Chapter 11 - Running Fast!

Agha tidak melihat ke belakang. Langkahnya dipercepat menembus hutan. Sesekali kakinya terjerat oleh sesuatu seperti rangkaian rantai dan juga semak berduri. Namun, dia tidak menoleh ataupun berhenti. Pemuda itu terus memacu larinya, sementara orang-orang di belakangnya makin mendekat.

Sebuah panah lolos begitu saja, tepat di sampingnya. Agha dengan wujud serigala putihnya itu menoleh ke belakang. Memicingkan pandangan. Orang-orang mulai melepaskan senjata mereka. Panah, tombak, dan yang lebih parah adalah panah beracun yang dilontarkan dari sebuah batang bambu berukuran kecil.

"Apa-apaan mereka! Aku bahkan tidak melakukan apa pun pada mereka!" gumamnya.

Teriakan Mina kembali terdengar di kejauhan dan makin mendekat. Suara kepakan dari sayap makhluk yang membawanya pun terdengar jelas. Sementara itu, penduduk yang mengejar Agha kini berhenti dan mengarahkan pandangannya ke atas. Seekor hewan berukuran dua kali besar tubuh manusia tampak terbang di dekat sebuah pohon.

Agha mengernyit. Ada yang aneh dengan makhluk bersayap tersebut. Ia memiliki badan manusia dengan tangan yang menyatu langsung dengan sayapnya. Kakinya memiliki cakar yang mirip sekali dengan cakar elang.

"Makhluk apa itu?" gumam Agha.

Tanpa aba-aba, makhluk itu seolah menatap serigala putih yang tidak jauh di bawahnya. Matanya yang merah berkedip, memberi sebuah isyarat, sebelum akhirnya kembali terbang ke satu arah.

Agha yang mengetahui hal tersebut lantas berlari kembali. Orang-orang yang tadinya berhenti, kini kembali mengejarnya. Mereka benar-benar tidak bisa diganggu dan hal ini membuat Agha berpikir dua kali menganggap mereka adalah manusia. Sepertinya, dugaannya salah. Ada yang aneh dengan tingkah para penduduk tersebut.

Dia berlari mengikuti makhluk bersayap yang membawa Mina. Sementara itu, matanya menatap gadis yang turut melempar pandangan ke arahnya. Agha menggeleng, memberi isyarat pada gadis itu untuk tidak bergerak. Mina yang menatapnya mengerutkan kening. Gadis itu mendongak, memastikan jika makhluk yang membawanya tidak berbahaya seperti yang diisyaratkan pemuda berwujud serigala putih tersebut.

Makhluk itu membawa Mina melewati sebuah barisan semak yang cukup tinggi. Agha yakin sekali jika semak itu adalah perbatasan yang sengaja dibuat oleh sekelompok ras demi menjaga wilayah mereka dari gangguan luar, termasuk orang-orang yang tengah mengejar dirinya kini. Pemuda berwujud serigala itu menoleh ke belakang, mendapati orang-orang yang nyaris seperti mayat hidup. Gerakan mereka tidak terkontrol dan terus melepaskan senjata ke arahnya.

Agha tidak punya pilihan lain. Dalam hitungan detik, tungkai belakangnya dijadikannya penopang dan pemacu gerakannya, sementara tungkai depannya terangkat. Dia melompati semak setinggi tiga meter tersebut sebelum akhirnya tubuhnya tersungkur.

Orang-orang di balik pagar semak itu berteriak. Lontaran senjata mereka bahkan tidak sampai menembus pagar tersebut.

Agha mencoba bangkit. Tubuhnya terasa sakit karena sedikit tergores duri semak tadi. Manik hazelnya melemparkan pandangan ke arah makhluk bersayap yang makin jauh membawa Mina terbang. Dia bergegas memacu larinya kembali, meninggalkan teriakan histeris dari orang-orang di balik pagar semak berduri tersebut.

***

Makhluk bersayap itu terbang merendah, mendekati sebuah pohon rindang di tengah padang rumput hijau. Ia menurunkan Mina di sana. Sementara itu, Agha yang mengetahuinya lantas berlari kencang sembari menggeram. Sepersekian detik kemudian, ia meraung dan langsung melompat hendak menyambar makhluk tersebut.

Namun, gerakannya terkesan lambat. Makhluk itu berhasil menghindar, lalu mendarat di belakangnya. Agha berbalik, berdiri melindungi Mina. Ia mengaung panjang, menciptakan gema hingga menerbangkan burung-burung yang bertengger di pohon.

Makhluk berbadan manusia yang hampir 80 persen tubuhnya tertutup bulu itu terkekeh. Ia mengepakkan sayapnya sejenak, sebelum akhirnya seberkas sinar bersemu dari tubuhnya. Makin lama sinar itu makin menyilaukan, membuat Mina dan Agha menutup pandangan mereka. Sampai beberapa detik kemudian, sinarnya meredup dan memunculkan seorang pria berpakaian putih.

Mina membuka pandangannya. Bola matanya melebar tatkala melihat sosok pria yang berdiri tidak jauh di depannya. Sementara itu, Agha yang masih berwujud serigala putih menggeram makin keras.

"Isaak?"

Serigala putih di depan gadis itu lantas berhenti menggeram. Ia menoleh ke arah Mina. Seberkas sinar yang muncul dari tubuhnya mengubah wujudnya kembali menjadi manusia seketika.

Agha mengernyit menatap Mina, lalu memandangi pria di depannya. Dia menoleh ke arah gadis di belakangnya lagi. "Kau mengenalnya?"

Mina bangkit dari posisinya. Manik cokelatnya masih menatap pria berpakaian putih tersebut. Seketika, dia berlari menghambur, memeluk pria yang dikenalnya itu. Gadis itu menangis.

"Tolong kami!" isaknya.

Pria yang dikenal dengan nama Isaak itu memeluk erat Mina. Dia mengusap punggung gadis itu pelan, lalu melepaskan pelukannya. Jemarinya menyeka air mata di pipi gadis 14 tahun tersebut, lantas menatap pemuda berjaket tudung yang berdiri menatap tajam ke arahnya.

"Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk tidak membawanya ikut serta?" tanya pria itu.

Mina mengusap sisa air matanya, lalu memandangi dua laki-laki di dekatnya tersebut. "Kalian … saling mengenal?"

Isaak dan Agha saling bersemuka, lalu menatap Mina, dan menunduk. Pria 30 tahun itu menghela napas.

"Tidak begitu," ucapnya.

"Athar!" seru Agha. Alisnya menyatu dengan mata hazelnya yang menatap pria di depannya penuh arti.

Mina mengernyit. "Athar?"

Isaak meneguk saliva sejenak. Dia memandang dua remaja tersebut secara bergantian, terutama Mina, lalu mengangguk.

"Hah?"

"Dia Athar. Pengawalku yang dipecat oleh Ayah," ucap Agha.

Kening Mina makin mengerut, menyatu dalam ketidaktahuan dirinya mengenai sesuatu yang terjadi di depannya kini. Dia menatap Isaak.

"Isaak," panggilnya.

Isaak lagi-lagi menghela napas. Mata kuningnya menatap gadis tersebut. "Ceritanya panjang," ucapnya.

Suara-suara dari dalam hutan mengurai fokus mereka. Agha mengendus sejenak, lantas menajamkan pandangannya.

"Sebaiknya kubawa kalian ke pondok dahulu," ucap Isaak. "Di sini tidak aman."

Agha mengangguk, lalu menatap Mina. "Kembalilah naik ke punggungku," pintanya lantas mengubah dirinya kembali menjadi serigala putih.

Gadis 14 tahun yang masih berusaha mencerna situasi itu pun menurut. Dia naik ke punggung Agha sebelum akhirnya serigala putih itu berlari. Matanya memandang ke belakang, mendapati Isaak kembali mengubah wujudnya menjadi makhluk bersayap, lalu terbang meninggi.

***

Sebuah pondok yang terletak menggantung di antara dua pohon tampak sangat unik. Kayu-kayu penopangnya serta tali sebagai penguat terlihat sangat kokoh. Isaak mendarat langsung di teras pondok sebelum akhirnya menurunkan sebuah tangga tali tepat di depan Agha dan Mina. Mina bergegas turun dari punggung Agha sebelum akhirnya serigala putih itu kembali ke wujud manusianya.

"Aku tunggu di dalam!" seru Isaak dari pondoknya.

Agha menatap gadis di sampingnya seraya mengendik. Dia mengizinkan Mina untuk memanjat terlebih dahulu.

Mina tidak pernah melihat pondok sebagus ini sebelumnya. Di dunia manusia, bahkan tidak pernah ditemukannya pondok di atas pohon yang lebih mirip rumah dua tingkat yang diangkat menggunakan katrol, lalu digantung. Pondok Isaak terlihat sangat nyaman ditinggali. Temboknya terbuat dari papan kayu yang disusun rapi, sementara atapnya dari jerami kering.

Mereka berdua masuk ke pondok. Hal pertama yang mereka lihat adalah sebuah meja dengan beberapa kursi kayu tertata rapi. Ada dua ruangan yang diberi pembatas—mungkin itu kamar—dan sebuah tangga yang mengarah ke lantai dua. Isaak keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi sebuah teko dan tiga cangkir keramik serta sepiring kue kering. Mina mengernyit melihat kue tersebut, lantas menatap pria yang membawanya.

"Kue kesukaan Abbe," ucap Isaak sembari tersenyum. Dia mempersilakan dua remaja itu untuk duduk, sementara dirinya mulai mengisi cangkir-cangkir dengan cairan berwarna biru.

"Itu …." Mina menggantung ucapannya saat melihat cairan yang keluar dari dalam teko.

"Teh dari bunga Telang," ucap Isaak. "Kupikir Tuan dan Nyonya di Den Haag sering membuatkannya untuk Anda, Nona."

Pria itu menampakkan ceruk di sudut bibirnya pada Mina hingga gadis itu menunduk. Dia menyelesaikan tuangan terakhirnya, lalu memberikannya masing-masing kepada Agha dan Mina. Sekian detik, pria itu meneguk tehnya sejenak.

"Jadi …." Isaak meletakkan cangkir tehnya di meja dan menatap dua remaja di depannya.

"Siapa kau?" Mina menyela, membuat dua laki-laki di hadapannya itu sontak menatapnya. Dirinya sendiri memandang lurus ke arah pria 30 tahun tersebut.

Isaak menghela napas sejenak. "Yang dikatakan Agha benar," ucapnya, "aku adalah pengawalnya yang dipecat oleh Tuan Arsen Kalangga."

***