Mata cokelat itu terbuka perlahan. Lenguhan napas berat lolos sekejap dari mulutnya. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekitar, tidak mendapati apa pun kecuali besi-besi vertikal yang mengunci dirinya di ruangan yang bahkan luasnya lebih sempit dari kamarnya.
Abbe van Chastelein, tidak pernah tahu apa yang dirinya lakukan di tempat ini. Kepalanya terasa pusing saat dia mencoba bangun. Manik cokelatnya hanya mampu menangkap sorot temaram yang menembus celah kecil di atas kepalanya. Terlihat seperti jendela yang sengaja ditutup rapat.
Dia mencoba bangkit dengan tangannya yang bersandar pada dinding dan merambat pelan. Celah itu cukup tinggi. Mestinya harus ada Mina yang naik ke pundaknya, barulah dia bisa mencapainya. Namun, adiknya itu tidak ada di sini sekarang. Hanya dirinya sendiri.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya bermonolog. "Ini di mana?"
Abbe beralih merambat menuju barisan besi vertikal. Penjara yang amat sunyi tanpa satu pun penerangan. Tangannya memegang salah satu besi, merasakan dingin yang menjalar ke pori-pori kulitnya. Netranya menyebarkan pandangan ke luar penjara. Dia tidak bisa melihat apa pun.
"Aku di mana?"
***
Mina menatap langit. Matahari mulai tenggelam, sementara jauh di belakangnya langit tampak cerah. Dia tidak habis pikir dengan kondisi waktu di tempat ini. Sangat aneh seolah tidak ada yang mengatur antara gelap dan terang.
"Kenapa?" Agha yang sejak tadi fokus berlari bertanya karena mendapati posisi duduk Mina yang berubah.
Gadis itu menggeleng. "Tidak. Bukan apa-apa."
Agha kembali fokus ke depan. "Kalau kau lelah, bicaralah!"
"Harusnya kau yang kelelahan 'kan?" balas Mina sambil merundukkan tubuhnya.
Serigala putih itu terkekeh. "Bagaimana bisa aku kelelahan ketika ada gadis cantik menunggangiku?"
Wajah Mina bersemu merah sekejap. Satu tangannya menggelitiki tengkuk Agha hingga serigala itu menggeliatkan lehernya.
"Kubilang jangan sentuh bagian itu, Mina!" ucap pemuda itu sedikit berseru.
Mina tertawa. "Memang kenapa?"—Pemuda itu terdiam—"Kenapa?"
"Aish. Kau ingin kumakan sekarang, huh?"
"Kau lapar?"
Agha menggeleng. "Tidak. Tidak jadi!"
"Kalau lapar mari kita berhenti!"
"Tidak!"
Agha menghela napas panjang di sela-sela berlarinya. Ia menggeleng. Mina benar-benar tidak mengerti maksud perkataannya. Gadis itu terlalu polos untuk dia nodai sekarang. Sial sekali.
Sayup-sayup, terlihat kerlip putih di kejauhan. Mina memfokuskan pandangan, berharap jika cahaya itu berasal dari rumah penduduk atau sejenisnya. Setidaknya, mereka berdua bisa beristirahat malam ini.
"Kita ke sana bagaimana?" tanya Mina sambil menunjuk ke arah cahaya yang dilihatnya.
Serigala putih itu terdiam. "Mungkin kita bisa ke sana. Tapi …." Dia menggantung ucapannya, membuat penunggangnya penasaran. "Biarkan aku yang menengoknya dahulu."
"Memang kenapa?"
"Tempat asing, kau tahu? Kita tidak bisa seenaknya masuk ke sana bahkan jika kita tak membawa izin," ujar Agha.
Mina mengangguk mengerti. "Baiklah," katanya. "Turunkan aku di dekat sana."
Agha tidak menimpali. Dia memacu langkahnya lebih cepat mendekati wilayah tersebut.
Sekian menit kemudian, keduanya sampai di tepi hutan yang mengelilingi area yang lebih mirip desa tersebut. Pepohonan cukup tinggi, sangat bisa digunakan untuk bertengger dari musuh yang mengincar dari bawah. Agha mendongak sejenak dan berpikir, berharap jika bukan sekelompok ras yang bisa mengancam nyawa mereka yang menempati wilayah ini.
Dia menurunkan Mina di dekat salah satu pohon yang lumayan besar. Sekitar delapan meter ukuran diameternya. Cukup besar jika digunakan sebagai tempat sarang makhluk seukuran burung unta terbang menurutnya.
"Tunggulah di sini dan jangan ke mana-mana sampai aku kembali," ucap Agha.
Mina tampak mengangguk sebelum akhirnya pemuda yang masih berwujud serigala putih itu meninggalkannya di sana. Gadis itu menaruh tasnya dan mengeluarkan sebotol air minum. Perjalanan mereka cukup panjang dan sejak tadi dia hanya bisa minum dari botol yang dibawanya yang kini tinggal tersisa setengah isinya.
Sesekali matanya mengedarkan pandangan, menatap hutan dengan pepohonan menjulang itu. Sinar sang dewi malam hanya sedikit yang bisa masuk melalui celah dari ranting di puncak pepohonan tersebut. Di dunia manusia, Mina tidak pernah melihat jenis pohon ini sebelumnya. Diameternya yang serupa dengan pohon Oak, tetapi batangnya berwarna putih seputih salju.
Dia mencoba menyalakan senter yang dibawanya—pada level nyala paling redup. Daun-daun pohon yang berguguran berwarna merah, lebih merah dari daun Maple dan berbentuk dua jari. Mina mencoba untuk mengarahkan sinar senter ke atas pepohonan demi melihat warna asli daun pohon tersebut. Namun, baru saja dia meminadahkan level pencahayaan senternya, sinar lampu itu menyorot sesuatu di puncak pohon. Makhluk bermata merah yang tidak jelas rupanya.
Mina terkejut, ditambah pula makhluk bersayap itu menukik ke arahnya. Dia bergegas menyambar tas dan langsung berlari secepat mungkin. Nahas, makhluk itu berhasil mencengkeram jaketnya dan membawanya terbang.
"Agha!"
***
Agha mengubah dirinya menjadi wujud manusia kembali. Tudung jaketnya ditangkupkan menutupi kepalanya. Mata hazelnya menyipit, fokus memandang desa dengan penerangan berwarna putih tersebut. Namun, anehnya, rumah-rumah di sana tidak hanya berada di permukaan tanah saja, tapi juga di atas pohon. Hal ini tentu saja menambah kecurigaan pemuda tersebut. Dugaannya mungkin benar.
"Manusia," bisik pemuda itu dengan tatapan tajamnya.
Namun, belum sempat dia melangkah, sebuah teriakan merasuk indera pendengarannya. Pemuda itu menoleh ke asal suara dan dia tahu benar pemiliknya. Dia hendak berbalik, tapi suara dari desa yang akan disambanginya menambah kekacauan pikirannya.
Orang-orang mendengar teriakan tersebut. Mereka berteriak satu sama lain dan memunculkan keributan. Beberapa makhluk keluar dari rumah pohon. Agha melihatnya. Makhluk itu berbeda dari penghuni yang menempati rumah di permukaan tanah. Mereka bersayap.
"Agha!"
Teriakan yang sama kembali menggema.
Agha buru-buru mengubah wujudnya menjadi serigala putih. Namun, sepertinya itu bukanlah keputusan terbaik, sebab salah satu penduduk melihat dan mengetahui keberadaannya.
"Ada serigala!" teriaknya menarik perhatian penduduk lain.
Pemuda itu menoleh, mendapati orang-orang mulai mengejarnya dengan membawa senjata. Dia berdecak kasar.
Sial! Aku tak mungkin berada di sini terus!
Mina dalam bahaya!
Dia berlari, memacu keempat tungkainya melangkah menjauhi rumah-rumah penduduk tersebut.
***