Fahri?" Cecar kepala sekolah

"Saya memang habis dari lokasi itu tapi itu bukan milik saya," Bantah sang ketua osis

"Untuk apa kamu datang ke situ?"

"Saya hanya mengontrol lokasi itu saja pak,"

Siswa-siswi di tempat itu tak sedikit menyoraki Fahri. Mereka kecewa dengannya, mereka menuntut kepala sekolah untuk mencopot jabatan yang di berikan kepadanya. "Sudah-sudah. Fahri akan saya bawa ke ruang BK, sekarang kalian kembali ke kelasnya masing-masing,"

Rere kembali ke sisi Avara dengan perasaan puas. "Re, lo beneran yakin Kak Fahri?"

"Yakin lah,"

~To be continued~