Hari itu langit tampak mendung. Sedikit bagian yang gelap dan terkadang memunculkan suara gemuruh. Jalanan kota masih tampak basah. Ada sedikit celah di mana tikus got bisa menyembulkan kepalanya dari lubang persegi mirip penjara itu, memeriksa apakah hujan masih turun atau tidak. Orang-orang juga ada yang masih melebarkan payung-payung mereka, melewati jalanan di antara bangunan-bangunan putih dengan atap berwarna merah. Seorang gadis berusia sekitar 14 tahun tampak turun dari salah satu kreta. Dengan menenteng sebuah koper jinjing kotak yang tampak berat itu dia menepi, setelah memberikan anggukan samar kepada supir mobil.
Hidungnya memerah, kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Manik cokelatnya mengedarkan pandangan, mendapati tikus-tikus yang terkejut karena kehadirannya di dekat saluran air. Gadis itu lantas tersenyum seraya menggeleng. Ia kembali menikmati suasana Batavia detik itu.
Beberapa menit berlalu, gadis itu menunggu, tapi takada yang menghampirinya. Sementara itu, hujan mulai turun kembali, makin lama makin deras. Sampai akhirnya, sebuah kreta berhenti di depan gadis berambut cokelat itu. Seorang pria berpakaian putih terlihat turun dari sana.
"Mina van Chastelein?" tanyanya.
Gadis itu menelisik wajah si pria sejenak, lantas mengangguk.
"Tuan Chastelein meminta saya untuk menjemput dan mengantar Nona ke villa," katanya.
"Villa?"
Pria itu mengangguk. Ia sedikit mengernyit demi menghalau air hujan yang hendak masuk ke matanya. "Saya Isaak, asisten Tuan Chastelein."
Mina terdiam. Sedikit ragu dengan pria yang tingginya sekitar 175 sentimeter itu.
"Apa benar ayahku memintamu menjemputku?" tanyanya lagi, memastikan kebenaran.
Isaak mengangguk. "Tuan Louis Chastelein. Itu nama ayah Nona, 'kan?"
"Ah."
Mina mengangguk cepat. Dia pikir hanya segelintir orang yang mengenal dan tahu nama asli sang ayah. Sampai kemudian pria jangkung itu menyebutnya dengan lancar.
Sekian detik kemudian, gadis berambut cokelat itu menaiki kreta, disusul Isaak, sebelum akhirnya melaju meninggalkan jalanan kota yang mulai becek terguyur hujan.
Manik Mina mengedarkan pandangan keluar kreta. Kendaraan roda empat yang dinaikinya melewati sederetan bangunan bercat putih sampai akhirnya keluar dari lingkungan tersebut. Mina mendengkus, sesekali menatap koper jinjingnya. Tangannya mengibas sebentar di baju putih yang dikenakannya. Air hujan dapat masuk kapan saja ke sisi penumpang karena hanya ada satu peneduh memanjang dari belakang sampai ke depan—tempat supir—tanpa adanya pelindung jendela. Sementara Mina menikmati perjalanannya yang mulai memasuki hamparan kebun teh, Isaak menatap gadis itu.
"Ini pertama kalinya buat Nona?" tanyanya menarik perhatian gadis di dekatnya.
Mina mengangguk pelan.
"Saya tahu jika Nona dilahirkan di Den Haag dan dibesarkan di sana pula," kata pria berambut hitam tersebut. "Bagaimana keadaan di sana?"
Gadis itu menggumam lirih, "Baik. Semuanya baik," jawabnya.
"Kabar Tuan dan Nyonya—"
"Kakek dan Nenek?" potong Mina, dibalas anggukan oleh Isaak. "Mereka baik-baik saja."
Isaak mengangguk. Sesekali netranya menatap ke luar jendela. "Tuan dan Nyonya Chastelein berada di Oosthaven sekarang untuk mengecek barang di sana. Tuan menitipkan pesan pada saya untuk menjemput Nona hari ini. Kemungkinan, mereka akan kembali besok," ujarnya kemudian.
"Ke Buitenzorg?"
Pria itu mengangguk lagi. Kemeja putihnya terlihat sedikit basah terkena percikan air hujan. Ia terdiam, kembali mengunci suasana.
"Apa … mereka sesibuk itu selama ini?" tanya Mina memecah keheningan dan suara hujan.
Pria di dekatnya itu menoleh, menatap lamat gadis tersebut. "Ada Tuan muda Abbe di villa. Nona takkan kesepian," katanya.
Mina berdecih. Kedua tangannya meremas rok putihnya sejenak, sementara keningnya mengerut. "Aku tidak menyukainya!"
Isaak terkekeh sampai menutup mulutnya dengan lengan. "Benarkah?"
Gadis berambut cokelat itu mengangguk. "Dia selalu mengirimiku surat yang isinya kata-kata kasar dan mengejekku," katanya dengan muka merona. "Dia bilang aku anak perempuan yang merepotkan!"
"Tidak, tidak seperti itu," timpal Isaak. "Tuan muda adalah orang yang baik. Dia akan menjadi kakak yang sempurna untuk Anda, Nona."
"Hm?" Mina menatap Isaak hingga kedua mata mereka bersemuka.
Sementara itu, hujan sudah mulai mereda, memunculkan aroma pentrichor di segala penjuru. Mina mulai mengeratkan kedua lengannya yang kini saling bersilang demi menghangatkan badannya. Kreta yang dinaikinya hampir sampai ke sebuah rumah bercat putih di tengah hamparan kebun teh.
Isaak mengembuskan napas sejenak. "Harusnya saya bawakan jaket untuk Nona tadi," ucapnya.
"Tak perlu," sahut Mina. "Sebentar lagi sampai 'kan?" lanjutnya sambil menunjuk rumah dua lantai di depan sana.
Pria berbaju putih itu mengangguk. "Itu villanya. Tuan muda Abbe pasti sudah menunggu di dalam."
"Aku takmau ditunggui olehnya," timpal Mina seraya mendengkus, disambung tawa kecil dari Isaak.
"Kita buktikan saja."
***
Villa dengan dua lantai itu tampak asri karena berada di tengah hamparan kebun teh. Di halaman depan terdapat sebuah gazebo yang dikelilingi oleh tanaman perdu. Sementara itu, di bagian pagar teras rumah terdapat beberapa pot dengan tanaman yang tengah berbunga. Sebuah pohon bougenvil tampak tumbuh dengan anggunnya di dekat gazebo. Bunga-bunganya yang berwarna lilac bermekaran, sebagian ada yang rontok karena dihantam derasnya hujan tadi. Ada dua pohon rindang di kanan dan kiri villa, meski ada satu pohon yang tampak begitu besar di area belakang.
Mina turun dari kreta. Koper jinjingnya dibawa oleh Isaak usai menuntun gadis itu menuju teras villa. Sementara itu, dari dalam rumah, seorang pemuda berjalan ke pintu depan, lantas menjitak puncak kepala gadis yang baru saja sampai di teras tersebut.
"Hei, kau!" Mina berjengit, memegang kepalanya yang berdenyut sekejap.
Manik cokelatnya melihat seksama sosok di depannya kini. Pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam panjang itu berkacak pinggang dengan sebelah alisnya yang sengaja dinaikkan—sebuah sambutan yang sedikit kacau. Mina mendengkus, hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya terhenti tatkala pemuda enam belas tahun itu menahan kerah baju belakangnya.
"Abbe!" gertak gadis bermanik cokelat tersebut.
Abbe van Chastelein melepas genggamannya, lantas mengangkat kedua tangan. Ia menggeleng, "Aku anak baik, tidak akan mengganggu Nona Mina," ledeknya setengah mencibir.
"Sial."
Mina menggerutu, lalu menendang tulang kering Abbe sekeras-kerasnya sampai pemuda itu mengaduh kesakitan. Gadis itu berlari menuju kreta kembali, disusul Abbe yang menahan sakit di tungkai kanannya.
"Awas kau, ya!"
Abbe menyambar beberapa kelopak bougenvil yang bisa diraihnya, lalu melemparkannya kepada sang adik. Kelopak bunga berwarna lilac itu berhamburan, menyongsong angin yang mengembuskannya. Sementara itu, Mina berlari menjauh, bersembunyi di balik kreta dan berharap kakaknya itu tidak bisa mencapainya. Nyatanya, langkah pemuda enam belas tahun itu jauh lebih besar daripada Mina. Abbe bisa menyusul dan berhasil menarik rambut Mina yang sedikit keriting itu hingga gadis tersebut mengerang.
"Tuan muda! Nona!" Teriakan Isaak sontak menghentikan baku hantam kakak-beradik tersebut.
Mina melepas paksa cengkeraman Abbe di rambutnya. Ia juga memerhatikan sang kakak yang setengah menunduk setelah Isaak menghampiri mereka.
"Tuan dan Nyonya meminta saya untuk menjaga kalian berdua," ucap pria berbaju putih itu. "Jadi, saya mohon, setidaknya tenanglah sedikit sampai Tuan dan Nyonya datang besok."
Abbe melirik ke arah sang adik di sebelahnya, lalu kepada Isaak. Ia mengangguk, lantas berlalu kembali ke rumah. Sementara itu, Mina mendekati Isaak yang menatap perginya sang tuan muda.
"Kenapa dia menurut sekali denganmu?" bisik gadis itu, membuat pria berambut hitam itu tersentak.
"Ah, saya juga tidak tahu," katanya. "Mari masuk, biar saya siapkan makan malam untuk kalian."
***
Mina melewati makan malam bersama dengan Abbe, Isaak, dan juga seorang asisten rumah tangga perempuan bernama Ina. Makanan di Buitenzorg dimasak sedemikian rupa hingga mirip seperti aslinya di Den Haag. Ina tampaknya tahu persis racikan bumbu khas ibukota Negara Kincir Angin tersebut. Meski suasana villa sangat sepi, Mina bisa menikmati semua hidangan yang disediakan dan memakannya dengan lahap.
Sudah pukul sembilan malam. Ina tampak mematikan beberapa lampu di villa dan menyisakan remang-remang di beberapa sudut rumah. Wanita Hindia Belanda itu sepertinya sudah lama menempati rumah dua lantai ini hingga hapal letak penerangan, bahkan sampai di pojokan belakang bangunan sekali pun. Terlihat Isaak membantunya merapikan barang-barang yang sempat digunakan oleh Abbe di ruang tengah tadi. Mina sendiri lebih memilih menuju kamarnya di lantai atas, tempat peristirahatan yang ditunjukkan Isaak padanya beberapa saat yang lalu. Namun, langkahnya terhenti saat pria berambut hitam itu memanggilnya.
"Nona."
Mina menoleh, mendapati Isaak yang berjalan mendekati ujung tangga bagian bawah.
"Usahakan untuk tidak berkeliaran di malam hari," katanya.
Gadis itu mengangguk mengiyakan. Kemudian, ia melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Kamar Mina sendiri hanya seluas 5x5 meter persegi. Hanya ada satu single bed di dekat jendela dan sebuah lemari kayu di salah satu sudut ruangan. Kamarnya ini terletak di lantai dua yang menghadap ke bagian belakang rumah, di mana Mina bisa melihat dengan jelas hamparan kebun teh yang disinari matahari saat pagi tiba. Namun, hal yang membuat gadis itu penasaran adalah pohon beringin besar yang tumbuh tepat di area belakang kediamannya tersebut.
Takada yang aneh dari pohon itu. Hanya akar gantungnya yang terkadang bergoyang terkena embusan angin malam. Mina bisa melihatnya dengan jelas saat ia membuka tirai jendela kamarnya. Sayup-sayup sinar rembulan menembus ranting pohon yang hanya menyisakan sedikit celah di antaranya. Namun, seberkas sinar seketika menyapa manik cokelat gadis empat belas tahun tersebut.
Mina memelotot. Ia memfokuskan pandangannya pada siluet sinar yang seolah berjalan merambat dari salah satu celah pohon menuju ke dasar di mana akar merambatnya begitu besar dan tampak menjulang dengan kokohnya.
"Apa itu?" bisiknya.
Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju pintu kamar, lantas membukanya. Namun, gerakannya tertahan saat dirinya teringat dengan nasihat Isaak beberapa menit yang lalu sebelum dirinya masuk ke kamar. Maniknya menyebarkan pandangan sejenak. Suasana telah sepi, bisa dipastikan Isaak dan Ina telah pergi ke ruangan pribadinya masing-masing.
Mina bergegas menuruni tangga dengan langkah super cepat, bahkan seolah dirinya tidak menapak di setiap jejakan anak tangga. Dia berlari menuju pintu belakang. Namun, lagi-lagi sesuatu membuat matanya menyalang. Ditambah lagi dengan pintu belakang yang kini terbuka lebar.
Gadis itu berteriak lirih, "Abbe …!"
"Sst!"
Pemuda itu sudah berdiri di sana, di dekat akar beringin. Ia mengacungkan telunjuknya tepat di bibirnya pada sang adik. Mina lantas menyusulnya pelan, memastikan lagi jika Isaak dan Ina tak mendengar langkahnya.
"Ada apa?" tanya Mina setengah berbisik.
"Kau lihat juga?" balas pemuda enam belas tahun tersebut.
"Apa?"
"Jangan bohong!"
"Sst!"
Mina membungkam mulut Abbe dengan tangannya. Matanya memberi isyarat pada sang kakak untuk melihat ke arah yang ditunjuknya.
Sinar tadi merambat pelan masuk ke sebuah celah sempit, lalu menghilang.
Keduanya berjengit, memandang satu sama lain. Mina melepaskan bekapannya di mulut Abbe, lantas menunjuk ke arah celah tadi.
"Ck! Isaak memintaku untuk jangan keluar malam-malam. Ayo kembali," kata pemuda itu. "Dia pasti sudah mengingatkanmu juga soal ini."
"Tapi aku bukan anak kecil lagi," bisik Mina sembari mendekatkan wajahnya pada wajah sang kakak.
"Sial, kau masih kecil!" balas Abbe takmau mengalah.
"Jangan sampai kita kehilangannya. Ayo!"
Mina sudah melangkah, tapi Abbe masih terpaku di tempatnya. Gadis itu menoleh, mendengkus panjang. Abbe lantas menunjuk celah tempat cahaya tadi menghilang.
"Ini bukan kisah Alice in Wonderland atau seperti dongeng lain," katanya. "Kau tidak akan menemukan lubang kelinci atau singa besar yang akan kau puja di dalam sana, kecuali …."
Kalimat Abbe menggantung, sementara Mina menatapnya dengan mata menyipit.
"Kecuali makhluk khas Hindia Belanda yang belum kau tahu."
Kurva menanjak terukir jelas di sudut bibir Mina van Chastelein. Diiringi kedua matanya yang menyipit, menelisik pada praduga yang dilontarkan Abbe barusan. Ia mengangguk, lalu kembali menatap celah tadi.
"Kalau begitu kita harus mengeceknya!"
"Mina …!"
***