Chereads / CINTA DARI LANGIT / Chapter 7 - 07 || Rahasia Langit

Chapter 7 - 07 || Rahasia Langit

"Kok lo tau gue balik sore sama Langit?" Avara melontarkan pertanyaan yang berhasil membuat Rere terdiam dan menghentikan aktivitasnya.

"Ya-ya.. gue nebak aja. Abis nya kemaren gue nungguin lo gak ada," tanya Rere bergetar

"Gue di siram sama si Novi. Terus ada yang ngunciin gue di toilet, untung ada Langit yang nolongin," jelas Avara.

"Ya ampun Va, gue minta maaf ya. gue pikir lo udah balik duluan," balas Rere memohon

"Gue pikir lo denger waktu gue teriak tungguin gue di toilet,"

"Ya ampun Va, sorry ya gue sama sekali gak denger," Ucap Rere semakin merasa bersalah

"Iya udah gak papa kok,"

***

"Tugas di depan di kerjain ya. Guru nya gak masuk hari ini," ucap sang ketua kelas saat memberi pengumuman di kelas.

"Yesss!! Jamkos, jamkos!!! Jamkos, jamkos!! Tangannya di atas semua yoo! Jamkos, jamkos!! Jamkos, jamkos!!! " Alex menyanyikannya dengan tarian aneh yang Mengundang tawa satu kelas.

"Harus di kumpulin sekarang ya." lanjut ketua kelas.

"Yaahhh." Alex meruncingkan bibirnya.

Dengan sangat serius semua siswa segera mengerjakannya agar bisa bersantai-santai di sisa waktu pembelajarannya.

"Re gue istirahat di UKS ya, agak gak enak badan. Nitip tugasnya nih udah selesai kok," ucap Avara yang memang terlihat kurang bergairah dan sedikit pucat.

"Lo mau di temenin? Tapi gue belum selesai," balas Rere

"Gak usah. Gue sendiri aja,"

"Yaudah deh cepet sembuh ya,"

Avara pergi dengan langkah kecilnya. Tidak berapa lama di ikuti langkah Langit yang sedari tadi memperhatikannya. Langit terlihat sangat khawatir terlihat dari mimik wajahnya.

"Vara," Langit menghampiri Avara yang mulai merebahkan badannya di berankar UKS.

"Kenapa?" tanya Avara lirih

"Lo sakit? Nih pake dulu jaket gue," Langit mendekat dan menyodorkan jaketnya yang sengaja ia bawa.

"Gak usah. Jaket lo yang kemaren aja belum gue balikin,"

"Nurut aja kenapa sih. Sini duduk," Langit menarik paksa lengan Avara dan menyematkan jaketnya dengan perlahan

"Udah sekarang lo istirahat. Tidur ya. Biar enakkan," Titah Langit.

"Lo ke kelas aja deh. Gue sendiri aja gak papa,"

"Iyaa nanti gue ke kelas. Nunggu lo tidur dulu,"

Avara akan beristirahat. Tak peduli dengan Langit yang masih di sampingnya, kepalanya sudah sangat pening.

Sepanjang Avara tidur, Langit terus saja memperhatikannya. Ia mengusap lembut rambutnya, mengelus halus keningnya. Hingga satu jam habis hanya untuk memperhatikan bidadarinya. Avara terbangun ia terkejut pria yang tadi berjanji akan pergi ternyata masih di sampingnya.

"Selamat pagi Avara," Langit tersenyum sempurna

"Lo masih ada di sini? Jangan-jangan lo kurang ajar ya? Lo ngapain gue hah?" Avara beranjak duduk dan menyelimuti semua badannya. Ia sangat ketakutan kala itu.

"Astaga Vara mana berani gue ngapa-ngapain lo. Tenang aja gue di sini jagain lo, kelas Novi deket dari sini. Gue takut dia jahatin lo," Jelas Langit meyakinkan.

"Bener ya lo gak ngapa-ngapain gue?"

"Iyaa. Udah jangan khawatir. Lo mau minum? Gue ambilin ya," Dengan sigap Langit bangun dari duduknya dan segera membawa minum di dapur UKS.

"Airnya habis Va, gue beli dulu ya airnya. Sebentar kok. Lo tunggu di sini," Tak ingin Avara ke hausan, Langit segera berlari menuju ke kantin.

Avara turun dari berankar nya dan melipat kembali selimut yang habis ia pakai, sebenarnya badannya masih kurang enak. Tapi pergantian pelajaran akan segera tiba. Ia sangat tidak ingin tertinggal materi.

Cuaca pagi itu cukup dingin bagi Avara, Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket milik Langit. Berguna juga jaket itu. Avara mengerutkan keningnya begitu menemukan sesuatu di saku kanannya. Ia mengeluarkan satu botol obat. "Obat?" Ia terkejut ketika melihat dan membaca obatnya. Napasnya tidak karuan, wajahnya seketika semakin pucat, dan matanya mulai meneteskan satu-persatu butir air bening. Seketika ia teringat pada kejadian 4 tahun yang lalu, obat yang ia temukan di saku jaket Langit sama dengan obat yang selalu ia lihat di kamar orang tuanya saat sang Ayah masih menderita tumor otak.

Dengan deraian air matanya Avara berlari untuk menemui Langit di kantin, Tapi semua tak sampai. Novi sudah dulu menghalangi langkahnya. Avara terjatuh dan obat yang di genggamnya pun ikut terjatuh tepat di hadapan Novi.

Novi tertawa puasa "MAKANYA KALO UDAH TAU LEMAH JANGAN SOK JADI JAGOAN! JANGAN SOK NGELAWAN. DI SIRAM SE-EMBER AJA UDAH HARUS MINUM OBAT. GAK SEKALIAN KE DOKTER JIWA? Novi meraih obatnya.

Avara bangkit dan mendekat ke arah Novi. "Balikin obatnya."

"Balikin gak ya?? Gak mau tuh! gue buang aja kali ya obat murahan kaya gini," tanpa permisi Novi langsung melemparkan obatnya, beruntung obat itu mendarat sempurna di telapak tangan Langit. Ia pun segera menyimpan di saku seragamnya.

"Sekali lagi lo gangguin Avara, gue gak akan tinggal diem." Langit mendekat menatap marah wajah Novi dan menggenggam erat tangan Avara. Lalu membawanya menjauhi manusia jahat itu.

"Lo gak papa? Duduk dulu yuk sini," Langit menuntun Avara ke sebuah bangku di depan kelasnya.

"Nih.. minum dulu," Langit menatap mata kosong milik Avara. masih terlihat membekas sisa-sisa air matanya yang sempat menetes deras Ada apa dengan Avara?

"Heii? Kenapa? Mana yang sakit?"

"Obat apa itu?" Avara

menatap ke arah tempat Langit menyimpan obatnya.

"Obat apa? vitamin?" Langit mencoba terlihat baik-baik saja.

"4 tahun lalu, Ayah sakit tumor. Tumor otak. Jelas banget kok itu obat yang sama. Obat yang sering gue liat di kamar Ayah," Avara kembali meneteskan air matanya dengan tatapan kembali kosong. Ia tahu betul obat detailnya obat itu.

Langit menarik napas panjang "Iya. Gue terdeteksi tumor otak. Dokter ngasih obat ini untuk memperlambat pertumbuhannya, gue belum ter-diagnosa Va. Karena belum ada pemeriksaan lanjutan," Jelas Langit. Avara tetap diam, sama sekali tidak menjawab penjelasan Langit. Ini terlalu menyakitkan. Rasanya luka di masa lalu kembali basah.

"Va, Gue boleh minta tolong?" Langit terus menatap mata kosong Avara

"Apa?" Avara mulai membalas tatapannya.

"Tolong rahasia in ini dari siapa pun ya. termasuk Rere, terutama Alex sama Danu. Dan Lo mau gak nemenin gue ke rumah sakit buat check up besok lusa? cuma lo yang tau ini, cuma lo yang bisa gue percaya Va. Mau ya?" Langit terus memohon

"Iyaa gue gak akan kasih tau siapa pun. Besok lusa gue temenin," Avara melepaskan tatapannya dan beranjak masuk ke dalam kelasnya. Langit hanya tersenyum kecil, setelah Avara tahu, ada satu kekuatan di dirinya untuk bertahan hidup.

Seharian ini Avara tidak begitu bergairah. Pikirannya terpecah belah antara pelajaran dan kondisi Langit sekarang, sesekali pandangannya tertuju pada Langit si manusia aneh, menyebalkan, namun perhatian.

Setelah pulang ke rumahnya, Avara termenung saat melihat foto dirinya dan kedua orang tuanya yang terpajang di ruang keluarga. "Vara? Baru pulang?" Rena menghampirinya dan duduk di sebelahnya

"Vara rindu ayah. Bunda," Balas Avara dan segera memeluk Rena.

"Vara harus kuat. ayah udah tenang di sana. Ayah udah gak ngerasain sakit lagi, tugas Vara sekarang, Vara harus terus doakan Ayah, dan buktikan sama Ayah Avara anak yang pinter, Sholeha, dan bisa membanggakan Bunda. Kita berjuang sama-sama ya meskipun tanpa sosok seorang Ayah," Rena semakin mempererat pelukannya.

"Vara kangen banget Yah," Batinnya yang terus memeluk fotonya dalam dekapan Rena.

"Udah jangan nangis. Mandi gih Bunda udah siapin makan," Titah Rena melepaskan pelukannya.

Malam itu Avara sangat gelisah. Ia hanya memejamkan matanya tanpa bisa tertidur lelap. Ia terus memikirkan kondisi Langit sekarang, spam chat pun tidak ia terima. Avara memutuskan untuk menghubunginya.

"Kenapa Vara? Lo udah mulai suka sama gue?" tanya Langit di seberang sana tanpa basa-basi.

"Apaan sih. Gue telpon lo cuma pengen tau keadaan lo sekarang. Dan tumben lo gak spam gue,"

"Lo nyariin gue? lo pengen gue spam lagi? Yaudah besok pagi gue spam lo ya," balas Langit.

"Nyebelin banget lo," Keputusannya untuk menghubungi Langit sepertinya salah besar. Tapi ia cukup lega. Terdengar dari suara dan tigkahnya, sepertinya Langit baik-baik saja.

Takkkk!! Sesuatu menabrak kaca jendelanya di kamar sepertinya ada yang melempar sesuatu, Ia segera memeriksanya. Satu buntalan kertas tepat di bawah jendelanya. Ia segera membuka.

'Selamat tidur cantik'

Tulisan dalam kertas itu seperti biasa di akhiri dengan huruf L. Avara mencari siapa yang melemparnya. Namun tak ada satu pun orang yang berada di bawah.

"Langit di sini?" Monolognya.

~To be continued~