Mata Mina membola, lalu mengerjap sejenak. Ia tertawa, membuat Agha dan Isaak saling berpandangan.
"Mustahil," ucap gadis bernama lengkap Mina van Chastelein itu. "Kau pasti terlalu banyak membaca cerita fantasi, Isaak."
Pria berambut hitam itu menghela napas. "Apa yang kukatakan adalah benar adanya, Nona," ucapnya, kembali menarik atensi gadis tersebut. "Aku … Isaak yang Anda kenal, bukanlah manusia. Aku tidak berasal dari ras Human seperti Nona dan Tuan Muda Abbe."
Tawa Mina terhenti. Gadis itu mengatur ritme napasnya sambil memandangi pria bermata kuning di depannya. Dia menggeleng.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
Agha meletakkan cangkir tehnya di meja. "Athar Diaskara," ucapnya. "Itu adalah nama asli pria di depan kita."
Isaak mengedipkan maniknya sekali. "Agha benar," timpalnya. "Nama asliku adalah Athar Diaskara. Aku berasal dari ras Ahool di Medea."
Gadis berambut cokelat itu masih berusaha mencerna keadaan. Dia berkali-kali meneguk saliva, lalu menghela napas. "Jadi …."
"Izinkan aku untuk berbicara nonformal," pinta Isaak pada Agha—pemuda di depannya mengangguk. "Ras Ahool dulu hidup berdampingan dengan ras Aul, sebelum konflik keluarga itu terjadi dan memecah ras Aul menjadi dua bagian. Ras Ahool sendiri mendapat diskriminasi dari ras Aul setelah konflik, maka dari itu kami berusaha mencari cara untuk hidup mandiri ….
"Aku sendiri sudah tinggal dengan keluarga Kalangga sejak kecil dan awalnya aku diasuh oleh ayah dari Arsen Kalangga; Rajash Kalangga. Tapi, sejak beliau tiada dan kepemimpinan klan Kalangga diambil alih oleh Arsen, semuanya kacau. Terlebih saat istrinya meninggal usai melahirkan putra tunggalnya."
Isaak melihat ke arah Agha yang setengah tertunduk menyimak ceritanya. Dia kembali menatap Mina.
"Dan aku diberi amanah untuk menjadi pengawal pribadi Agha. Tapi …." Isaak menggantung ucapannya sejenak. "Mungkin, saat itu salahku juga—"
"Tidak, Athar!" sela Agha. "Kau tidak bersalah!"
Pria 30 tahun itu menunduk. "Meski begitu, aku tetap dipecat dan dikeluarkan dari klan Kalangga, bukan?"
Agha sontak meneguk liur. Dia kembali bersandar pada sandaran kursi. "Ayah terlalu egois," lirihnya. Manik hazelnya menatap kosong pada cangkir teh di atas meja.
"Bukan salahnya juga," timpal Isaak, kemudian menatap Mina. "Setelah diusir dari klan, aku memutuskan untuk membuka portal dimensi dan menetap di dunia manusia dengan nama Isaak."
Mina terdiam, lalu mengangguk pelan. "Jadi, kau bukan Isaak?"
"Aku Isaak, Nona." Pria itu lantas meraupi wajahnya yang mendadak kusut. "Kau percaya pada Aul asing sepertinya dibandingkanku yang sudah menjemput dan mengantarmu ke villa di Buitenzorg, huh? Nona tega sekali!"
Agha yang merasa disinggung lantas menyahut, "Siapa yang kau maksud Aul asing?"
"Kau." Isaak menunjuk pemuda itu dengan dagunya.
Agha berdecak. "Ini semua karena Shankara!" tukasnya. "Kalau bukan karena mereka, aku tak akan membawa Mina sampai sejauh ini."
Satu tangan Isaak meraih cangkirnya dan meminum tehnya kembali sejenak. Kemudian, dia mengambil sepotong kue usai meletakkan cangkir tersebut. Manik kuningnya menatap pemuda 20 tahun di depannya.
"Bukan mereka yang membawa Abbe," ucapnya.
Dua pasang mata di depannya memelotot sekejap.
"Apa? Apa maksudmu?" tanya Agha memberondong. "Bukankah selama ini musuh Kalangga hanya Shankara?"
"Lalu siapa yang menculik Abbe, Isaak?" sambung Mina.
Isaak mengunyah potongan kue yang telah digigitnya. Matanya menatap jauh ke luar jendela yang terletak tepat di belakang Mina dan Abbe.
"Mereka yang nama kelompoknya tak boleh disebut," ucapnya.
Agha dan Mina lantas bersemuka dengan kening berkerut, nyari alis keduanya menyatu.
"Kelompok mana yang kau maksud?" tanya Agha kemudian.
Pria 30 tahun itu menghela napas sejenak. "Kau tidak akan tahu siapa mereka dan siapa dia, Agha," ucapnya. "Baik kau, ataupun ayahmu, kalian sama sekali belum pernah bertemu dengan mereka."
Agha menelan saliva demi membasahi kerongkongannya yang tercekat. Matanya menatap lekat manik kuning Ahool di depannya. "Lalu, siapa? Siapa yang memberitahu jika ada manusia di klan Kalangga?"
"Sejak kalian menyelinap ke lubang beringin, aku mengikuti kalian ke Medea," ucap Isaak sembari menatap Mina. "Saat aku sampai, aku mengikuti jejak kalian melalui udara, termasuk melihat kalian dikejar oleh kelompok liar dari klan Shankara."
"Tapi, sayang sekali, ketika kalian memasuki barrier pembatas, aku gagal mengekori kalian. Jadi, aku menunggu di sana."
"Lalu?" Mina menyahut, menatap dalam-dalam netra Isaak.
"Aku mengetahui beberapa orang berjubah hitam membawa Abbe melintasi barrier lain milik klan Kalangga. Bukan barrier tempat kalian masuk di awal," jawabnya.
"Lalu, apa yang kau dapatkan? Kau tak coba mengikuti mereka?"
"Sudah kucoba, tapi vibrasi mereka cukup kuat." Isaak meneguk habis tehnya. "Aku akhirnya hanya bisa memantaunya dari jauh, lalu kembali dan menemukan kalian hampir mati oleh kaum kanibal itu."
Agha mengernyit. "Kanibal?"
Pria 30 tahun itu sontak menjentikkan jemarinya di dahi Agha hingga pemuda itu mengaduh kesakitan. "Apa kau lupa nasehatku? Jangan ke sana, jauhi hutan itu. Lalu kau malah mengajak gadis yang baru kau temui ke sana. Kau mau membunuhnya, huh?"
Mina yang melihatnya tak kuasa menahan tawa. "Apa maksudmu, Isaak? Justru kau yang ingin membunuhku 'kan?"
"Aku?" Isaak memelototi Mina, lalu menunjuk Agha. "Pemuda mesum ini yang hendak membunuh Anda, Nona."
"Hei! Aku tidak mesum!"
Mendapati ucapan Agha seperti itu, Isaak menyeringai. Satu alisnya terangkat. "Benarkah? Lalu apa arti ciuman demi komunikasi dua arah, huh?"
Wajah Agha sontak memerah. Dia bangkit dari kursinya dan langsung membekap mulut ember Ahool bermata kuning tersebut. "Kau banyak bicara juga rupanya, ya!"
Tawa Mina tidak bisa ditahan. Dia tergelak sembari melihat kelakuan teman lama yang tengah reuni tersebut.
***
"Tapi, kalau begitu, kau pasti tahu ciri-cirinya 'kan? Ciri-ciri mereka?" tanya Agha kemudian. Dia berhenti membekap usai mulutnya disumpal kue kering oleh Isaak.
"Tato mawar hitam," ucap Isaak yang tengah berdiri di depan sebuah rak buku sambil memilih sebuah buku yang hendak ditunjukkannya kepada Mina dan Agha.
Agha terdiam, berusaha mengingat sesuatu. "Mawar hitam?"
Pria 30 tahun itu berdeham. Dia kembali ke meja dengan membawa sebuah buku bersampul putih—yang sudah sedikit kusam—dengan gambar mawar hitam di bagian tengahnya. Tidak ada tulisan apa pun di sana selain gambar tersebut. Dia meletakkannya di atas meja.
"Ini buku yang sengaja kubawa dari perpustakaan pusat Medea—"
"Kau mencurinya?" potong Agha, membuat Isaak menatap datar padanya.
"Seperti itulah." Pria itu membenarkan. "Ada beberapa seri, tapi yang ada di sana hanya ada satu. Buku ini saja."
"Apa isinya?" tanya Mina.
"Bukan kelinci paskah atau putri salju," jawab Isaak. "Isinya lebih kepada kisah dari 'mereka yang tidak bisa disentuh'."
"Mereka yang tidak bisa disentuh?"
***