Kelopak mata Mina terbuka. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru, mendapati sesuatu yang asing di sekitarnya. Kemudian, ia mengernyit. Satu tangannya masih menggenggam erat kemeja sang kakak.
"Di mana kita?" tanyanya lirih.
Sementara itu, Abbe juga masih menelisik sekitar. Berkali-kali ia menelan saliva, berharap kerongkongannya yang tercekat bisa longgar kembali.
"Kalau kau tanya padaku, aku harus tanya pada siapa?" timpalnya.
Sebuah sungai selebar sepuluh meter tampak memanjang tak jauh di depan mereka. Kanan-kirinya berupa hutan yang tidak begitu lebat. Di sebelah timur laut terdapat pegunungan memanjang yang puncaknya sedikit tertutup awan.
Abbe menoleh ke belakang dan tak mendapati apa pun kecuali semak belukar tempat di mana mereka keluar tadi. Dia berjalan kembali, membuka belukar tersebut. Takada lubang dan sejenisnya di sana.
"Lalu, kita keluar darimana tadi?" tanyanya pada Mina.
Gadis 14 tahun itu mengendik. "Lorong waktu?"
"Hah?"
Abbe mengernyit. Dia menepuk kedua tangan, membersihkan pasir dan tanah.
"Ayah tak pernah memberitahukan tempat ini pada kita," katanya.
"Sampai kau ke villa itu?"
Abbe mengangguk. "Aku bahkan tak berani mendekati beringin itu, apalagi Isaak memintaku menjauhinya."
"Wew, plot twist."
Pemuda 16 tahun itu berdecak. "Ini bukan waktunya mendongeng, Putri Kecil," ucapnya lantas memulai perjalanan.
"Hei, aku tidak kecil lagi!"
Mina lantas mengekori sang kakak. "Kau mau ke mana?"
"Ke manapun. Setidaknya aku harus menemukan cara kembali ke villa kita," jawab Abbe. "Aku tak ingin Isaak tahu soal ini, lalu memberitahukannya pada Ayah."
Langkah Mina terhenti. Ia menghela napas, membenarkan ucapan Abbe.
***
Mengikuti arus sungai sebenarnya adalah tujuan kakak-beradik itu. Entah kenapa sungainya begitu panjang dan tanpa ujung. Sebenarnya, kalau mampu, Abbe ingin sekali menyebranginya. Namun, keinginannya itu pupus usai terbayang dalam benaknya jika menyebrangi sungai sama saja dengan memulai masalah baru.
Sandyakala berakhir sekitar sepuluh menit lagi. Namun, Abbe dan Mina sama sekali tak menemukan rumah di hutan itu. Sialnya, mereka juga tidak membawa apa pun saat masuk ke lorong beringin tadi.
"Aku lapar …."
Abbe lantas menghentikan langkah. Ia menoleh ke arah sang adik yang berjalan di belakangnya. Dilihatnya Mina berjalan lunglai. Kepalanya tertunduk.
"Aku juga," katanya kemudian.
"Berapa lama lagi?"
Mina menatap sang kakak dengan raut berkaca-kaca. Sementara itu, Abbe menghela napas. Pandangannya menyebar kea rah langit yang mulai gelap.
"Entahlah," katanya. "Kita saja tidak tahu kapan akan kembali kan?"
Mina mengangguk. Ia kembali melanjutkan langkah—kini di samping Abbe.
Namun, baru saja berpindah beberapa meter, sebuah suara mengejutkan keduanya. Sesuatu tampak menyelinap dari kedalaman hutan dan menuju ke arah mereka. Abbe sontak menarik lengan sang adik dan membawanya bersembunyi di salah satu pohon yang ada di sana.
Mereka mengintip, memastikan sesuatu yang perlahan menyeruak dari balik rerimbun hutan. Sebuah cahaya hitam keunguan tampak berkilat sejenak, lalu menghilang. Sebuah kaki-kaki besar tampak melangkah keluar dari semak dan pepohonan.
Abbe menajamkan penglihatan saat seekor serigala terpental dari sana dan hampir tercebur ke sungai. Disusul beberapa ekor serigala setinggi delapan kaki keluar seutuhnya. Mereka mengaung keras dan panjang seolah memenuhi seisi hutan. Burung-burung terbang, tersibak suara bak sonar tersebut.
Kakak-beradik itu memelotot. Terlebih saat lima ekor serigala itu mencabik-cabik seekor serigala yang terpental lebih dahulu tadi. Cairan merah menodai rerumputan dan air sungai.
"Kau harusnya tahu resikonya jika kau tidak membayarnya untuk kami," ucap salah satu serigala.
"Bunuh saja dia dan larungkan ke sungai," sahut yang lain. "Takkan ada yang tahu jika dia mati mengenaskan di sini."
Abbe dan Mina saling bersemuka. Mereka sama sekali tak tahu ucapan para serigala tersebut. Hewan-hewan itu menggeram dan menggertak, benar-benar seperti sedang berkomunikasi satu sama lain.
Serigala yang sudah terkapar itu hanya bisa melirik pada kawanan kanibal yang mengitarinya. Tubuhnya lemah dengan luka cabikan yang mengeluarkan darah hingga membasahi bulu-bulunya yang kecokelatan. Namun, pandangannya terarah pada semak di mana Abbe dan Mina bersembunyi. Matanya membola sejenak seolah memberi isyarat pada kedua manusia tersebut.
Abbe dan Mina yang mengetahuinya langsung bersitatap. Mina menggeleng. Tangannya menggenggam erat lengan kemeja sang kakak. Abbe kembali melemparkan pandangannya pada serigala tersebut.
Apa yang harus kami lakukan?
Para serigala itu kembali menyiksa si serigala yang terkapar. Sampai di detik di mana tubuh lemahnya hendak ditendang ke sungai, tiba-tiba saja Abbe keluar dari semak.
"Hentikan!"
Kelima serigala itu menoleh, memicing ke arahnya. Kening mereka berkerut. Siapa yang tidak heran jika tiba-tiba saja ada manusia di hutan tersebut?
Abbe sendiri bingung. Tubuhnya tiba-tiba bergerak sendiri. Ia menoleh pada Mina yang juga telah berdiri di belakangnya, lalu kembali memandang para serigala yang lebih tinggi darinya itu. Mereka menggeram ke arahnya.
"T-tolong, hentikan." Abbe berucap dengan mulut bergetar.
"Siapa dia?" tanya salah satu serigala pada yang lain.
"Manusia?"
"Kenapa ada manusia di sini, huh?"
Abbe benar-benar tak mengerti ucapan mereka. Dia hanya mendengar mereka saling menggeram seolah tengah mendiskusikan sesuatu.
Sementara itu, serigala yang terkapar mulai mencoba berdiri saat lima serigala di sekitarnya tertarik pada keberadaan dua manusia tersebut. Mereka berjalan mendekati Abbe dan Mina.
Kakak-beradik itu saling bersitatap, lalu menoleh ke arah lima serigala yang mendekati mereka. Pandangan mereka sejenak tertuju pada serigala yang terkapar tadi. Dia tampak memberi isyarat pada keduanya. Sampai di detik di mana lima serigala itu hanya berjarak lima meter dari posisi Abbe dan Mina, sebuah aungan keras terdengar dari tengah hutan. Perhatian mereka terpecah, membuat sang serigala yang tubuhnya sudah terluka itu berlari, lalu menembus lima serigala tadi dan berhenti di hadapan Abbe dan Mina.
"Cepat naik ke punggungku!"
Entah kenapa dia bisa berbicara. Kakak-beradik yang masih dilanda syok itu tangkas naik ke punggung si serigala sebelum akhirnya serigala tersebut berlari kencang, menjauh dari kawanan serigala pembunuh.
Aungan terdengar bersahut-sahutan. Lima serigala itu cepat menyusul mereka. Sial sekali.
Abbe menggeleng dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan. Ia tak pernah berpikir hidupnya akan seperti ini. Berlari di tengah hutan dan dikejar kawanan serigala.
Ini akan menjadi malam yang panjang ….
***