Chapter 9 - The Dark Forest

Hutan yang dilewati Mina dan Agha seolah tak berujung. Sangat gelap, tidak ada penerangan selain sorot rembulan yang hanya tipis merasuk melalui celah pepohonan. Bau lumut dan tanah basah juga makin menambah kesan jika tempat ini tidak pernah terjamah oleh siapa pun.

Mina mengeratkan jaketnya. Dingin mulai menguasainya, sementara ia hanya menggunakan celana pendek saat berangkat tadi. Dia melihat pemuda di sampingnya yang juga melakukan hal yang sama. Mata hazelnya terlihat sedikit bercahaya.

"Dari mana kau menemukan tempat ini?" tanya Mina memecah kesunyian.

Agha menghela napas. "Salah satu pengawalku," jawabnya. "Sebelum akhirnya dia dipecat Ayah karena diduga berkhianat."

"Diduga berkhianat?"

Pemuda itu mengangguk. "Sebenarnya, Ayah telah menutup sempurna lubang tadi. Tapi, sepertinya dia lupa kalau aku itu anaknya. Aku punya kemampuan yang diturunkan darinya, jadi otomatis aku bisa membuka lubang itu," paparnya.

"Memangnya, Aul seperti kalian punya kemampuan apa saja?" Mina menatap Agha yang terus fokus menatap ke depan. Dia sendiri sambil mengingat-ingat tentang cerita fantasi yang sering dibacanya di rumah kakek-neneknya di Den Haag. "Aku pernah membaca cerita tentang manusia serigala. Di tempat kami itu disebut Werewolf. Mereka juga punya banyak kemampuan yang tidak dimiliki manusia."

Agha menoleh, menatap gadis di sampingnya. "Werewolf? Mungkin itu nama lain dari Aul?"

Mina mengendik. "Mungkin saja." Dia terdiam sejenak. "Tentang mate—"

"Jangan pedulikan!" Agha menyahut cepat. "Aku tahu mereka telah menandaimu, tapi bukan berarti seenak jidanya mereka merebut mate-ku!"

"Apa maksudmu?"

Pemuda itu lantas menghentikan langkahnya. Keningnya mengerut. "Kau tidak tahu soal mate?"

Mina tersenyum kuda. Tentu saja, gadis seperti mana tahu soal pasangan, apalagi perasaan cinta. Dia hanya gadis polos yang hanya pergi liburan sekolah di Buitenzorg.

Agha menghela napas. "Mate adalah pasangan bagi para Aul. Jika mereka telah menemukan pasangannya, lalu memberi pasangannya tanda, maka kekuatan yang mereka miliki bisa meningkat secara pesat. Tapi, bukan berarti mate bisa ditemukan dan ditandai dengan mudah. Enak saja!"

"Maksudmu …." Mina menyentuh bekas luka di lehernya yang masih diperban. "Apa ini juga tanda yang kau maksud?"

Pemuda di depannya terdiam dengan sorot mata penuh arti. "Mungkin itu ancaman," katanya.

"Apa bedanya?"

Agha mengendik. Dia tidak ingin menjawabnya sekarang dan Mina tahu hal itu. Gadis itu terdiam seribu bahasa. Sampai akhirnya, secercah cahaya mengurai keheningan. Mata cokelatnya membinar. Satu tangannya menepuk lengan Agha.

"Lihat!"

Pemuda itu mendongak. Senyuman terukir di sudut bibirnya. "Ayo, sebentar lagi kita keluar dari sini."

Kedua remaja itu bergegas menuju asalnya cahaya. Sekian menit kemudian, mereka berhasil keluar dari hutan dan mendapati sebuah padang rumput luas. Banyak hewan buas tengah berburu dan sebagian yang lain sedang bermigrasi ke suatu tempat. Merasa ada keanehan, Mina tiba-tiba bergumam.

"Tunggu," ucapnya, menghentikan langkah Agha. "Jawab pertanyaanku, kenapa waktu di sini tidak pernah sinkron antara wilayah satu dengan yang lain? Aku datang kemari pada saat matahari terbit dan aku berjalan sampai akhirnya dikejar oleh serigala hingga petang. Kita berdua berangkat dari mansion sekitar tengah malam, lalu di sini … kenapa di sini panas terik begini? Apa Medea punya banyak matahari, huh?"

Agha terdiam mencermati setiap pertanyaan yang dilontarkan gadis itu. "Paradoks Waktu," ucapnya.

"Hah?" Mina mengernyit. "Apa itu?"

"Banyak lipatan waktu yang tidak bisa kita sinkronkan di Medea. Bisa jadi, di titik ini kita menikmati siang, tapi bisa jadi sepuluh meter di depan kita adalah malam. Bisa saja kita berpikir di sini malam, tapi di depan sana siang. Pertentangan antar perubahan waktu yang tak menentu dan tidak bisa ditebak, padahal sebenarnya semuanya sama saja disebut Paradoks Waktu."

Mina meletakkan telunjuk di dagunya dan menatap pemuda di sampingnya.

"Bisa saja kau menganggap pendapatku bertentangan dengan pendapatmu, tapi sebenarnya pendapat kita itu sama saja benarnya. Itu juga disebut paradoks," lanjut Agha.

Gadis itu masih terdiam, membuat pemuda di depannya menelengkan kepala.

"Aku pikir aku tidak pintar sepertimu."

Ucapan Mina sontak membuat Agha tergelak. Pemuda itu sampai memegangi perutnya karena tak bisa menahan tawa.

"Nanti kau juga paham kok," ucapnya kemudian.

Mina mengangguk. Kemudian, dia mengedarkan pandangan. "Jadi, kita ke mana?"

Agha turut memperluas jangkauan pandangannya. "Kalau berjalan kaki akan memakan waktu lama," ucapnya.

"Memang kita mau ke mana?" tanya Mina lagi.

"Utara," jawab Agha. "Ke markas Klan Shankara."

Manik keduanya bertemu. Tanpa aba-aba, Agha bergegas menarik dagu Mina, memotong jarak di antara mereka, sampai mempertemukan ranum keduanya. Selama beberapa detik, bibir mereka saling melumat satu sama lain. Seolah diliputi kehausan akan nafsu, Agha membiarkan miliknya mencicipi ranum merah Mina yang memang sejak semalam ingin dilumatnya. Dia tidak peduli jika saja ada seseorang yang melihat mereka di sana detik ini.

Sampai akhirnya, Agha melepaskannya, membuat jarak kembali di antara mereka. Pemuda itu menatap kepolosan di wajah Mina.

"Dengan begini, kita bisa tetap berkomunikasi jika aku dalam wujud serigala," ucapnya kemudian.

Mina masih terdiam, bahkan saat pemuda berambut putih itu mengubah dirinya menjadi serigala putih setinggi delapan kaki. Anehnya, baju yang dikenakannya turut berubah menjadi bulu-bulu putih halus, kecuali ransel yang terjatuh di bawah kakinya.

"Naiklah," pinta Agha hingga membuat gadis di dekatnya itu tersentak. Ia terkekeh. "Aku kan sudah bilang tadi."

Mina mengerjapkan matanya dan mengambil ransel Agha sebelum akhirnya naik ke punggung serigala putih itu. Jemarinya menyisir helaian bulu Agha yang sangat halus sampai membuat serigala itu sedikit menggeliat saat dirinya menyentuh tengkuknya.

"Pegang yang lain, jangan yang situ," ucapnya membuat Mina tergelitik.

"Maaf."

Setelah Mina menempati posisi yang nyaman, Agha segera berlari menuju utara. Menembus padang rumput dengan hewan-hewan buas yang bisa saja mengancam nyawa mereka. Namun, dengan perubahan Agha, Mina bisa terselamatkan. Serigala putih itu berlari sangat kencang dan ukurannya juga lebih besar dari singa di sana.

Dalam pikirannya, Mina hanya mengingat Abbe saat itu. Dia sangat mencemaskan kondisi sang kakak. Takut jika Abbe dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggu jawab di sana, terlebih Mina sendirilah yang mengajak kakaknya itu untuk masuk ke dunia yang asing ini. Dia mendengkus, menyadari semua ini adalah kesalahannya.

"Abbe, tunggu aku!"

***