"Mereka itu siapa?" tanya Agha.
Pria di depannya mulai membuka bukut tersebut. Sebuah kertas berwarna cokelat terselip di halaman kedua. Dia mengambil dan membukanya lebar-lebar hingga sebuah peta terlihat jelas.
"Ini …."
"Peta Medea?" gumam Isaak. Matanya bergerak, menelisik setiap inchi gambar di peta tersebut. "Bukan."
"Huh?"
"Ini peta persebaran Aul. Bukan peta Medea secara keseluruhan," ucap pria tersebut. Jemarinya bergerak, mencari sesuatu di kertas sebesar 1x1 meter itu. Sekian detik kemudian, telunjuknya berhenti. "Kita ada di sini sekarang. Aria."
"Aria?" Mina menyahut. Sejak tadi dia memperhatikan peta yang dibentangkan Isaak itu.
"Aria dulunya adalah wilayah Ahool. Tapi, semenjak diambil alih oleh ras Aul, kalian tahu 'kan, mereka menyatu, lalu kemudian terpecah kembali," ujar Isaak. "Sampai sekarang aku tidak tahu Ahool menetap di wilayah mana. Mungkin mereka tersebar di seluruh penjuru Medea."
"Sebentar!" Agha mengangkat satu tangannya. "Kau sendiri, kenapa tinggal di sini?"
Isaak mengangkat pandangan ke arah pemuda 20 tahun itu. "Aku suka menyendiri. Aku berbeda dengan Ahool lainnya," jawabnya, membuat Agha berdecak—pertanda jika jawabannya tidak memuaskan.
"Apakah Ahool ada yang hidup berkelompok juga?" tanya Mina.
"Ahool umumnya hidup berkelompok. Mereka membangun sarang di atas pohon dan menetap di wilayah yang gelap, seperti hutan para kanibal kemarin," jawab Isaak. "Tapi, setauku, sejak konflik, Ahool hidup terasing dan memilih untuk menyebar, beradaptasi dengan wilayah di Medea. Adapula yang hidup menyendiri sepertiku di tempat ini."
Agha tampak berpikir. Dia menghela napas panjang. "Aku ingat, saat di hutan, di desa para kanibal itu, ada rumah-rumah yang ditaruh di atas pohon. Apakah itu ditempati Ahool juga?"
"Lebih tepatnya, mereka menggunakan rumah itu untuk memancing para Ahool menetap di sana untuk mereka bunuh dan diambil dagingnya," timpal Isaak. "Para kanibal itu adalah manusia yang tersesat di dunia ini dan tidak bisa kembali ke dunia manusia."
Mina sontak menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya membola. Pria di depannya mengangguk.
"Beruntunglah kau dan Abbe bertemu dengan para Aul meski pada akhirnya kalian terpisah," lanjut pria itu. Mata kuningnya tampak berkilat.
"Lalu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan dengan peta dan buku ini, Athar?" Agha melanjutkan topik pembicaraan. Atensinya kembali tertarik pada buku yang sejak tadi dipegang dan dibukanya. Hanya ada tulisan tentang kisah orang-orang terdahulu. "Boleh aku membacanya?"
Isaak mengangguk. "Menginaplah di sini sebelum kita lanjutkan perjalanan esok hari."
"Tapi, Abbe—"
"Kita tidak tahu di mana dia berada sekarang, Nona," sela pria itu. "Mencarinya menggunakan endusan Aul atau sonar Ahool takkan berguna."
Mina tertunduk. Ucapan Isaak ada benarnya. Dia sendiri tidak tahu cara mencari kakaknya itu. Namun, pikirannya merumit. Dirinya mencemaskan Abbe, khawatir jika terjadi apa-apa pada kakak satu-satunya itu.
Isaak yang melihatnya lantas mengusap tangan gadis itu yang menggenggam di atas lututnya. Gadis itu mendongak menatapnya.
"Abbe pasti baik-baik saja," ucapnya. "Percayalah padaku."
***
Manik cokelat itu terbuka pelan, lalu mengedarkan pandangan. Agha tertidur lelap di sofa. Sepertinya, pemuda itu kelelahan setelah seharian berjalan jauh sambil membawa beban di punggungnya.
Mina terbangun. Selimut yang diberikan Isaak memang menghangatkannya. Namun, pikiran cemasnya tidak sanggup menghalau kerisauan hatinya. Perlahan, gadis itu turun dari ranjang menuju pintu keluar.
Suasana ruang tamu sangat gelap saat dirinya menuruni anak tangga. Pintu kamar Isaak di lantai dasar masih tertutup. Pria itu pastilah sudah tertidur. Sementara itu, tungkai Mina melangkah mendekati pintu luar dan membukanya pelan.
Langit malam di Medea tidak jauh berbeda dengan dunia manusia. Serabut seputih susu tampak memanjang bertabur bintang berkelip. Sang luna tampak bersinar cerah meski baru separuh perjalanan waktunya. Bunyi hewan malam saling bersahutan, bersamaan dengan semilir angin yang menghempaskan rambut cokelat Mina yang tidak terkuncir.
Gadis itu terduduk di tepi teras tanpa pembatas, menggantungkan kedua tungkainya yang tidak tertutup oleh sehelai benang pun. Kemeja Isaak cukup besar meski hanya menutupi tubuhnya sampai bagian paha, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Mina melamparkan pandangan jauh ke satu arah, menatap kosong pada padang rumput hijau yang berkelip tersorot temaram cahaya dewi malam.
Namun, lamunannya terurai saat seseorang menghampirinya dari belakang. Gadis itu menoleh, mendapati Agha berdiri, lalu duduk di sebelahnya. Rambut putih pria itu berantakan dengan matanya yang sembab—pertanda jika dia baru saja bangun.
"Kau tidak bisa tidur?" tanyanya.
Mina mengangguk, lalu kembali menatap kejauhan. Burung-burung tampak menyeruak bebas, terbang dari balik pohon menuju angkasa. Sementara itu, pemuda di sebelahnya justru mengamati dirinya. Menelaah tiap inchi wajahnya yang tengah melamun.
"Kau memikirkan kakakmu?" tanyanya lagi.
Kali ini Mina menunduk.
"Seberapa dekat kalian?" Agha melipat kedua kakinya yang mulanya menggantung di teras.
"Kami tidak dekat, sebenarnya," jawab Mina. "Seumur hidup, aku jarang bertemu dengannya. Kami hanya bertemu saat malam Natal dan Tahun Baru. Selain itu, Abbe mengikuti orangtua kami berbisnis di Hindia Belanda. Aku sendiri sejak kecil tinggal bersama Kakek dan Nenek di Den Haag. Kami hanya bisa mengirim surat yang sampai sekitar sebulan sekali."
Agha menatap gadis di sampingnya. Pikirannya penuh dengan segala praduga yang mungkin saja bisa merunyamkan otaknya sebentar lagi. Namun, dia menyingkirkan hal itu. Memikirkan perasaan Mina adalah hal yang penting untuknya saat ini.
Mina menghela napas. "Ini semua salahku," lirihnya. "Seandainya saja aku menuruti Abbe sejak awal, mungkin kami tidak terjebak di sini dan dia tidak diculik sekarang."
Tangan Agha terulur, mengusap pundak gadis itu. "Ini semua sudah terjadi dan berhenti menyalahkan dirimu sendiri," ucapnya. "Kita akan menyelematkan Abbe segera."
Mina menoleh. Air di kedua matanya menggenang, lalu menetes. Hal itu membuat Agha sontak menyekanya dengan cepat. Pemuda itu menarik tubuh Mina ke dalam pelukannya, lantas mengusap tubuhnya perlahan.
"Aku benar-benar menyesal."
Agha hanya bisa mengangguk sembari mencoba mengalirkan energi positif dirinya kepada gadis itu. Batinnya ikut sesak mengingat sesuatu mengikat antara dia dan Mina. Namun, entahlah, sisi lain dirinya bahkan masih menolak hal tersebut. Tentang tanda yang ada di leher Mina akibat gigitan Aul lain yang bukan dirinya dan tentu saja itu makin membuat pikirannya semrawut.
Tenanglah, Mina. Aku di sini. Di sisimu.
***