Hari tanpa Rere di sekolah barunya sudah berakhir. Saatnya Avara pulang dan beristirahat, hal yang akan menjadi kebiasaan sejak kemarin adalah menunggu angkutan umum di halte dekat sekolah. Avara melakukannya hari ini. Lagi-lagi bukan Angkot yang menghampiri. Kali ini ia di hampiri seorang siswi. Sepertinya orang ini orang yang sangat berpengaruh di sekolah barunya. Terlihat dari laga dan penampilan yang beda dari yang lain.
Avara terkejut begitu siswi itu mendorongnya dengan kasar "Heh. Lo anak baru kan?" Tanya siswi kasar itu
"Kenapa kak?" Jawab Avara mulai ketakutan
"Lo gak usah cari muka deh sama Langit. Lo pikir lo siapa? Lo gak lebih cantik dari gue," Lanjutnya memutarkan bola matanya.
"Lo juga gak lebih baik dari dia," Langit berdiri di hadapan siswi yang di penuhi amarah itu.
Kedatangan Langit jelas mengejutkan mereka berdua. di wajah Avara terlihat kelegaan yang begitu dalam. Berbalik dengan wajah wanita kasar itu ia sedikit ketakutan dan gelagapan. "Lo kenapa sih belain dia? Lo suka sama dia?"
"Iya. Gue suka sama dia kenapa?"
"Lo inget kan kita pernah pacaran?"
"PERNAH bukan MASIH. Novi, gue ingetin ya sama lo, lo udah gak berhak ngatur-ngatur gue lagi. Kita udah gak ada apa-apa. Jadi lo stop gangguin gue, apalagi dia," Tekan Langit
Wanita bernama Novi itu terdiam seribu bahasa. Ia merasa di permalukan di hadapan siswi baru ini. Novi lebih dulu berlalu sebelum Langit membawa Avara pergi menjauh dari tempatnya.
"Va, lo balik bareng gue ya. Gue anterin," Tawarnya
"Gak usah. Gue bisa pulang sendiri, lo kan masih sakit istirahat aja di rumah."
Alih-alih membantah penolakan dari Avara, Langit malah menatapnya begitu dalam. Sepertinya ia benar-benar jatuh cinta. "Gue seneng deh,"
"Kenapa?"
"Gue seneng karena bisa suka sama orang yang tepat,"
Avara balik menatap "Lo nembak gue?"
"Engga. Gue gak nembak lo, gue baru suka aja belum cinta. Nanti kalo gue udah cinta sama lo, gue tembak lo yaa. Gue ambil motor dulu,"
Avara sama sekali tidak membalas janji si pria pincang ini. Ia segera masuk ke dalam angkot yang masih menunggu penumpang di dekatnya.
Avara menunduk mengingat kembali ucapan Langit. Apakah nanti Langit akan menyatakan cintanya? Lalu bagaimana dengan kakak kelas yang belum apa-apa saja sudah berani mendorongnya. Bagaimana kalau sampai dirinya dan Langit berpacaran. Novi akan melakukan apa?
Ia di buat kembali terkejut oleh Langit ketika laki-laki itu tepat berada di belakang angkotnya. Sepertinya Langit mengikutinya terbukti dari ketika angkot itu berhenti, Langit ikut berhenti juga. Langit tak kunjung menghilang sampai angkot itu berhenti di depan sebuah perumahan. Melihat seseorang yang di ikutinya sudah turun, Langit tak lagi mengikuti angkot itu. Ia hanya diam menunggu seseorang itu menemuinya.
"Lo Ngikutin?" Avara menatap tak percaya. Bisa-bisanya Langit mengikutinya padahal jika sudah dalam angkot Avara akan aman.
"Gue cuma mau mastiin lo sampe dengan selamat,"
"Lha rumah gue kan deket,"
"Gue gak mau dia ngikutin lo dan nyelakain lo,"
"Yaudah makasih yaa. Lo boleh pergi sekarang,"
"Lho kok di suruh pergi? Emang rumah lo di mana?"
"Masih masuk ke dalem sedikit,"
"Yaudah gue anterin ke dalem sampe depan rumah,"
"Kaki lo masih sakit Langit. Mending lo pulang, istirahat,"
"Gak ada yang lebih penting dari keselamatan lo Vara,"
Avara menghela napas panjang. "Yaudah terserah lo,"
"Gue titipin motor dulu ya,"
"Kaki lo gak papa di pake jalan?" Avara melangkah lebih lambat sembari memperhatikan kaki pincang Langit yang di paksakan.
"Gak seberapa ini. Lo gak tau sih gue orangnya kuat,"
"Iya deh si paling kuat. Eh BTW dia siapa sih? mantan lo?"
"Iyaa gue pernah jadian sama dia. Tapi cuma sebentar karena gue gak suka sama dia,"
"Terus lo ngapain pacaran,"
"Biar famous aja. Satu sekolah gak ada yang gak tau sama dia. Bokap nya ketua yayasan,"
Avara mengangguk mengerti dan menghentikan langkahnya di depan pagar yang menjulang tinggi. "Udah sampe,"
"Gak nyampe 5 menit ya,"
"Lo sih batu,"
"Yaudah lo kan udah nyampe rumah, Gue balik ya." pamitnya
"Yaudah hati-hati. Sekali lagi makasih ya,"
"Iya.. gue pergi setelah lo masuk,"
Sebenarnya Avara tak benar-benar masuk. Ia mengintip Langit dari sela-sela pagarnya. Pandangannya terganggu ketika melihat Langit terus meremas kepalanya. "Langit sakit apa ya, apa ini alesan kenapa dia pingsan kemaren?" Monolognya sambil terus memperhatikan kepergian Langit.
"Duhhh kok gue jadi mikirin Langit sih," Lanjutnya yang baru saja melemparkan tubuh nya di atas kasur.
"Dia chat gue gak ya?" Vara segera mengambil ponselnya dan menyalakan datanya.
Benar saja lebih dari 100 pesan aneh di kirim Langit untuknya. Namun kali ini membuatnya tersenyum sempurna. Ia menghiraukan pesan yang di kirim Langit ia memilih untuk mandi dan berganti pakaian.
***
Pagi ini Avara menunggu Rere datang. Mereka sudah janji akan berangkat bersama. Beberapa langkah ia ayunkan di halaman rumahnya, ia menemukan pesawat kertas. Apa ada anak kecil yang bermain-main di depan rumahnya? Pesawat kertas itu sedikit aneh dia di buat dari kertas yang di penuhi gambar hati. Seperti kertas untuk membuat surat cinta. Avara pun segera membukanya dan membaca beberapa tulisan di dalamnya.
'Selamat pagi Avara, semangat sekolahnya.' Di akhiri dengan inisial L
Avara mengerutkan keningnya. Siapa yang mengirim pesan menggemaskan ini? Apa mungkin Langit? Jika iya kenapa di ponselnya tidak ada notifikasi dari Langit sama sekali? Avara tidak ambil pusing ia mengembalikan bentuk pesawatnya seperti semula dan menyimpannya di dalam tas.
"Re, masa ya tadi gue nemu pesawat kertas di halaman," Ungkap Avara membuka obrolan di tengah riuhnya suara kendaraan.
"Hah? Gimana maksudnya?" Tanya Rere yang sibuk dengan ponselnya.
Avara membuka tasnya dan menyerahkan pesawat kertasnya kepada Rere. "Gue nemu ini tadi,"
Rere tertawa jahil "Kira-kira siapa?"
"Gue curiga sih Langit." jawabnya
"Gak mungkin lah. Dia kan gak tau rumah lo," Sanggah Rere tak percaya.
"Dia tau kok,"
"Hah? Langit nganterin lo?" Rere terkejut dengan kejujuran Avara. Sudah sedekat apa hubungan mereka sampai Langit berani mengantarnya pulang.
"I-i-iyaa,"
"Kok bisa?" Rere semakin penasaran
"Kemaren si Novi labrak gue. makanya Langit nganterin, takut nekat katanya. Tapi gue naik angkot kok dianya ngikutin dari belakang. Sumpah," Jelas Avara sejelas-jelasnya. Karena tidak ini sahabatnya ini berpikir macam-macam.
Kurang dari 20 menit Avara dan Rere sudah tiba di sekolahnya. Sepertinya pagi tadi Avara tidak setor emas seperti biasanya. Dan itu membuat perutnya mules di sekolah. Sungguh sebenarnya ia tidak ingin Buang air di sekolah. Tapi kalau tidak...
Setelah perutnya lega, Avara kembali melangkahkan kakinya menuju kelas mengejar Rere yang mungkin sudah tiba di kelasnya. Ia terkejut saat melihat pesawat kertas yang sama berada di atas mejanya. Avara melirik ke arah Langit, Anehnya laki-laki ini ikut menoleh ke arahnya sembari tersenyum yang entah apa artinya.
"Jadi Langit yang ngasih pesawat kertas ini?" Apa benar Langit? Jika iya, untuk apa?
Sepanjang pembelajaran, Avara kurang fokus ia ingin cepat membuka pesawatnya dan melihat orang aneh itu menulis apa.
'Semangat belajar nya ya..'
Masih di akhiri inisial L. Avara tersenyum miring saat membacanya sampai ucapan Rere meruntuhkan senyum nya. "Kantin yuk Va."
Ajakan sahabatnya ini hanya di balas dengan anggukkan oleh Avara. Dan menyimpan kembali pesawat kertas keduanya. Seseorang yang di sangkanya pengirim pesawat kertas sama sekali belum mengganggunya hari ini. Spam chat pun tak lagi ia terima, Langit hanya memberikan senyum sempurnanya pagi tadi.
"Va, mau makan apa?" Tanya Rere mulai melirik kedai-kedai di sekitarnya yang penuh dengan siswa kelas 10 sampai 12.
"Ngikut lo aja deh. Gue duduk duluan ya di situ," Berpikir untuk makan apa hari ini mungkin sudah tidak bisa. Karena pikirannya sudah penuh dengan pelaku yang mengirim pesawat kertas untuknya. Dan hanya satu nama yang ada di benaknya adalah Langit.
"Haii Vara," Cowok aneh yang kemarin babak belur dan yang masih ada di benaknya datang dan duduk begitu saja di sampingnya.
"Kenapa?" Avara masih saja berlaku cuek pada Langit. Entah karena apa, mungkin masih dengan traumanya? Atau tak ingin memberinya harapan? Bisa juga takut dengan kakak kelasnya yang kemarin melabraknya.
"Gue udah cinta sama lo. Tapi sedikit. Kalo udah banyak gue tembak lo ya," Tuturnya
Avara sama sekali tak membalasnya ia hanya menggeleng melihat tingkah aneh pria di sampingnya.
"Kalo lo udah suka sama gue?" Lanjut Langit
"Gue gak akan suka sama lo selagi lo masih jadi anak geng motor," Tegas Avara
"Terus gue harus berenti jadi ketua geng motor?"
"Ya itu terserah lo,"
"Kalo gue udah gak jadi anak geng motor, lo bakalan suka sama gue?"
"Lo yakin mau berenti jadi anak geng motor?"
Langit berpikir. Apa mungkin ia akan mundur begitu saja dari gengnya. Hanya karena wanita seperti Avara? "Yaudah gue pikir-pikir dulu ya," Langit berlalu dari hadapan Avara setelah alasan kenapa ia tak mau menjadi kekasihnya sudah ia ketahui.
"Kenapa lagi si Langit?" Rere menatap kepergian Langit dengan bingung ia berbuat apa lagi kepada sahabatnya?
Brakkk!!!
~To be continued~