"Tadi itu ayahku. Namanya Arsen Kalangga," ucap Agha.
Keduanya kini berjalan di sekitar taman belakang mansion. Ada pagar rumput tinggi yang membentuk sebuah labirin di dekat taman. Agha lantas menggandeng tangan Mina dan mengajaknya ke sana.
"Arsen Kalangga," gumam Mina.
Agha berdeham. "Orang-orang biasa memanggilnya Lord Arsen."
"Apa dia pemimpin klan Kalangga?"
Tatapan Mina tertuju pada pemuda di sampingnya itu. Agha mengangguk.
"Tapi, kenapa kau tahu soal klan Kalangga?" tanya Agha. Mata hazelnya tampak berkilat tersorot sinar rembulan.
"Madhava bercerita soal perseteruan klan Kalangga dan Shankara tadi," jawab Mina.
Agha tersenyum miris. "Kami masih satu rumpun, tapi sudah seperti anjing dan kucing sejak dulu," ucapnya. "Ayah sebenarnya tak menginginkan konflik ini terjadi karena dia adalah keturunan ke-10 dari klan Kalangga. Tapi, Hakan terus menginginkan pertempuran."
"Hakan?" Alis Mina berkerut menyatu.
Pemuda itu mengangguk. "Hakan Shankara. Nama Alpha terkuat dari klan Shankara saat ini."
Mina terdiam. Bahkan, di pikirannya banyak sekali pertanyaan mengenai ras Aul di dunia yang sekarang dia tinggali.
"Bagaimana dengan Aul? Apa itu Aul?" tanyanya kemudian.
Sambil berjalan menyusuri jalan di labirin, Agha menyatukan tangan di belakang punggungnya. Tubuh tegapnya tampak memesona.
"Aul adalah nama ras kami di Medea. Aul atau nama lain dari manusia serigala, adalah penghuni minoritas di Medea," ujarnya.
"Medea?" Mina makin menyatukan keningnya.
Agha mengangguk, menatap gadis itu. "Medea. Dunia dengan beribu misteri di dalamnya. Sampai sekarang, aku masih mencari tahu di mana ujung dunia ini," lanjutnya sembari terkekeh. "Ayah tak pernah mengizinkanku untuk keluar dari barrier pembatas sejak usia 10 tahun—"
"Lalu, berapa usiamu sekarang?" sela Mina. Raut wajahnya tampak sangat antusias.
"Dua puluh. Lama sekali 'kan?" balas Agha dengan seukir senyuman di sudut bibir kanannya.
Mina mengangguk. "Aku empat belas. Menyedihkan ketika Abbe yang berbeda dua tahun dariku selalu menganggapku 'gadis atau putri yang merepotkan' untuknya," ucapnya.
"Benarkah?" Agha tertawa sekejap—yang kemudian menarik perhatian gadis di sampingnya.
"Kau bahkan tampak dewasa, Mina, dan tidak merepotkan menurutku," lanjut pemuda tersebut.
Dia mendapati tatapan Mina melekat padanya. Gadis itu tersenyum, tak berkedip.
Agha bergerak, mendekati gadis tersebut. Mata hazelnya berkilat, begitu dalam menatap Mina. Tubuhnya seperti tidak terkontrol, bahkan mengunci ruang Mina untuk bergerak—menyandarkan tubuh mungil gadis itu di pagar rumput. Satu tangan Agha menempel ke pagar, tepat di samping wajah Mina. Wajahnya turut mendekat, makin mendekat ke wajah gadis 14 tahun itu.
Mina sendiri seolah menuruti gerakan pemuda yang wajahnya kian memotong jarak ke wajahnya. Ranum Agha yang bagaikan berry yang baru saja dipetik dari pohonnya itu membuat degub jantungnya memburu. Napasnya tertahan. Maniknya tak berkedip. Sampai di detik di mana hanya tersisa beberapa senti jarak ranum mereka.
Namun, sebuah suara mengejutkan keduanya. Kemeresak dari salah satu arah dan sontak membuat Agha memalingkan wajahnya. Netranya memicing tajam.
Mina turut menoleh ke asal suara. "Siapa it—"
Agha sontak membekap mulut gadis itu. Hidungnya tampak mengendus sejenak, sampai sekian menit kemudian bekapan itu dilepaskannya. Mina memandangnya dengan penuh tanda tanya.
"Aku belajar membaca energi sejak kecil dan selalu berhasil mengidentifikasi energi asing di sekitarku," ucap Agha. "Tapi baru kali ini aku gagal mendeteksinya."
"Apa? Mendeteksi apa?" Mina memalingkan wajah Agha yang tampak kebingungan kepadanya.
Agha menunduk, lalu menggeleng. Kedua tangannya menangkup pipi gadis di hadapannya.
"Aku baik-baik saja," katanya. "Kita kembali ke mansion sekarang. Kau pasti lelah."
***
Mina ingin sekali bertanya pada Agha, tapi sepertinya pemuda itu sedang tidak bisa diajak bekerja sama kali ini. Selepas masuk ke mansion, seseorang menghampiri mereka dan mengatakan sesuatu pada Agha hingga pemuda itu tak bisa menemaninya ke kamar. Mina mendengkus, meski pada akhirnya pikirannya terpaut pada sesuatu yang hampir terjadi dengan mereka berdua tadi.
Ia lantas menangkup pipinya yang bersemu merah. "Ya ampun, sepertinya aku bermimpi!"
Gadis itu menggeleng. Berkali-kali diatur ritme napasnya agar rileks kembali.
"Abbe tak boleh tahu soal ini," ucapnya.
Mina berpikir jika kakaknya tahu soal ini makanya pemuda itu pasti sudah mengejeknya habis-habisan. Mengatakan jika dirinya masih kecil dan tak pantas melakukan hal seperti itu.
Langkah Mina tergerak menuju kamarnya yang berada di lantai dua mansion. Ia mendapati beberapa orang pria yang diduga sebagai pengawal Klan Kalangga mondar-mandir di koridor dan anak tangga—sesekali tersenyum padanya.
Kediaman keluarga Agha benar-benar mewah. Banyak sekali barang antik dipajang. Foto dan lukisan ditempel di dinding setiap koridor dan ruangan. Karpetnya juga berkualitas tinggi. Mina sampai terkesima melihat keanggunan rumah tersebut.
Helaan napas gadis itu lolos sejenak. Ia harus segera ke kamar dan memastikan sang kakak sudah terlelap agar tidak memberondonginya dengan berbagai pertanyaan.
"Abbe?"
Sunyi.
Mina membuka knop pintu hingga langkahnya tergerak masuk ke kamar. Matanya mengedarkan pandangan.
Kamarnya sepi dan gelap. Satu tangan Mina tergerak menekan sakelar demi menghidupkan lampu ruangan. Namun, tiba-tiba saja seseorang merengkuhnya dalam kegelapan dan langsung mengunci pergerakannya di dinding. Pintu tertutup sekejap.
Teriakan Mina tertahan saat orang yang diketahuinya pria itu telah membekap mulutnya. Manik gadis itu membola. Degup jantungnya memburu sekejap. Siapa pun, pasti yang ada di depannya saat ini bukanlah Abbe. Kakaknya tidak setinggi itu untuk ukuran remaja 16 tahun!
Tolong!
Mina tak bisa bergerak. Tangannya terkunci. Tubuh pria itu begitu besar seukuran Madhava. Ditambah pula wajahnya makin mendekati bagian leher Mina. Manik kuningnya yang bagaikan serigala liar itu tampak berkilat, mengerikan.
Abbe, kau di mana!
Tak ada sahutan atau apa pun itu. Mina tercekat dalam keputusasaannya. Sampai akhirnya, sebuah gigitan terukir sempurna di bagian leher gadis itu.
Semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh Mina lemas sekejap. Sebuah seringai dengan gigi taring berlumuran darah yang mampu dilihatnya terakhir kali, sebelum semuanya menggelap.
***