Gadis itu semakin mendekati celah. Melewati akar-akar pohon yang berukuran lebih besar dari tungkainya dan sampai di titik incaran. Namun, ia berhenti bergerak usai berlutut di dekat celah tersebut.
"Kau tidak bawa penerangan?" tanyanya kemudian.
"Aku tidak sempat membawanya," timpal Abbe.
Mina berdecak. Ia kembali menelisik sesuatu yang aneh di depannya. Tangannya terulur, membersihkan sulur serta lumut dan paku yang menutupi celah tersebut. Sementara itu, sang kakak menoleh ke arah pintu belakang rumah, mengecek sesuatu. Penerangan yang tergantung di dekat pintu itu terlihat bergoyang tersenggol angin malam.
"Kita harus kembali," bisiknya.
Mina tak menoleh, masih sibuk menyingkirkan tumbuhan di sekitar celah. "Kau takut?"
"Hm?"
Abbe menoleh dan mendapati sang adik menatapnya. Manik cokelat mereka bertemu, tersorot remang cahaya luna.
"Sejak kapan kau sepemberani ini?" Abbe menempelkan telapak tangannya ke kening sang adik hingga gadis empat belas tahun itu menyingkirkannya dengan cepat.
"Aku belajar untuk tidak jadi anak perempuan yang merepotkan."
"Ck! Sial!"
Mina tertawa kecil. Ia telah selesai membersihkan rerumpun yang ada di depannya dan memberi isyarat pada Abbe untuk mendekat.
Sebuah pintu kecil terlihat dengan jelas dan tidak begitu rapat hingga memunculkan celah-celah sempit di tepi kolongnya. Bahan kayu yang sejenis dapat menjadi petunjuk jika pintu ini memang sengaja dibuat dari batang pohon beringin itu sendiri. Takada ukiran atau apa pun. Hanya kayu polos yang tampak seperti pintu berbentuk persegi dengan puncaknya berbentuk setengah lingkaran. Makin terlihat jelas tatkala cahaya sang dewi malam tersorot ke arahnya.
Abbe menggeleng sejenak. "Ayah tak memberi tahu soal hal ini," lirihnya.
"Padahal kau duluan yang menginap di sini," timpal Mina.
Pemuda itu mengendikkan bahu. "Aku baru kemarin kemari dan belum sempat berkeliling."
Mina berdecak lirih dengan seutas senyuman nakal di bibirnya. Ia kembali menatap pintu yang masih tertutup itu.
"Tidak ada singa besar di sana, bahkan jika kau berharap ada lelaki dengan topi fedora besarnya berdiri di balik pintu tersebut," celoteh Abbe.
Namun, Mina tak menghiraukan ucapan kakaknya. Ia membuka pintu setinggi lima puluh sentimeter tersebut—cukup kecil dan hanya bisa dimasuki oleh orang yang tidak memiliki badan gempal. Mina membisikkan sesuatu, tapi Abbe sepertinya tidak mendengarkannya. Pemuda itu masih menelisik pintu belakang rumah yang masih terbuka lebar. Mengecek kalau-kalau Isaak atau Ina berdiri di sana dan ia bisa mengatur waktu agar mereka tidak ketahuan tengah meneliti sesuatu di bawah beringin.
"Abbe …!" Mina berseru lirih. Separuh badannya sudah masuk ke lubang. Sialnya, hal itu malah membuat sang kakak memelotot padanya.
"Apa-apaan kau ini …!"
"Ayo masuk!"
Mina mengecek ke belakang dan sesuatu di sekitar lubang berdiameter lima puluh sentimeter itu. Cukup sempit, tapi dia bisa memasukinya dengan mudah. Ia menoleh ke arah Abbe yang menunggunya di depan pintu.
"Ada jalan," bisiknya. "Ikut aku."
Gadis itu menghilang sepersekian menit kemudian. Sementara itu, Abbe kembali memeriksa pintu belakang. Masih takada siapa pun. Ia bergerak pelan, mulai menyusul sang adik. Pintu mungil itu ditutupnya hingga meninggalkan berkas cahaya yang perlahan memudar. Menyisakan keheningan di sekitar beringin tua tersebut.
***
Kakak beradik itu berjalan pelan karena tak membawa penerangan satu pun. Mina berjalan satu langkah di depan dari Abbe yang mengendap di belakangnya. Kegelapan membuat mereka takdapat melihat apa pun di sekitarnya.
Mina memilih mengulurkan dan sedikit menyentuhkan tangannya ke dinding sebelahnya, seraya meraba kalau-kalau ada sesuatu yang aneh di sana. Sementara itu, Abbe masih sesekali menoleh ke belakang. Lagi-lagi memeriksa apakah Isaak dan Ina membuntuti mereka. Namun, yang dia dapat hanya kegelapan tak berujung.
Tiba-tiba langkah gadis empat belas tahun itu berhenti. Puncak kepalanya hampir menyundul dagu Abbe yang hendak menabraknya.
"Kenapa berhenti tiba-tiba?" tanya pemuda tersebut.
Mina terdiam. Membuat Abbe memfokuskan indra pendengarannya. Takada suara apa pun, bahkan embusan angin seolah turut membisu. Pemuda itu lantas bersandar pada dinding sebelah dan tersentak, kembali menegapkan diri.
Tangannya merambati dinding tersebut. "Buku?"
"Kau merasakannya?"
Abbe mengedarkan pandangan ke sana kemari dan kembali menatap ke arah depan.
"Ini benar buku," katanya. "Kita … di perpustakaan?"
Mina mengernyit, memandang sang kakak. "Mungkin," jawabnya.
"Tapi, siapa yang mau menaruh buku-buku di sini, huh?"
Mina mengendikkan bahu, melanjutkan perjalanannya. "Pertanyaannya …."
"Kenapa lorong ini luas sekali." Pertanyaan Abbe bahkan tak terlihat seperti sebuah kalimat tanya—penuh ambiguitas.
"Apa Ayah yang membuatnya?"
"Mana kutahu."
Gadis berambut cokelat itu berdecak lirih. "Pasti bukan Ayah," lanjutnya.
Langkahnya kembali terhenti saat mendapati sesuatu di depannya. Abbe membisu, menunggu Mina mengatakan sesuatu padanya. Mereka justru bersemuka.
"Apa?"
"Apa?" Abbe membalas.
Pemuda itu mengulurkan satu tangannya ke depan Mina, mendapati sebuah dinding. Sangat aneh jika ada sebuah dinding di ujung lorong perpustakaan yang berada di dalam sebuah pohon. Abbe mendengkus kesal, merasa dirinya dikerjai detik ini. Ia beralih maju ke depan sang adik, lalu berusaha mendorong dinding tersebut.
Gagal.
Abbe menaikkan sebelah alisnya pada Mina meski ia tahu ekspresinya sekarang tidak akan terlihat di mata adik kecilnya itu. "Sudah kubilang 'kan, takada apa pun. Takada singa, takada pria bertopi fedora atau kelinci, takada—"
"Sst!"
Mina sontak membekap mulut sang kakak. Memintanya untuk mendengarkan sesuatu. Mata Abbe berputar ke sana kemari dan berhenti menoleh ke sebelah kirinya. Netra cokelatnya itu melebar sejenak sampai akhirnya Mina membuka bekapan tangan di mulutnya.
"Air," bisik pemuda itu, ditimpali anggukan oleh Mina.
Abbe lantas mencari cara lain demi menjebol dinding tersebut. Jika saja dia tidak bisa menjebolnya, minimalkan kalau dirinya bisa menggeser bebatuan simetris bertumpuk horizontal itu. Ia beralih ke sisi lain, memeriksa sudut dinding—dibantu Mina—serta mengetuk-ketuk dinding itu dengan keras. Tidak ada keberhasilan yang pasti.
"Lalu, apa?" Abbe memastikan adiknya tidak mengerjainya kali ini.
Mina mengacungkan telunjuknya—yang sudah pasti tidak bisa dilihat oleh Abbe. "Ditiup?"
"Jangan bodoh, Anak perempuan yang selalu merepotkan …!"
Gadis di depannya mengepalkan tangan dan langsung mengarahkannya kepada Abbe. Pemuda itu berjengit hingga bergeser dan tangannya menekan salah satu batu di dinding tersebut. Manik keduanya melebar. Mina sendiri bergidik dan memilih untuk bersembunyi di balik punggung sang kakak.
"Aku kan sudah bilang tadi, Mina, kalau Isaak sudah memperingatkan kita …."
"Maju …. Di sini sempit!"
Seberkas sinar perlahan menyeruak dan melebar, lalu merambat dan meluas memenuhi lorong perpustakaan itu. Manik Abbe menyipit, lengannya berada di depan pandangannya mencoba menghalau sorot kilau dari sinar putih tersebut. Begitupula Mina yang takberani melihat ke depan. Ia memejamkan mata di balik punggung tegap sang kakak.
Selama sekian menit mereka terdiam. Terkunci dalam balutan kemilau bak sinar sang surya itu. Sampai akhirnya, sinar tersebut meredam. Merambat kembali dalam kegelapan dan menyisakan sesuatu yang asing di hadapan kakak beradik itu.
Abbe membuka manik cokelatnya pelan sambil mengatur ritme napasnya yang sempat tertahan tadi. Pandangannya melebar. Lengannya yang terangkat di depan mukanya tadi langsung turun begitu saja. Ditambah pula mulutnya menganga seolah tengah takjub melihat sesuatu.
"Mina," panggilnya kemudian.
Sang adik tidak berkutik. Merasa ada yang aneh, Abbe menggoyangkan tubuhnya supaya Mina tersadar. Gadis itu mendongak, menunjukkan raut wajah ketakutan dan membuat sang kakak dengan inosennya tertawa keras.
"Diam kau!" gertak Mina takterima. Ia hampir menendang tulang kering Abbe kembali sebelum akhirnya urung karena sesuatu menarik perhatiannya.
"Ini … di mana?"
***