Mina sontak menarik lengan Abbe agar lebih dekat dengannya. Mereka menatap pria berambut putih itu tanpa sekalipun berkedip. Sementara itu, pemuda yang sejak tadi berdiri di sebelah si pria menginterupsi.
"A-ayah. Sebaiknya kita persilakan mereka masuk terlebih dahulu," ucapnya.
Pria itu mengelus jenggotnya yang panjangnya sekitar lima sentimeter. "Kau yakin mereka tidak membawa sesuatu dari Klan Shankara?" tanyanya memicing.
Pemuda itu terdiam.
"Agha!"
Seruan itu membuat pemuda berambut putih cepak tersentak. Ia mengangguk, "Aku sudah mengeceknya. Mereka tidak membawa apa pun," timpalnya.
Si pria menghela napas. "Kalau begitu, bawa mereka masuk."
***
Sebenarnya, bukan ini kemauan Mina dan Abbe. Mereka hanya berharap langsung dipulangkan ke villa di Buitenzorg, bukannya malah masuk ke mansion putih milik orang asing, lalu duduk di kasur kamar. Banyak pelayan perempuan yang melayani mereka untuk berganti pakaian segala macam. Sampai akhirnya, seseorang masuk ke kamar dan menarik perhatian kakak-beradik itu.
"Madhava!" seru Mina.
Pria itu tersenyum menimpali. "Aku senang kalian baik-baik saja," katanya.
"Memang kenapa?" Abbe bangkit dari kasur, melempar raut wajah penasaran pada pria gondrong tersebut.
"Terlalu banyak persaingan di sini," ucap Madhava. "Sejak terjadinya perang saudara, Lord makin memperketat penjagaan, termasuk mengurangi penduduk yang masuk ke wilayah kami."
"Perang … saudara?" Mina menyahut. Baju terusan berwarna hitam dengan aksen putih itu tampak manis dipakainya.
Madhava mengangguk. "Perebutan kekuasaan antar Alpha dari kakak-beradik Kalangga dan Shankara."
Pria itu duduk di kasur, diikuti oleh Abbe dan Mina di sebelahnya.
"Setelah ayah mereka meninggal, kekuasaan wilayah tidak dipegang oleh siapa pun. Awalnya, sang kakak—Kalangga—memutuskan untuk menggantikan kedudukan sang ayah. Namun, ternyata adiknya—Shankara—merasa iri. Dia memutuskan segala cara untuk merebut apa pun yang kakaknya miliki … dan itu berlangsung sampai ke generasi berikut, sampai sekarang," papar Madhava.
Mina meneguk saliva. Ia terdiam memikirkan sesuatu. "Lalu, bagaimana kelanjutannya?"
"Akhirnya Kalangga memutuskan untuk mengalah dan membangun peradaban Aul di sini dengan menggunakan namanya sebagai nama klan. Sementara itu, Shankara menguasai wilayah milik sang ayah meski pada akhirnya, tetap saja, klan mereka masih mengincar kelemahan klan Kalangga."
"Aul, ya?" gumam Abbe seolah teringat sesuatu.
"Aul. Manusia serigala," timpal Madhava, membuat pemuda di kirinya mengangguk.
"Aku pernah membaca soal makhluk mitologi khas Hindia Belanda itu di perpustakaan Ayah—"
"Di villa?" sela Mina.
Abbe menggeleng. "Bukan. Tapi di rumah kita yang ada di Batavia," jawab pemuda 16 tahun itu, ditimpali anggukan oleh sang adik.
"Apa kalian bilang? Hin … dia?" Madhava menyahut. "Aku tidak pernah mendengar wilayah itu sebelumnya."
Mina dan Abbe terdiam. Sepasang mata cokelat mereka yang saling bersitatap seolah menyampaikan sesuatu.
"Kami adalah manusia. Bumi adalah tempat tinggal kami," ujar Mina. "Dan Hindia Belanda adalah rumah kami."
"Sebenarnya, ada banyak wilayah di dunia manusia. Hanya saja, kami tidak terlalu mengingatnya," sambung Abbe.
Madhava mengangguk. "Aku pikir, dunia manusia itu tidak ada," katanya. "Apa dunia kalian sama seperti dunia kami?"
Abbe terdiam. "Mungkin sama. Tapi, mungkin juga berbeda."
Pria itu lantas bangkit dari posisinya. "Aku harus bertugas sekarang," katanya. "Kalau kalian butuh sesuatu, panggil saja pelayan."
Kakak beradik itu lantas mengangguk, sebelum akhirnya Madhava meninggalkan keduanya di kamar. Namun, tiba-tiba saja Abbe menepuk jidat. Membuat sang adik menatapnya dengan beribu pertanyaan.
"Apa?" tanya Mina.
"Kau … kenapa tidak tanya kita ada di mana sekarang?"
"Kita ada di wilayah Aul 'kan?"
Abbe berdecak. "Bukan itu maksudku. Tapi, namanya. Nama wilayah."
Mina melongo. Matanya membola. Ia sontak bangkit dari kasur dan menunjuk sang kakak. "Kau bodoh sekali! Kenapa tidak tanya tadi?!"
"Kau juga bodoh! Kenapa kau diam saja, huh?"
"Sial!"
Mina berdecak kasar. Ia lantas meninggalkan sang kakak yang sibuk merutuki diri karena kebodohannya sendiri.
***
Gadis 14 tahun itu berjalan tergesa-gesa. Dadanya bergemuruh. Ia berkali-kali merutuki tingkah sang kakak yang terlalu kekanakan. Usia 16 tahun dan Abbe masih saja suka menyalahkan dirinya yang lebih muda dari dia. Sial sekali hidup Mina dan kenapa pula dia harus jadi adik dari pemuda bernama Abbe van Chastelein.
Langkahnya yang cepat membuat dirinya tak menyadari seseorang yang tengah berjalan dengan setumpuk dokumen yang dibawanya. Tabrakan tak terhindarkan.
BRUK!
"Aish …."
Pemuda yang ditabrak Mina pun terkejut. Ia berlutut, mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Kau tak apa?"
Mina yang masih meringis kesakitan lantas terdiam. Ia mendongakkan pandangan menatap pemuda berambut putih cepak yang berlutut di depannya. Mina tercenung, menatap betapa tampannya pemuda yang tadi berdiri di samping Lord saat dirinya datang. Sekejap kemudian, lamunannya terurai tatkala menyadari kertas-kertas berserakan di sekitar mereka.
"Ah, ya ampun! Aku minta maaf!" serunya sembari membereskan dokumen-dokumen tersebut.
Pemuda yang tadinya mengulurkan tangan lantas urung. "Tak apa," katanya. "Ini cuma dokumen."
"Bagaimana bisa? Aku menabrakmu, aku harus bertanggungjawab mengumpulkannya!"
"Ah, tidak usah! Bia raku saja!"
Mina sontak mengangkat satu tangannya, membuat pemuda itu langsung terdiam. "Sudah, biar aku saja. Oke?"
Pemuda itu mengangguk. Ia memperhatikan gadis di depannya merapikan kertas-kertas tadi. Sampai akhirnya, dokumen yang sudah kembali bertumpuk itu diberikan padanya.
"Terima kasih," ucapnya.
"Sama-sama."
"Ngomong-ngomong, kau mau ke mana?" tanya pemuda itu.
Mina mendengkus. "Menjauh dari Abbe."
Pemuda itu mengernyit, kemudian tertawa kecil. "Siapa dia?"
"Kakakku," ucap Mina cepat. "Pemuda TK yang kau lihat berdiri di sebelahku tadi."
Gelak tawa tercipta dari mulut pemuda di depan Mina. "Ya ampun." Ia kembali menatap gadis tersebut. "Mau ikut aku? Aku bisa mengajakmu berkeliling mansion kalau kau mau."
Wajah Mina membinar sekejap. Ia mengangguk cepat.
"Mari. Ikut aku menyerahkan dokumen ini dulu."
***
Mansion putih itu tampak megah jika dibandingkan rumah lain di sekitarnya. Terdapat banyak sekali koridor dan ruangan di sana. Beberapa pigura berisi foto dan lukisan yang dipajang sedemikian rupa hingga koridor dengan lantai yang diselimuti karpet putih itu tampak estetis.
Mina tak bosan melepaskan pandangannya sejak tadi. Terlebih saat keduanya sampai di depan sebuah ruangan.
"Aku masuk dulu. Kau tunggu di sini, ya," ucap pemuda tadi.
Mina mengangguk. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding dengan mata mengedarkan pandangan. Seluruh foto dan lukisan mengingatkannya dengan rumah kakek dan neneknya di Den Haag. Hampir sama meski rumah mereka tidak sebesar mansion ini.
Pemuda berambut cepak tadi keluar beberapa menit kemudian. Ia tersenyum pada Mina, lantas mengajak untuk melanjutkan perjalanan.
"Oiya, tadi … namamu siapa?" tanya Mina memecah keheningan.
"Agha," jawab pemuda tersebut. "Agha Kalangga."
Mina lantas mengulurkan tangan kanannya pada pemuda itu.
"Mina. Mina van Chastelein."
***