Chapter 5 - Running from Wolves

Serigala itu membawa Mina dan Abbe menembus hutan. Ranting dan belukar sempat menyambar dan melukai lengan Abbe yang melindungi tubuh sang adik. Sementara itu, lima serigala masih mengejar di belakang mereka—sekitar sepuluh meter.

"Berapa lama lagi?" tanya Mina.

"Mana kutahu!" Abbe membalas dengan kepalanya yang menoleh ke belakang. Sedetik kemudian, ia meringis gidik.

"Sebentar lagi kita sampai."

Tiba-tiba saja serigala yang mereka naiki berucap, membuat dua remaja di punggungnya tersentak. Ia masih berlari, padahal seluruh tubuhnya sudah dipenuhi luka.

Abbe menggeleng. "Isaak pasti akan memarahi kita jika kita pulang nanti," katanya.

"Jangan cengeng!" tukas sang adik.

"Kau sendiri ketakutan 'kan?!"

Mina terdiam. Ia tak menampik gertakan kakaknya barusan. Dirinya juga takut pada gigi-gigi tajam dan kebrutalan para serigala tersebut.

Serigala yang mereka tunggangi membawa keduanya melewati celah sempit di antara tebing bebatuan. Sesekali tubuhnya bergesekan dengan batuan di kanan-kiri tebing yang menjulang setinggi 60 meter tersebut. Sementara itu, kawanan serigala pembunuh yang masih bertenaga melompati bebatuan. Sebagian masih mengejar dengan cepatnya. Sampai akhirnya, sebuah pagar magis berhasil dilewati mereka.

Mata Mina berkilat. Batas yang transparan itu seolah menelan tubuhnya. Rasanya seperti melewati sebuah gelembung kenyal. Sekian detik kemudian, serigala yang ditungganginya berhenti dan berbalik. Mata kuningnya melihat ke arah pagar yang berdebum, menghasilkan spektrum cahaya aneka warna di mana bekas benturan itu berbekas. Ia menghela napas.

"Kalian bisa turun sekarang," perintahnya.

Mina dan Abbe bergegas turun dari punggung serigala itu sebelum akhirnya hewan setinggi delapan kaki itu ambruk. Ia berubah menjadi seorang pria berambut cokelat dengan luka miris di sekujur tubuhnya.

Kakak-beradik itu terkejut bukan main. Mereka mengedarkan pandangan ke segala arah.

"Tunggu di sini," pinta Abbe. "Akan kucari pertolongan."

"J-jangan …."

Pria yang terkapar itu berbicara, menghentikan gerakan Abbe. Mina berlutut, memeriksa keadaannya. Denyut nadinya melemah dan ritme napasnya amat berat. Gadis itu mendongak pada sang kakak yang masih berdiri.

"Aku harus apa?" tanya pemuda tersebut. "Aku akan cari pertolongan di dekat sini supaya kau selamat!"

Pria itu menggeleng. Ia mencoba merengkuh kesadarannya. Satu tangannya terulur ke atas, lantas memunculkan sebuah bola magis berwarna kuning keemasan. Bola itu melayang, lalu memelesat ke suatu arah. Sekali lagi, manik Abbe membola menatap sebuah imajinasi yang tampak nyata di depannya.

"Apa yang bisa kau lakukan dengan bola itu?" tanya Mina.

Ia membiarkan pria itu bersandar pada kedua pahanya. Luka-luka si pria tampak miris terlihat.

"Dia akan menuju klanku," ucap si pria sambil menahan sakit.

Mina dan Abbe mengernyit.

"Klan?" Abbe menyahut.

Pria itu mengangguk. "Sebentar lagi mereka akan datang."

***

Beberapa menit kemudian segerombolan serigala datang. Abbe sontak berdiri tepat di depan Mina yang tengah menjaga si pria. Para serigala itu berubah wujud menjadi manusia; lima pria dan dua wanita. Mereka menghampiri tiga orang tersebut.

"Kai? Itukah kau?" Salah satu wanita mendekat sambil menelisik pria yang masih meringis kesakitan di dekat Mina. Setelah membenarkan dugaannya, wanita itu menutup mulut, lantas menghampiri pria tersebut.

"Kaivan! Ada apa denganmu?" serunya syok. "Madhava, tolong bawa dia kembali!"

Salah satu pria berkumis yang berdiri di gerombolan berjalan mendekati Abbe. Keningnya mengerut. "Kenapa anak-anak manusia seperti kalian bisa ada di sini?"

Abbe dan Mina tersentak. Mereka saling bersitatap.

"Anda tahu … bahwa kami manusia?" tanya Abbe.

Pria berambut gondrong itu mengangguk. "Kami para Aul mampu mendeteksi energi sekitar, termasuk energi kalian yang berbeda dari kami," jawabnya.

"A-aul?" Mina menyahut.

Pria bernama Madhava itu terdiam. Dia menoleh ke arah rombongannya. "Bawa Kaivan kembali!" titahnya. "Katakan pada Lord bahwa barrier pembatas sudah tidak aman lagi."

Para manusia serigala itu mengangguk, lantas menolong Kaivan—pria yang terluka tadi—dan membawanya terlebih dahulu. Sementara itu, Madhava kembali menaruh perhatian pada dua remaja di depannya.

"Kalian ikutlah. Anggap ini rasa terima kasih kami pada kalian," ucapnya.

Abbe lantas mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dada. "Maaf, Tuan. Kami harus segera kembali," ucapnya.

Kening Madhava berkerut. "Kembali? Bagaimana cara kalian kembali?"

Tentu saja ucapan tersebut mengunci mulut Abbe sekejap. Ia menoleh ke arah Mina.

"Sebenarnya kami tersesat, Tuan. Kami ingin pulang, tapi kami tak tahu caranya," ucap gadis itu.

Madhava menghela napas. "Ikutlah denganku. Ada hal yang harus kuberitahukan pada kalian."

Kakak-beradik itu saling bersemuka. Kemudian, mereka mengangguk mengiyakan. Mau bagaimana lagi, mereka bahkan tak tahu caranya kembali ke dunia manusia. Sedangkan dunia yang mereka pijaki sekarang pun mereka tak mengerti.

Akhirnya, mereka naik ke punggung Madhava yang berubah menjadi serigala hitam yang langsung melaju bersama rombongan ke salah satu arah. Menyusuri tebing tinggi tersebut.

Manik Mina dan Abbe membola tatkala rombongan memasuki sebuah pemukiman di tengah padang rumput kering yang cukup luas. Rumah-rumah dengan berbagai model berjejer rapi. Tepat di ujung pemukiman terdapat sebuah rumah yang cukup besar—lebih besar dari yang lain. Rombongan terus berjalan melewati pemukiman hingga sampai ke rumah besar tersebut.

Mereka memutari pelataran kediaman yang terlihat seperti mansion itu, lalu berhenti tepat di depan pintu utamanya. Abbe dan Mina lantas turun dari punggung Madhava sebelum akhirnya serigala itu mengubah wujudnya menjadi manusia seperti yang lain.

Seorang pria berbaju hitam tampak keluar dari rumah tersebut, bersama dengan seorang pemuda. Dia mengamati satu per satu anggota rombongan dan meminta beberapa orang untuk membawa Kaivan ke dalam. Sementara itu, pandangannya kembali mengedar dan berhenti saat ia menatap Mina dan Abbe.

Madhava tampak membungkuk sejenak. "Saya rasa Lord sudah mendapat kabar soal ini sebelumnya," ujarnya. "Barier pembatas sudah tidak aman lagi."

Pria berambut putih itu mengangguk. Matanya masih tertuju pada dua remaja yang menarik perhatiannya. Madhava mengetahuinya. Namun, belum sempat dirinya berbicara, pria itu langsung berucap lantang;

"Siapa kalian?"

***