Rey melepaskan jambakannya dan membiarkan kepala pemuda berandalan itu terjatuh. Lalu, ia segera berbalik dan mengayuh tungkainya kuat-kuat, enyah dari tempat itu.
Pemuda yang memiliki rahang yang tegas itu berlari menuju hutan. Rey waspada akan pandangan manusia, sehingga ia juga mengontrol kecepatan pergerakannya di tengah jalan raya, lalu melaju kencang lagi ketika di jalanan sepi.
Begitu kakinya menyentuh tepian hutan. Ia langsung menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah dan berteriak, "ARRGGHHHH!"
Tornado datang dan menyelimuti tubuhnya, lalu seekor serigala besar berbulu perak dan corak kecokelatan muncul dari asap yang membubung ke langit setelahnya. "Groaaarr!" geram Rey.
Perkelahian barusan mengingatkannya akan perseteruan pertama dengan kawanan Aksel. Betapa tidak, tingkah pemuda-pemuda itu sama pongahnya, hanya karena merasa memiliki keturunan lebih unggul dari yang lainnya.
***
(Flashback On)
"Tidak bisa! Kau pikir itu adil?" seru seorang Omega sambil melempar beberapa koin Krone.
"Apa kau bilang? Adil? Ini bukan hanya Hukum Rimba, tapi solidaritas!" balas seorang pemuda yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh delapan sentimeter itu, seraya bangkit dari tempat duduknya. Ia memang lah yang terpendek di kalangan para werewolf, tapi Omega dari pack Silver Moon ini termasuk yang paling beringas.
"Wooo ... wooo ... ada apa ini?" Rey menengahi.
Pemuda yang melempar koin tadi mendengus kesal dan ikut berdiri. "Tidak. Tidak apa-apa. Hanya perdebatan para pecundang."
"Brengsek! Siapa yang kau bilang pecundang?" Pemuda itu sudah menggertakan rahangnya, namun Rey segera memegangi Omega-nya yang naik pitam itu.
Aksel yang sedari tadi menghabiskan santapan di pojokan, seolah tak menaruh minat atas keributan kecil yang terjadi ini. Sebenarnya tak mungkin juga ada seekor werewolf pun yang tak bisa membaca pikiran makhluk sebangsanya.
Kecuali, mereka memasang dinding di pikiran mereka. Termasuk di hari pertandingan seperti ini, sehingga mereka saling tidak mengetahui strategi lawan.
"Hentikan! Kalian sungguh kekanakan! Cuma perkara uang taruhan saja, kan? Oliver, cepat kau berikan saja sisanya!" perintah Rey.
Si Oliver bukannya langsung patuh akan perintah Rey, tapi ia juga sebenarnya tidak mempunyai kewajiban untuk mematuhinya. Rey belumlah menjadi seorang Alpha, apalagi mereka dari pack yang berbeda.
Oliver pun menggeram, "Aku tidak berhutang apapun pada Omega sialmu! Dia yang membuat aturan taruhan dan dia sendiri yang melanggarnya!"
"Huh ... benar begitu, Kasper?" tuntut Reynold tajam.
Omega yang bernama Kasper itu pun mengerang, "Argh ... aku juga tidak menuntut uang taruhannya! Aku hanya bilang pertandingan berburu hari ini itu seri."
Aksel yang masih menjilati tulang iga di hadapannya itu menyahut dengan lantang, tapi santai, "Seri dari mananya? Ah, benar juga. Para pecundang sih, bebas menyebutnya begitu."
"Siapa yang kau sebut pecundang! Grrr ..." Kasper yang dipegangi Rey berteriak dan tiba-tiba tergulung dalam angin topan. Hentakan kaki hewan berbulu beberapa saat kemudian melenyapkan topan dan juga pemuda tadi.
Serigala di hadapan Rey itu melolong penuh amarah. Rey segera merangkulnya dari belakang dengan segenap kekuatan manusia yang ia punya. Para tetua sedang ada di sini, ia benar-benar tidak mau menimbulkan perkelahian konyol.
Terdengar Oliver berdecak meremehkan, lalu menambahkan, "Pecundang adalah mereka yang tidak mengakui kekalahannya!"
"Kasper ... sudahlah, tidak usah didengarkan! Kalian jangan diam saja! Cepat bantu aku meredakan Kasper!" bentak Rey pada para Delta yang juga kini tampak merah padam.
Bahkan terdengar dada mereka bergemuruh. Begitu mereka memegangi Kasper, Rey bisa menyaksikan, seolah kesumat Omega-nya itu terdistribusikan secara merata pada kawanannya.
Kemudian seorang Delta meludah, "Cuih! Kami tidak takut disebut kalah, tapi kami tidak tidak terima ada pemenang dan pecundang!"
"Benar! Kalau Reynold tidak punya solidaritas, jagoan kalian juga kalah!" Yang lain menambahkan.
"Kalian sudah gila, apa!" Rey yang baru saja menangkap arti dari konflik ini langsung merasakan darahnya berdesir. Ia sangat kecewa, mengetahui bahwa para bawahan pack itu rupanya bertaruh tentang pemenang adu berburu tadi.
"Kau juga, Aksel, kenapa kau acuh saja sedari tadi?" protesnya pada kawan sejawatnya.
Aksel melempar tulang belulang sisa makanannya begitu saja ke tanah. Kemudian, pemuda berambut pirang itu beranjak bangkit dengan membusungkan dada, "Memangnya aku harus seperti apa lagi? Aku tidak mau ikut campur masalah yang bukan urusanku!"
"Bukan urusanmu? Ini menyangkut anggota pack-mu juga!"
Aksel berjalan mendekati mereka dengan cepat, seraya mendengus meremehkan. "Pack-ku? Aku belum menjadi Alpha, sama sepertimu." Lalu, ia menekankan telunjuknya pada dada Rey, "Dan aku, tidak mau menjadi sok pahlawan. Darah murni sudah cukup dikenal sebagai pahlawan, tanpa cari muka!"
"Groaarr!" Itu adalah perubahan tercepat yang pernah dilakukan oleh Rey. Biasa terjadi, ketika ia sedang tidak bisa mengontrol lagi emosinya.
Tornado yang menyelubungi Reynold segera lenyap dalam hitungan detik dan menghadirkan sesosok serigala setinggi nyaris dua meter. Makhluk buas itu pun melolong keras dan mengangkat kedua kaki depannya seolah siap menerkam.
Darah Rey mendidih. Ia tidak memperkarakan ejekan sebagai sok pahlawan. Sudah sering didengarnya sejak kecil, sebab dirinya adalah seorang Empath. Namun, yang tak bisa diterimanya adalah kata-kata Aksel tentang darah murni, yang seolah menganggap Half sepertinya selalu cari muka.
Aksel pun membeli tantangan Rey dengan berubah juga menjadi serigala. "Auuu ... grrr ... grrr ... brukkk!" Tersadar bahwa apapun yang terjadi, para tetua akan membela Rey, maka tanpa pikir panjang, segera dihunjamnya serigala perak itu dengan kaki depannya.
Rey tak siap dengan serangan mendadak itu, terdorong mundur beberapa meter. Merasa direndahkan di depan para bawahannya yang juga blasteran setengah werewolf dan manusia, serigala besar berbulu perak itu mengamuk. "GROAAAR!"
Burung-burung yang mulai berdatangan lagi selepas hujan, tampak terbang kabur meninggalkan puncak pepohonan. Angin yang tadinya semilir saja, mendadak jadi berhembus lebih kencang.
Kaki Rey menjejak Bumi dan mengais-ngais sedalam yang ia bisa. Binatang karnivora itu memasang ancang-ancang untuk membalaskan kesumatnya pada Si Lawan. Dan Semesta seolah mendukungnya, cuaca kembali menggelap.
"Graaaaaa ... Auuu!" Tak peduli musuhnya sedang menyiapkan pertahanan atau perlawanan, Aksel datang menerjang dengan temperamennya. Ia sudah cukup bersabar menjadi pemenang yang benar di waktu yang salah.
"Bruaaak!" Sayang sekali, kuda-kuda Rey tak tergoyahkan. Tubuh Aksel mental sejauh tiga meter dan pendaratannya begitu keras, hingga gesekan antara tubuh dan permukaan tanah menghasilkan kepulan asap.
Semua anggota masing-masing pack, otomatis bertransformasi begitu melihat anak-anak para ketuanya bersengketa.
"Rasakan itu, hei, Darah Murni sok pemberani!" sumpah anggota Silver Moon.
"Sialan, dasar makhluk setengah kotoran!" balas anggota Black Fur.
"Auuu ... grrr!" Pelataran Villa itu menjadi riuh rendah dengan geraman dan lolongan para serigala.
Langit menggulungkan mendungnya dan menghadirkan gemuruh perubahan cuaca. Rupanya Semesta ingin menjadi pemandu sorak bagi perkelahian anak-anak bulu yang sudah kekenyangan sore itu.
Drap ... drap ... drap ...
Tak disangka-sangka, Aksel yang tersungkur segera berdiri dan berlari dengan kecepatan kilat. "Sraassh!" Ditebasnya muka Rey yang tidak terlindungi itu dengan cakarnya.
"Hap! Groaar ... krak!" Sekejap mata saja Rey yang tertampar ke arah kanan itu menangkap lengan Aksel dengan tangan kirinya. Taring setajam belatinya mencengkeram lengan lawannya dan dengan sekali angkat, ia membuang Aksel terbang ke arah kanan.
Secara taktik Rey selalu unggul, tapi secara fisik, keunggulan performa Aksel tak pernah terbantahkan. Jatuh sepuluh kali, bangkit seratus kali. Telapak kali Aksel membuat tolakan keras ke permukaan Bumi dan membuat tubuhnya kembali terbang ke arah berlawanan.
"Bruuuk!" Ia berhasil menindih Rey. Dadanya tersengal naik turun, ia bisa mencekik leher lawannya itu kuat-kuat. Mengingat betapa pemuda di bawahnya ini sudah menjilat orang tua dan adik kandungnya.
Tiba-tiba terdengar teriakan lantang dan tajam, "Hentikaaan ...!"
"Auuu ..." Florena yang beberapa detik selanjutnya sudah berwujud serigala itu pun melaju ke medan tempur.