Ini adalah hari kedua setelah Avara tahu apa yang terjadi dengan Langit. Hari ini Avara akan menepati janjinya untuk menemani Langit check up. "Lang, apa gak sebaiknya ajak orang tua lo? Kalo sama orang tua kan pasti lebih ngerti," Kali ini mereka sudah di perjalanan. Ada yang sedikit mengganjal bagi Avara. Apakah mungkin hal ini tanpa bimbingan orang tua?
"Iya juga ya. Kalo minta tolong Bunda mertua boleh?" balas Langit melirik ke arah spion.
"Nyokap gue?" Avara membalas tatapannya.
"Ya iya. Siapa lagi?" Tanpa menunggu persetujuan Avara, Langit merubah tujuannya. Ia memutarkan arah kemudinya membelah jalanan yang semakin jauh semakin sepi.
"Lo serius?" Rasanya enggan untuk masuk, bertemu Rena dan memulai pembicaraannya.
"Tolong ya. Gue gak punya siapa-siapa lagi Va," Balas Langit meyakinkan.
Avara mengangguk. Semoga saja ini tidak membuat luka masa lalu Rena kembali terkelupas. Setelah menyepakati, keduanya masuk secara bergantian.
"Assalamualaikum Bunda,"
"Waalaikumsallam sayang. Wah ada Langit. Ayo masuk,"
"Iya tante terima kasih tante,"
"Pasti pada lapar kan.. ayo makan dulu,"
"Gak usah tante gak papa. Vara aja,"
"Ayo.. tante sudah masak banyak," Rena menarik paksa lengan Langit. Rena memang hobi memasak, ia selalu menyiapkan makanan untuk Avara sebelum Avara pulang. Ia tidak ingin anak gadisnya ini kelaparan.
Makanan di meja makan sudah siap semua. juga Langit dan Avara sudah duduk manis siap untuk makan. Sembari melahap makanan lezatnya, Langit terus melirik ke arah Avara memberi kode agar Avara cepat berbicara pada bundanya yang menunggu di ruang keluarga.
"Emm bunda, Vara mau bicara sebentar," Avara kala itu sangat gugup ia tak tau harus memulainya dari mana.
"Kenapa sayang? Ada apa?" Rena menatap serius wajah gugup Avara.
"Gini Bunda, Vara boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa sih? Biasanya juga langsung ngomong, ada apa?"
"Emm bunda bisa anter Langit ke rumah sakit gak buat check up?"
"Check up? Langit sakit apa?"
"Emm itu, Langit terdeteksi tumor otak. Dokter nyuruh dia ke rumah sakit, dan Langit minta tolong bunda yang gantiin orang tua nya," Penjelasan Avara membuat kedua bola mata Rena membulat sempurna, wajahnya menunjukkan ke tidak percayaan.
"Tumor? Dan Kenapa harus Bunda?" Rena masih menatap tidak percaya.
"Ini baru terdeteksi bunda, dan mungkin jawaban yang sebenarnya sekarang. Bisa kan bunda?" Avara terus membujuk Rena.
"Langit kan punya keluarga,"
Secara tiba-tiba Langit muncul di antara keduanya dan memotong perkataan Rena. "Tante, Langit minta tolong ya. Orang tua Langit lagi di luar negeri, Langit besar di tangan bibi. kali ini Langit minta tolong banget sama tante, karena cuma Avara yang tau hal ini," Jelas Langit mendekat.
Rena beralih tatapannya namun masih dengan tatapan tak percaya. Perlahan Rena mengelus lembut rambut langit dan terus menatapnya. "Kenapa gak bilang sama orang tua?" Mata Rena beralih berkaca-kaca.
"Mereka sibuk tante. Langit takut mereka khawatir,"
"Iya tante anterin kamu," Rena menghapus dua titik air matanya yang sempat tempah. Kesediaannya membuat Langit dan Avara tersenyum senang.
"Terima kasih banyak tante," Langit mencium tangan Rena berkali-kali.
"Iyaa. Udah gih makan nya abisin. Tante siap-siap dulu," Mereka bernapas lega. Rena sudah bersedia.
***
Langit melangkah dengan berat, hatinya gelisah, badannya berkeringat dingin. Entah apa hasil pemeriksaan yang akan ia terima nanti.
"Semangat ya. Lo pasti bisa," Sepenggal kalimat yang Avara ucapkan membuat Langit lebih tenang.
Hingga tibalah di waktu yang mengharuskan Langit melakukan pemeriksaan bersama dokter dan harus jauh dari Rena dan juga Avara. Kira-kira 30 menit, seseorang dari ruang tempat Langit di periksa keluar dan memanggil Rena juga Avara.
"Bu, hasil pemeriksaan nya tidak bisa keluar hari ini. Nanti begitu hasilnya keluar saya akan menginformasikan kepada ibu, tanda-tanda pasien mengidap tumor otak semakin kuat. Oleh karena itu saya akan beri obat yang sama untuk memperlambat pertumbuhannya. Dan harus di minum secara teratur ya," Jelas dokter di hadapan ketiganya.
Rena masih menatap tak percaya. "Ba-baik dok,"
"Baik silakan tebus obatnya di apotek,"
Langkahnya semakin berat. Apakah tumor itu benar-benar bersarang di otaknya? Ucapan Rena membuyarkan diamnya ia kembali menegakkan badannya. "Langit, tante tebus dulu ya obatnya,"
"Biar Langit aja tante gak papa. Tante sudah banyak bantu Langit,"
"Gak usah kamu tunggu di mobil ya sama Vara," Rena mengelus halus pundak Langit.
"Gapapa tante?" tanya Langit meyakinkan. Rena hanya tersenyum untuk memenuhi keraguan Langit.
"Gapapa. Apapun hasilnya lo pasti bisa melewatinya," Avara terus menguatkan Langit saat langkahnya seiring menuju parkiran.
***
"Terima kasih ya tante sudah mau bantuin Langit,"
"Sama-sama. Tapi kamu harus cerita ya sama orang tua,"
"Iya tante Langit pasti bilang. Kalo gitu Langit pulang dulu ya udah malem juga,"
Rena mengiyakan. "Ya sudah tante masuk dulu ya,"
"Va, makasih ya udah mau temenin gue. tapi gue takut Va. gue takut sama hasilnya,"
"Jangan takut. apapun hasilnya, gue akan terus support lo kok. gue gak akan tinggalin lo," Baru kali ini Avara berani menatap mata Langit dengan serius.
Langit tersenyum. " Va, Gue janji gak akan maksa lo buat cinta sama gue, pacaran sama gue, gue tau lo selalu kesel kalo gue deketin. tapi gue minta sama lo, selalu jadi temen gue ya,"
Sekarang giliran Avara yang tersenyum lebar "Janji," Langit sangat berbeda ketika bersama Avara. ia begitu manis dan teduh. berbalik dengan saat dirinya menjadi seorang ketua geng motor, kata-kata kasar selalu ia lontarkan. Langit pergi dengan motornya juga dengan perasaan yang campur aduk. Perasaan yang entah apa rasanya.
Saking hancurnya perasaan ia sekarang, ia tidak sadar bahwa ia Hampir menabrak penyeberang jalan hingga terjatuh.
Kejadian itu di ketahui musuhnya, jelas mereka marah dan mengejar langit.
"Woii Langit Berenti lo bajingan teriak salah satu kawanan geng motor.
Langit terus mempercepat laju motornya. Ia berpikir mereka mengejarnya hanya karena dendam pribadi. Sayangnya ia tidak berhasil lolos, justru ia di kepung dari berbagai arah. Ia tidak bisa mengelak dan terpaksa harus menghadapinya.
"Lo kalo pake motor matanya di pake juga." Teriak leader nya yang di ketahui bernama Aldo.
"Maksud lo apa?" Langit mendekat
"Pura-pura bego lo? saking bego nya lo gak sadar lo nabrak orang?" Kini keduanya berhadapan dengan wajah penuh amarah.
"Hampir bukan nabrak." Bantah Langit tidak terima.
Lawannya tersenyum miring matanya menatap Langit penuh kebencian. "Abisin aja nih." Titah Aldo memberi komando. Semua kawanan yang mengikuti Aldo pun langsung menyerang Langit dan mengeroyoknya.
~To be continued~