Chereads / CINTA DARI LANGIT / Chapter 3 - 03 || Jadi Peduli

Chapter 3 - 03 || Jadi Peduli

Avara keluar dari bilik toilet dengan wajah yang masih di tekuk. Ia di sambut heran oleh Rere terbukti dari keningnya yang di kerutkan "Kenapa tuh muka di tekuk?"

"Karena siapa lagi kalo bukan si Langit," Balasnya

Rere tertawa kecil mendengarnya. Pasalnya Langit jarang sekali membuat wanita se-kesal ini. "Kenapa lagi?"

"Bener-bener Nyebelin orangnya," jawabnya masih meruncingkan bibirnya..

"Mending lo jauhin dia deh. Nih ya, di sekolah ini ada kakak kelas Lebih tepatnya anak dari ketua yayasan. dia mantannya si Langit. Langitnya sih udah gak suka ya. Tapi ceweknya masih ngejar-ngejar. Dan lo tau gak dia sampe segitunya sama Langit cuma gara-gara si Langit pernah gendong dia pas dia pura-pura pingsan waktu upacara," Ucap Rere sedikit berbisik saat di perjalanan menuju kelas

"Serius?" Semenarik apa sih Langit itu? Di mata Avara Langit benar-benar orang yang paling menyebalkan.

"Iyaa yang parahnya lagi dia suka ngelabrak orang yang deketin si Langit. Apa lagi lo yang dia deketin Va, makanya sebelum dia tau Langit deketin lo, lo jauhin aja si Langit," Saran Rere

"Iya sih. Gue juga males lah berurusan sama kakak kelas,"

***

Dua siswi yang bersahabat ini duduk sejajar di halte yang tak terlalu jauh dari sekolah. Mereka memandang ke arah yang sama. Arah biasanya angkutan umum datang. Sudah lebih dari 5 menit angkot baru tak kunjung datang. Mereka hanya mendapati beberapa kendaraan yang berseliweran. Tapi kendaraan yang satu ini berhenti di hadapan keduanya.

"Ayo naik," Siswa berjaket itu menyodorkan helm kepada Avara. Meski di balas dengan kening yang mengerut laki-laki itu masih menunggu Avara menerimanya

Beberapa detik berlalu tanpa sambutan Avara pria aneh ini menarik kembali tangannya dan menyimpan helmnya ke tempat semula. "Gue tau lo pasti nolak, Hati-hati di jalan ya. Nanti malam gue telpon," Aneh. Dia memang manusia teraneh yang Avara temui. Pria itu segera berlalu tanpa menunggu apa respons wanita yang di ajaknya.

Setelah beberapa motor itu menghilang di telan jarak, Avara masih mematung tak bersuara. Ia masih merasa tidak habis pikir dengan perilaku Langit si Aneh ini. Sedangkan Rere yang menyaksikan hanya menggeleng tak tau harus merespons apa "Gila kali tuh orang,"

***

Makan malam sudah selesai, bersih-bersih sudah selesai. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Avara merebahkan tubuhnya di atas kasur ia akan segera beristirahat. Seharian ini ia sangat lelah raga dan juga mental. Ia merogoh ponselnya di atas nakas sembari menunggu kantuk datang. ia terkejut begitu melihat ada lebih dari seratus pesan berisi emotikon yang di kirimi oleh kontak bernama Langit. Bahkan belum selesai ia melihat. Dering panggilan masuk sudah mengganggu konsentrasinya. "Hallo,"

"Selamat malam Avara," Langit benar-benar menghubunginya. Ternyata Langit adalah tipe orang yang selalu menepati janji.

"Lo kenapa selalu ganggu gue sih?" Avara membentak

"Gue cuma mau nepatin janji," balasnya dengan santai

"Janji apa?"

"Kan tadi gue bilang mau telpon lo malem. Iya kan?" jelasnya.

"Lo kalo mau telpon, telpon aja. Gak usah ngirim semua emotikon juga. ganggu tau gak,"

"Ohh berarti nanti kalo kangen langsung telpon aja yaa? yaudah deh Gue matiin dulu ya. Selamat tidur Vara, jangan lupa mimpiin gue. Bye,"

"NAJISSS!" Avara bergidik geli setelah mengakhiri panggilannya.

***

Seperti hari sebelumnya Avara berangkat sendiri. Kali ini Rere sahabatnya tidak masuk sekolah entah karena apa yang jelas ia mendapati kabar itu dari Rere tadi pagi, dengan santainya ia duduk di antara penumpang lain. Setengah perjalanan ia melihat pria yang semalam menghubunginya. Ternyata Langit dan beberapa temannya sedang mengejar kawanan geng motor.

Avara begitu memperhatikan gerak gerik Langit. Langit sangat berbeda saat menunggangi kuda besinya, Ia terlihat gagah. Wajah Langit saat ini begitu menakutkan. Amarahnya terlihat sangat menggebu-gebu Seperti Langit gelap yang di penuhi kilauan petir. Berbeda dengan hari kemarin saat Langit mengganggunya. wajahnya begitu berseri-seri seperti langit pagi yang indah dengan hiasan mentari yang menghangatkan bumi.

Hari ini mungkin terasa lebih berat bagi Avara, karena tidak ada Rere yang menemaninya mengenal lebih jauh sekolah barunya.

Pagi itu Avara memilih untuk membaca novel kesukaannya di taman dekat parkiran motor untuk menunggu bel masuk berbunyi. Ia tak tau lagi akan melakukan apa jika menunggu bel masuk di dalam kelas.

Belum sampai 10 menit ia membaca, ia sudah di kejutkan dengan sosok gagah yang tadi di temui, kali ini dalam keadaan babak belur dan kaki pincang.

Pria itu berjalan melewatinya. Ia merasa iba saat melihat kondisi Langit saat itu, terlebih tadi ia melihatnya mengejar kawanan geng motor. Sudah jelas ia baku hantam.

Avara segera bangkit dan menyamakan langkahnya dengan Langit. "Langit?"

"Hai," Baru kali ini Avara melihat seorang Langit tenang, tidak banyak bicara.

"Kenapa? Gue bantu ya," Avara meraih lengan Langit dan memapahnya. "UKS nya sebelah mana?"

"Di sana," Langit menunjuk ke sebuah ruangan kecil yang berdampingan dengan kelas.

Soal mengurus Langit, Avara sangat telaten ia mendudukkan Langit di belankar dengan hati-hati. Begitu juga dengan lebam di wajahnya Avara mengompresnya dengan penuh perasaan.

"Kok bisa gini?" Avara membuka suara

"Udah biasa lah," Balas Langit

"Abis ribut ya?" Avara masih memperhatikan seberapa parah luka di wajah Langit.

"Ya gitu deh. Risiko anak geng motor,"

"Tapi kok lo sendiri? Alex sama Danu mana? Perasaan tadi gue liat mereka juga di jalan,"

"Lo liat gue tadi di jalan?"

Avara membenarkan pertanyaan Langit hanya dengan anggukkan.

Langit diam "Avara gak boleh tau kalo gue di keroyok karena gue sempet berenti gara-gara kepala gue sakit lagi," Batinnya

"Ya, Panjang lah ceritanya. Lo gak akan ngerti,"

Kali ini Avara yang diam. Ia hanya mengangguk merespons sewajarnya.

Langit menatap Avara yang sedang merapikan alat-alat yang sudah ia gunakan. Avara benar-benar beda dari yang lain. "Vara,"

"Iya kenapa?"

"Lo kok mau nolongin gue kaya gini?" Pertanyaan Langit membuat Avara menoleh kebingungan.

"Lha emang kenapa? Lo gak suka gue tolongin?"

"Gue udah sering berangkat sekolah dalam keadaan kaya gini. Tapi gak pernah tuh ada yang mau ngobatin luka gue, malah guru aja seneng liat gue babak belur,"

"Ya gue cuma menjalankan tugas gue sebagai manusia, menolong sesama. meskipun gue gak suka sama sekali dengan alesan lo terluka,"

"Maksudnya?"

"Gue gak suka geng motor. Gue gak suka anak geng motor, gue gak suka keributan," Ucapnya memperjelas

"Jadi lo gak suka dong sama gue?"

"Engga,"

"Alesan nya?"

"Semuanya udah beres. Ke kelas yuk. Udah mau bel," Avara mengakhiri.

Avara kembali memapah Langit menuju kelasnya. Ia melakukan itu hanya semata-mata kemanusiaan bukan berarti Avara akan membuka hatinya untuk Langit.

Seseorang di belakang menatap kesal ke arah mereka. Tangannya ia kepalnya, ia seperti tak terima.

~To be continued~