Chereads / Pengganti Jodoh Sang Alpha / Chapter 15 - Kemah Rutin

Chapter 15 - Kemah Rutin

Penelope pun menurut. "Baiklah, ayo pulang!" Ia beranjak berdiri terlebih dulu.

"Permisi, ya. Saya akan menggendongmu. Maaf, kalau kau merasakan rasa sakit." Rey pun meminta ijin sebelum ia kembali mengangkat tubuh Penelope ke dekapannya. "Hup!"

Rasa malu lebih mendominasi hati gadis itu ketimbang rasa sakitnya, "Mmm ... t-tidak apa-apa. Toh, kau akan membawaku dengan cepat, kan? Sampai di rumah, aku akan minum pain killer."

Rey tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu bertanya, "Siap?"

"Siap!" seru Penelope.

Pemuda itu langsung mengayuhkan tungkainya kuat-kuat. Ia kemudian membelalakkan mata teringat kejadian ini. Ada aroma manis seperti serbuk sari bunga yang menggelitik hidungnya yang membuatnya Dejavu. Memang tak lain jawabannya adalah aroma dari tubuh gadis ini.

***

(Flashback On)

Serigala berbulu perak dengan corak kecoklatan di sekitar daun telinga dan area wajah itu menggiring badai, menerjang semak belukar di lebatnya hutan pedalaman. Tungkai kaki depan dan belakangnya begitu kokoh menopang tubuhnya yang menjulang gahar.

Segenap makhluk hutan seolah memberikan jalan pada iring-iringan binatang buas ini. Segala jenis makhluk hidup di hutan itu mengheningkan cipta, menyimak berlalunya mereka. Para peri hutan bahkan menyihir pepohonan, semak, dan perdu untuk meringkas ranting dan dedaunannya, agar tidak menjerat langkah kaki para serigala yang berparade senja itu.

Ekosistem hutan tunduk pada karisma Sang Pemimpin pack. Ia seolah mampu menundukkan lawan hanya dengan tatapan dari kedua matanya yang sebiru Lautan Atlantis Utara itu.

Secercah cahaya jingga mulai tampak di sela-sela kanopi hutan, menandakan pedalaman belantara yang lebat telah terlewati. Perlu beberapa tanjakan lagi hingga sampai di lahan terbuka di puncak bukit sana.

Hampir menyentuh bibir hutan luar, pemimpin serigala itu ditubruk sesuatu dengan kencang dari arah kanan. Tubuh besar Sang Pemimpin itu terhempas terbang ke arah bahu kiri hutan.

Segera saja badai yang mengiringi derap langkah kawanan di belakangnya berhenti. Namun, tidak ada yang mendekat barang selangkah pun ke arah pemimpin pack yang tersungkur itu.

Serigala paling besar itu hanya berbaring saja dan terengah-engah. Matanya terpejam, tapi ekornya bergerak-gerak pelan.

Penyerang yang rupanya seekor betina menghentakkan kaki depannya, lalu melolong. Tidak mendapatkan respon dari korbannya, ia beralih meraung ke gerombolan serigala yang kini menatapnya.

Beberapa ekor serigala menyahut dengan menggeram pelan. Sementara sebagian besar lainnya hanya terdiam. Ada juga yang menggaruk-garuk bagian tubuh tertentu, lalu semuanya berangsur melenggang pergi.

Si Betina satu-satunya di sana itu melolong dengan murka hingga beberapa saat lamanya. Tak kunjung ada yang menggubrisnya, diendusnya serigala yang masih membujur di tanah dekat kakinya tersebut. Kemudian ia beralih memunggungi pejantan yang besar itu.

Tak berapa lama kemudian, penyerang itu pun berputar-putar di tempatnya, hingga menerbitkan tornado kecil. Lalu, lenyaplah ia bersama angin yang membumbung ke angkasa. Berganti dengan seorang gadis yang melangkah keluar dari mata badai itu.

Sang Gadis itu menendang perut serigala yang tak berkutik dari posisi rebahannya. "Sudah terlambat, tidak seru, lagi!"

Gadis yang berambut ikal berwarna pirang stroberi itu bersedekap sambil menggerutu, "Poin hari ini ditambah tiga puluh lagi dari kekalahanmu nanti, berarti camp selanjutnya aku yang milih lokasinya!"

Terjadilah gemuruh tornado lagi, kali ini menyelubungi seluruh tubuh sang binatang buas. Sejurus kemudian, tinggal lah seorang pemuda yang berbaring di sana.

Ia mengerang malas dan mengubah posisinya menjadi terlentang. Sementara satu lengannya kini ditempatkan melintang di wajah, menutupi kedua matanya.

"Aku benar-benar lelah, Florena. Jangan bikin pertandingan yang aneh-aneh, aku sedang tidak ada tenaga lagi untuk itu." keluh si pemuda.

"Aah ... Kakak ini! Kalau begini caranya, kan tidak adil namanya, Kak! Sudah bikin aturan sendiri, masa dilanggar sendiri?"

"Ugh ..." Pemuda itu merintih dan bangkit dari tidurnya. Kemudian ia berjalan melewati si gadis dan mengusap-usap rambutnya, "Aku belum melanggar apapun, Rena. Aku hanya bilang, kalau aku lagi lelah."

"Lelah?" Florena menepis tangan pemuda itu dari kepalanya, lalu berjalan mengiringinya, "Kau seenaknya menghabiskan sore bersama kawananmu, sementara aku di sini hanya kebagian lelahmu?"

"Hmm ... Rena, maaf, aku sudah lama tidak mendampingi Gamma melatih para jun ..."

Si Gadis itu bersungut-sungut mendengarkan penjelasan lawan bicaranya dan segera memotong ucapannya, "Harus hari ini? Di saat kita ada jadwal pertemuan rutin?"

"Tadinya tidak seperti itu, Rena. Hei, Oliver! Hahaha ... aku tidak apa-apa." Pemuda itu dengan entengnya mengalihkan perhatian pada seorang pemuda lain yang menyapa dari kejauhan.

Florena pun tak terima dan menghadang jalan. Pemuda itu pun menghentikan langkahnya, berdecak, dan memutar bola mata.

"Tidak seperti itu bagaimana!" tuntut si gadis yang kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun. "Kak Rey sengaja ikut Gamma melatih anak-anak hingga melewatkan beberapa jam jadwal ketemu kita."

"Hufh ... tidak sengaja, Rena. Aku ingin mencontohkan cara berburu saja, tapi anak-anak itu kelaparan." Rey menjelaskan sambil meletakkan kedua telapak tangannya di bahu Florena.

Florena menjatuhkan kedua tangan Rey, "Jadi kalian semua sudah makan?"

Rey membuka mulutnya hendak menjawab, tapi menutupnya lagi. Ia beradu pandang dengan beberapa anak buahnya yang menggelengkan kepala ke arahnya. Mereka mengirimkan komunikasi nonverbal, untuk mendukung Rey berbohong saja.

Merasa bersalah pada gadis di depannya, Rey menghela nafas dalam-dalam sebelum menyahut, "Sedikit." Pemuda itu pun tersenyum dan berjalan melewati Florena menuju ke sebuah tenda besar.

"Huh, dasar Kak Rey ini! Aku sudah menyiapkan banyak makanan di sini! Iya kan, Emil?"

Pemuda yang rupanya merasa namanya terpanggil, segera menghentikan aktivitasnya di depan sebuah tenda. Kemudian, Emil menyingkap pintu tenda sambil tersenyum bersemangat, "Iya!" Ia menunjukkan persediaan makanan yang melimpah ruah di dalam tenda tersebut.

Rey merasa iba pada Emil, werewolf yang paling rendah tingkatannya itu sering dijadikan sasaran Florena mengasah kreativitasnya. Ia pun membalas senyum Emil dan berjalan mendekatinya, "Baiklah, apa yang kau punya hari ini?" Rey menepuk-nepuk bahu pemuda itu.

Baru membuka mulut, perkataan Emil sudah disabotase oleh suara cempreng di belakang telinga Rey, "Free flow full course dinner!"

Rey beradu pandang dengan Emil, lalu saling mengangkat bahu, sebelum menoleh ke Florena yang tiba-tiba sudah muncul di antara mereka. "Yap! Makan malam hari ini akan diberikan secara lengkap, dari hidangan pembuka sampai pencuci mulut. Dan porsinya disajikan bebas sesuai permintaan."

Mengetahui acara hari itu sepertinya sudah disiapkan secara heboh oleh Florena, Rey pun tidak enak menolak. Bukan saja pada gadis itu, tetapi lebih kepada para bawahan pack-nya. Bisa-bisa mereka kesusahan mengatasi rewelnya gadis yang tak ubahnya angin ribut itu.

Tersenyum masam, Rey pun hanya mengangkat ibu jarinya. Bagaimanapun, ia tidak ingin kalah poin lagi, sebab konsekuensinya tentu merugikannya. Florena sudah pasti akan memilih lokasi pertemuan yang aneh-aneh.

Rey menghela nafas dalam-dalam memikirkan itu, "Ya sudah, ayo dimulai saja makan malamnya!"

Florena tersenyum licik mendengarkan ajakan Rey, mengira pemuda itu sudah antusias menanggapi idenya, "Tidak semudah itu, Ferguso!"

Rey mengerutkan kening, menunggu ide gila apa lagi yang akan ditawarkan gadis keterlaluan lincah itu.

"Kita tidak bisa langsung makan, Kak, tapi ... ehem ... kita harus berkompetisi membuat makan malam paling enak hari ini!" Gadis berambut pirang stroberi sangat antusias mengumumkan ide yang menurutnya cemerlang itu.

"Aaah ..." Rey menggeram malas. Ia sendiri sedang tidak dalam kondisi ingin makan lagi. Hari ini latihan perburuannya sudah membuatnya letih, ditambah sejak di perjalanan tadi, ia merasa indera penciumannya terganggu luar biasa.

Rey merasa hidungnya seolah bereaksi seperti yang manusia kebanyakan keluhkan, yaitu alergi serbuk sari. Sementara saat ini pun musim gugur. Lebih absurd lagi, aroma yang mengganggu tadi justru semakin pekat ketika ia melewati gadis manusia di lembah hutan.