Mata cokelat itu terbuka perlahan. Mengedarkan pandangan ke kanan-kiri, lalu ke segala arah. Sepersekian menit kemudian, sang pemilik berjingkat, bangun dari ketidaksadarannya. Mina menatap orang-orang di sekelilingnya. Dia mulai resah.
"Abbe. Di mana?" tanyanya.
Seorang pemuda mendekati dan memeluknya. Mata hazel pemuda itu menatap tajam pada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Tangannya mengusap punggung Mina saat gadis itu mulai menangis.
"Seseorang pasti berkhianat pada kita!" Suara Madhava terdengar berat. Tangannya mengepal erat. "Tuan, aku telah mengirimkan beberapa orang untuk mengikuti jejak Abbe. Kemungkinan besok informasinya baru kita terima."
Arsen Kalangga mengangguk. Kedua tangannya masih berlipat di depan dada. Ia terdiam sejak tadi. Maniknya sesekali memandangi putranya yang memeluk gadis asing yang baru dikenalnya kemarin. Ia menghela napas.
"Kita tak bisa membiarkan dia tetap di sini," ucapnya, menarik atensi seluruh penghuni ruangan itu, termasuk sang putra.
Agha melempar pandangan pada ayahnya. Dia menggeleng. "Apa maksud Ayah?"
Arsen menaikkan satu alisnya. "Apa maksud Ayah? Apa maksudmu bertanya seperti itu, huh?"
Pemuda bermanik hazel itu melepaskan pelukannya pada Mina, lalu bangkit. "Ayah memintaku untuk melepas Mina? Atas semua ini?"
Seluruh penghuni ruangan menatap ke arah ayah dan anak itu.
Agha menggeleng. "Tidak," katanya. "Aku tidak akan melepaskan mate-ku begitu saja."
Isakan Mina terhenti sekejap. Ia mendongak, menatap Agha dengan penuh tanda tanya. Raut wajah pemuda di dekatnya itu menatap sang ayah penuh keseriusan. Dirinya sendiri bahkan tak tahu apa itu mate. Dia baru semalam di tempat ini dan sudah dihadapkan dengan masalah yang dia tak mengerti.
"Agha." Arsen menatap lurus ke arah sang anak tanpa berkedip.
"Kenapa? Ayah bilang aku bisa memilih jalanku sendiri ketika umurku dua puluh tahun," ucap Agha. "Aku sudah dua puluh di tahun ini."
Madhava maju selangkah. Ia menatap pemuda bermanik hazel itu. "Tuan muda, maaf jika saya mengin—"
"Aku tidak terima interupsi," potong Agha cepat.
Pemuda itu meraih tangan Mina hingga gadis itu bangkit dari posisinya, lalu menariknya ke luar ruangan.
"Tuan muda!" Madhava berseru dan hendak menghadang langkah putra tuannya itu. Namun, satu tangan Arsen yang terangkat membuatnya urung.
***
"Agha!" Mina mencoba memanggil pemuda yang sejak lima menit yang lalu menarik dirinya ke luar mansion. "Agha!"
Langkah Tuan Muda Kalangga itu akhirnya berhenti tepat di taman belakang mansion. Napasnya memburu dengan degub jantungnya yang cepat. Mina mendekatinya, mengusap pundaknya pelan.
Agha menoleh, mendapati bekas kemerahan di bagian lengan Mina yang digenggamnya. Dia melepaskannya pelan.
"Maaf," lirihnya. "Aku tak bermaksud untuk—"
"Tak apa," sela Mina. "Tapi, ayahmu ada benarnya."
Agha menatap Mina hingga keduanya bersemuka.
"Seharusnya, aku memang tidak di sini," ucap gadis itu. "Seandainya aku tidak mengajak Abbe kemarin malam, pasti kami tidak akan terjebak di sini."
Pemuda berambut putih itu menghela napas. "Ini semua bukan salahmu, Mina."
Gadis bernama lengkap Mina van Chastelein itu menggeleng. "Aku mengkhawatirkan Abbe," lirihnya.
Agha mengusap kepala Mina pelan, lalu mendaratkan tangannya di pundak gadis tersebut. "Kita cari bersama-sama," ucapnya. "Bagaimana?"
Mina mendongak sekejap. "M-maksudmu?"
"Ayah pasti takkan diam saja meski gelagatnya seolah tak peduli begitu. Tapi, kita juga harus berusaha mencari sendiri," ujar Agha. "Entah ada pemberontak atau tidak, setidaknya kita berusaha mencari Abbe."
"Maksudmu kita keluar dari wilayah ini? Bagaimana jika musuh kalian seperti Shankara menyerang kita?" Berondong Mina dengan nada meninggi.
"Sst!"
Manik Agha mengedarkan pandangan ke segala arah. "Aku tahu caranya," ucapnya. "Nanti malam kita akan laksanakan cara kita."
***
Bulan sabit bersinar terang terhalang serabut awan hitam di langit. Malam ini, suhu sangat panas, berbeda dengan Buitenzorg atau Den Haag. Mina sampai melepas baju terusannya dan menggantinya dengan kaus biasa beserta celana pendek di atas lutut. Gadis itu mengintip dari balik jendela, memastikan anak buah Arsen masih berada di tugasnya masing-masing. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarnya sampai sebuah kepala menyembul dari baliknya.
Mina memelotot ke arah pintu. Mendapati Agha memberinya isyarat untuk bersiap. Gadis itu segera menyambar ransel yang sudah dipersiapkannya. Dia keluar kamar sembari mengenakan jaket.
"Kau baik-baik saja mengenakannya?" tanya Agha sambil mengamati Mina dari atas sampai bawah, lalu sebaliknya.
"Kau sendiri? Nyaman pakai itu?"
Mina turut memandangi pemuda di depannya yang sudah siap dengan kaus di balik jaket beserta celana pendek. Gadis itu tertawa, meledek Tuan Muda Kalangga yang penampilannya berubah drastis.
Agha menghela napas. "Aku biasa memakainya kok!"
Pemuda itu mencubit gemas pipi gadis di depannya sejenak, lalu menggandeng tangannya. Menuntun Mina ke luar dari mansion besar milik sang ayah.
Mata hazel Agha tampak berkilat ketika sinar Luna menyorotnya. Dia tampak fokus memperhatikan gerak-gerik anak buah sang ayah yang berkali-kali hampir mengetahui keberadaan mereka berdua. Agha sampai harus memeluk Mina agar gadis itu tak berkutik saat beberapa penjaga melewati koridor. Tentu saja, hal itu menjadi kesempatan dirinya juga yang memang memiliki kemampuan kamuflase yang diturunkan dari sang ibu yang sudah meninggal dunia.
"Mau sampai kapan kau begini?" bisik Mina. Dia mendongak sampai wajah keduanya hanya tersisa jarak beberapa sentimeter saja.
Agha menatap lekat gadis itu. Napas Mina yang hangat dapat dirasakannya. "Sampai kapan pun kau mau," ucapnya.
Mina sontak melepaskan diri dari pelukan Agha saat penjaga telah melewati mereka. Pemuda itu memelototinya.
"Sakit tahu!"
Gadis itu mencebik. "Dasar lemah!"
Agha menyeringai dan menelengkan kepalanya. "Kau mau kumakan, huh?"
"Apa maksudmu?"
Pemuda itu lantas terdiam. Berpikir jika sepertinya Mina tak mengerti bahasa isyarat darinya. Dia menggeleng. "Tidak. Lupakan."
Agha lantas berjalan meninggalkan Mina, melangkah menuju ujung koridor yang menghubungkan dengan pintu rahasia di halaman belakang mansion. Keduanya melewati sebuah pagar rumput di samping labirin—yang lebih mirip semak. Agha menajamkan kuku-kuku jemarinya, lalu menyingkirkan semak yang menutupi sebuah pintu. Mina mengernyit melihatnya.
"Ada pintu rahasia?" tanya gadis itu sedikit berbisik.
"Kusebut ini lubang tikus," jawab Agha enteng yang membuat Mina refleks menahan tawa.
Sekian menit kemudian, sebuah lubang berdiameter 50 sentimeter terlihat dengan jelas. Agha meminta Mina untuk masuk terlebih dahulu, disusul dirinya. Sebelum benar-benar masuk lubang sepenuhnya, Agha kembali mengedarkan pandangan. Setelah diyakini tidak ada siapa pun di sekitarnya, dia menutup lubang itu kembali dengan semak belukar tadi.
"Gelap! Aku tak bisa melihat!" seru Mina.
"Sst! Bisa lirihkan suaramu? Seseorang bisa mendengar nanti!"
Mina menoleh. "Oke, baik. Lalu, bagaimana caranya aku berjalan?"
"Begini."
Mina merasa Agha menarik pinggangnya mendekati tubuh pemuda tersebut. Mereka sangat dekat dan Mina sampai bisa mendengar degub jantung Agha kini. Sialnya, hal itu malah membuatnya tersenyum dengan wajah bersemu merah meski sebenarnya dia tidak mengerti dengan perasaannya kini.
"Jangan jauh-jauh dariku," bisik pemilik mata hazel tersebut.
Mina mengangguk, makin mengeratkan rangkulan tangannya pada tubuh Agha.
***