Chereads / CINTA DARI LANGIT / Chapter 12 - 12 || Sayap untuk Langit

Chapter 12 - 12 || Sayap untuk Langit

"Maksud gue, kalo lo punya dendam pribadi sama gue, dateng sendirian jangan keroyokan ngandelin ayam-ayam lo," Langit mempertegas maksudnya.

Tanpa tinggal diam, Aldo langsung menyerangnya. Jelas Langit membela dirinya, keduanya pun kini bertarung hebat satu lawan satu.

Avara yang menyaksikan perkelahian itu, sigap turun dari mobilnya dan mencoba untuk melerainya. "Langit...."

"Gak usah ikut campur lo setan!!" Benta Aldo mendorong keras bahu Avara.

"Aaawwww," Ringis Avara

"KALO SAMA CEWEK YANG SOPAN DONG ANJ*ING!" Langit tak terima. Ia langsung mendorong keras bahu Aldo.

"Apa lo? Mau ribut lagi sama gue?" Balas Aldo mendorong balik Langit.

"Aldo udah. mau lo apa sih?" bentak Avara di antara keduanya.

"Ini bukan urusan lo. Jadi lo gak usah ikut campur," Aldo menatap marah mata Avara. Ia benar-benar berbeda dengan Aldo kekasihnya dulu

"Udah. kita pergi, Gak guna ladenin cowok berengsek kaya dia," Avara meraih lengan Langit dan membanya menjauh dari Aldo sialan.

"Emang cowok lo gak berengsek? Tanya anak-anak di sekolah lo. Gak seberengsek apa dia," Teriak Aldo. Keduanya tak memperdulikan gunjingan Aldo. Hanya tutup telinga dan pergi.

"Vara. Gue lagi stres. Pengen mukulin mereka," Langit terlihat marah sampai ia membentak Avara..

"Lo mau mukulin atau lo yang di keroyok," Vara balik membentak.

Langit tertawa keras "Lo tuh kenapa perhatian banget sih sama gue? Hah?" Langit tak henti-henti menertawakan wajah khawatir Avara. "Nih ya, kan gue udah bilang kalo lo seperhatian dan sekhawatir ini sama gue, kenapa kita gak pacaran aja? Biar lo gak jaim kalo kangen sama gue, tinggal peluk,"

"Rese lo." Avara memalingkan wajahnya. Rautnya pun berubah menjadi kesal.

"Eh eh eh eh.. kok marah sih?" Langit menghentikan tawanya. Ia menatap teduh wajah Avara. "Va, gue tuh gak papa. Buktinya gue masih bisa berantem sama Aldo,"

"Gue kaget pas denger bunda cerita. Makanya gue ngejar lo," jawab Avara

"Terus kalo udah di kejar, udah ketemu, mau ngapain? Mau meluk? Sini peluk," Langit merentangkan tangannya menyambut pelukan yang tak kunjung datang. "Gak,"

Langit mengalihkan tatapannya menjadi kosong. "Va, gue tuh malah bersyukur. Ya lo tau lah gue bandel, jarang Shalat, apalagi ngaji. Tapi tuhan selalu kasih semua. Meskipun gue gak minta. Gue gak pernah minta uang banyak atau jadi orang kaya raya, tapi 17 tahun gue hidup, hidup gue selalu tercukupi bahkan lebih dari cukup. Termasuk penyakit ini, gue gak pernah minta lho, tapi tuhan kasih. Baik banget kan tuhan sama gue," Ucapan Langit benar-benar menyentuh bagi Avara. Sampai ia berani meneteskan air matanya.

"Apa lagi kalo gue minta kan? Pasti tuhan kasih kan? Akhir-akhir ini gue selalu minta sama tuhan. Ya Allah tolong jadikan Avara wanita terakhir untuk Langit, wanita yang selalu ada untuk Langit, wanita yang selalu menegur Langit jika Langit salah, wanita yang selalu membela Langit saat orang lain menjatuhkan Langit, dan wanita yang terakhir Langit lihat selain Mama sebelum Langit benar-benar pergi. Tapi tuhan gak mungkin kasih semuanya kan Va? Kalo gue juga gak minta langsung sama lo?" Langit menatap Avara. Ia meminta jawaban atas permintaannya.

"Va, Gue ngasih kode lho Va. Lo mah ih," lanjutnya meruncingkan bibirnya.

Avara tersenyum "Lang, tanpa lo minta pun pasti gue lakuin. Dulu waktu Ayah sakit gue gak tau apa-apa, yang gue tau cuma main, belajar. Dan Bunda cuma bilang kalo Ayah sakit tumor. Dan selama Ayah sakit, gue gak pernah ngurus dia, perhatiin dia, dan Bunda pun sama dia sibuk kerja, ngurusin kerjaan Ayah. Dan sekarang lo pengganti Ayah. Gue, bunda, ikhlas bantuin lo untuk Ayah. Lo gak usah khawatir, lo punya gue sama bunda,"

"Ada satu kebaikan lagi yang tuhan kasih buat gue," Balas Langit berkaca-kaca.

"Apa?"

"Tuhan ngasih 2 sayap, untuk gue bisa terbang tinggi. Gue ngerasa, tuhan ngasih gue cobaan yang begitu berat. Tapi tuhan ngasih lo sama Bunda mertua. Mungkin kalo gak ada lo sama Bunda mertua gue udah nyerah, mungkin gue lebih memilih mati," Langit meraih tangan Avara dan menatapnya begitu dalam. "Makasih yaa. Udah jadi sayap gue,"

"Gue sama Bunda cuma perantara. Lo yang harus berjuang. Lo yang bisa bikin diri lo semangat. Dan lo harus inget ada orang tua yang harus lo jadiin alasan lo berjuang tetap hidup,"

"Va, Va. Gue emang punya orang tua yang utuh. Tapi gue ngerasa jadi anak yatim piatu yang selalu mendapat santunan tiap bulannya dari orang kaya. Gue selalu di tuntut untuk jadi anak yang rajin belajar, berprestasi, membanggakan, rajin Shalat, rajin ngaji. Tapi lo mikir gak sih? gue butuh mereka buat gue contoh," Satu air matanya berhasil jatuh di hadapan Avara. Tapi ia berhasil menyingkirkannya.

"Tapi dia tetep orang tua lo. Lo ada karena cinta mereka, sekarang giliran lo yang buktiin sama mereka. lo bisa jadi yang mereka mau. mungkin setelah lo bisa jadi apa yang mereka mau, mereka juga pasti nurutin apa yang lo mau."

"Lo mau bantu gue wujudin itu semua? Sebelum gue mati," tanya Langit

"Why not??"

Keduanya tersenyum sempurna harapan untuk sembuh sangat ia pegang erat.

"Gue harus pulang,"

"Gue anter"

"Gue kan bareng mas Bon,"

"Oh iya lupa. Yaudah hati-hati ya,"

Satu senyuman Avara tinggalkan untuk Langit sebelum ia masuk ke dalam mobil dan pergi.

***

Pagi ini Langit masih saja bersembunyi di balik selimutnya yang tersorot AC. Tidak biasanya Langit seperti ini. "Den bangun Den. Udah jam 6," Bi Murni pembantunya menyibakkan selimut Langit begitu saja. Ia khawatir dengan anak majikannya ini.

"Duh bi, kepala Langit sakit banget. Bibi tolong ambilin obat ya di tas Langit," Langit masih setia berbaring rasanya berat untuk bangun dan memulai aktivitas.

Bi Murni mengerutkan dahinya begitu melihat botol yang masih penuh terisi obat. "Ini obat apa Den?"

"Obat pusing Bi, " Langit meraih obatnya dan langsung mengonsumsinya. Ia tak banyak bicara pada pembantunya. Ia tidak ingin wanita paruh baya ini khawatir.

"Den Langit mau sekolah? Air panasnya udah Bibi siapin di kamar mandi,"

"Langit gak sekolah dulu kayanya bi," Langit kembali merebahkan badannya. Ia hanya ingin beristirahat. Soal sekolah ia akan menghubungi Danu.

"Yaudah istirahat aja ya. Bibi ke bawah dulu. Kalau ada apa-apa panggil saja,"

Langit mengangguk mengiyakan. Setelah pembantunya itu keluar, Langit meraih ponselnya yang semalaman di charge. Niat hati akan menghubungi Danu, ia malah di kejutkan dengan lebih dari 100 notifikasi pesan di ponselnya.

Langit tersenyum sempurna, kata per kata yang di kirim Avara memang mujarab, Langit menemukan kembali semangat sekolahnya. Iya akan mengucapkan terima kasih kepada sang pengirim karena ia sudah membangun semangatnya. "Halo,"

"Iewww lo baru bangun ya? Kebo banget sih." Balas Avara saat menerima telpon darinya.

"Va,"

"Apa?"

"Gue gereget ya kenapa si lo gak mau jadi pacar gue? Lo udah pantes jadi pacar gue tau gak?"

~To be continued~