Chereads / Pengganti Jodoh Sang Alpha / Chapter 16 - Gertakan Pejantan

Chapter 16 - Gertakan Pejantan

"Nah, sudah. Tolong turunkan aku di sini saja," kata Penelope tiba-tiba menghenyakkan Rey dari pikirannya. Ia pun langsung melambatkan langkahnya dan bergegas berhenti.

"Mengapa di sini?" tanya Rey sembari menurunkan tubuh gadis berambut karamel tersebut.

Penelope mengiringis menahan sakit di tubuhnya. Ia kemudian menyahut, "Terima kasih, ya. Memang lebih baik berada di sini, karena aku ingin berjalan sampai ke rumah saja biar Ibu tidak curiga kalau ia nanti ternyata menunggu di depan gerbang rumah."

"Oh, begitu benar juga," gumam Rey. "Lalu apa yang akan kau katakan pada Ibumu? Kita belum memikirkan alasannya sampai di sana."

"Wah, kau benar. Aduh, aku harus bilang apa, ya, pada Ibu? Kenapa aku tadi tidak pulang ke rumah saat jam makan siang dan kenapa aku malah telat begini?" Penelope menjadi panik.

Hening sesaat. Terdengar suara mesin pesawat berderu di atas langit. Rey jadi mendapatkan ide. "Apakah di sekitar sini ada museum?" tanyanya.

"Ada. Memangnya kenapa?" tanya Penelope. Ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu, karena jelas-jelas tidak menjawab kegelisahannya. Keningnya bertaut dan ia mendongak menatap pemuda yang beberapa sentimeter jauh lebih tinggi darinya tersebut.

Rey tampak tersenyum dan matanya berbinar-binar. "Bagus. Kalau begitu kau bisa bilang kalau kau pergi ke museum dengan tour di tempat kursusmu untuk keperluan pembelajaran. Bagaimana menurutmu?" tanya pemuda tampan itu kemudian.

Penelope pun langsung merasa mendapatkan jackpot hadiah. "Wah, terima kasih banyak! Itu ide yang sangat bagus. Aku akan berkata demikian pada Ibu, walaupun Ini pertama kalinya aku berbohong padanya. Tetapi kalau demi kebaikannya agar tidak khawatir padaku, kurasa ini bukanlah suatu perbuatan durhaka pada orang tua. Iya, kan?"

Rey memandang wajah gadis itu lekat-lekat. Sungguh pertama kali dalam hidupnya ia bertemu dengan sosok perempuan yang bahkan masih memikirkan tentang orang tuanya di saat ia sudah menjadi seorang dewasa muda. Sangat berbeda dengan sosok perempuan yang selama ini sudah dikenalnya.

Jangankan memikirkan soal orang tua dan takut untuk berbuat durhaka pada mereka, keinginannya saja harus selalu terpenuhi. Rey menggeleng-geleng mengingat Florena yang selalu membuatnya pusing kepala itu. Ia menghela nafas tanpa ia sadari.

Melihat adanya perubahan mimik wajah pada pemuda itu, Penelope pun merasa heran. Ia lalu bertanya, "Ada apa memangnya? Apakah aku salah?"

"Oh, tidak ... tidak ... aku hanya terpikirkan hal yang lain. Menurutku, kau benar juga tidak ada yang salah, kok untuk membuat orang tua tidak khawatir terhadap kita. Itu bukan merupakan suatu bentuk kedurhakaan juga menurutku," jawab Rey.

Gadis itu pun tersenyum kemudian ia berkata, "Kalau begitu, aku akan merapikan diriku dulu, karena aku tidak mau terlihat berantakan seperti ini. Bagaimana menurutmu sekarang, apakah aku sudah terlihat lebih baik?"

Ditanya begitu, Rey langsung merasa debaran jantungnya itu meningkat. Ia mengamati kembali sosok gadis di depannya itu. Memang luar biasa pesonanya, tidak hanya aromanya yang manis, tetapi juga parasnya. Rey jadi berusaha untuk menutupi mukanya yang tersipu malu itu dengan membalikkan badannya untuk berjalan terlebih dahulu ke arah rumah gadis tersebut, "Sudah baik, kok, ayo kita pergi dulu! Kemudian saya harus segera kembali ke rumah berandalan tersebut."

"Oke, terima kasih. Tapi, tunggu! Pelan-pelan jalannya! seru Penelope.

Sesuai dugaannya, ternyata Liv pun sudah menunggu mereka di depan gerbang rumah susun itu. Ia langsung tergopoh-gopoh membuka gerbangnya dan menyambut kedatangan mereka berdua.

"Ya ampun, ke mana saja rupanya kau, Nak?"

"Ah, Ibu, kenapa Ibu sebegitu khawatirnya? Memangnya aku anak kecil?" tanya Penelope mengelak. Padahal dalam hati, ia sudah ingin menangis kencang dan memeluk ibunya itu. Ia teringat betapa mirisnya nasib yang menimpanya hari ini

Rey juga jadi trenyuh, karena betapa ikatan antara ibu dan anak ini begitu kuat. Ia tahu sendiri bahwa Liv sudah merasa ada firasat yang tidak enak pada Penelope dan terbukti hal itu terjadi pada gadis ini. Mengingat hal itu lagi, muncul kembali emosinya. Ia pun langsung memecahkan keheningan di antara mereka.

"Nah, karena Penelope sudah pulang, saya akan pergi dulu, Bu, kalau begitu," pamit pemuda tersebut.

"Lho, kamu mau ke mana, Nak? Apakah tadi kamu berhasil menemukan Penelope?" tanya Liv.

Penelope dan Rey bertatapan, kemudian Penelope mengedipkan mata untuk memberikannya kode bahwa ia lah yang akan menjawab pertanyaan ibunya tersebut.

Rey tersenyum sebagai balasan akan kode itu bahwa ia mengerti dan mempersilakan Penelope untuk berbicara.

Penelope berkata, "Tidak, Bu, kami tadi berpapasan di jalan ketika aku baru saja keluar dari museum."

Kedua alis Liv bertaut, "Apa? Museum? Kenapa sampai ke museum?"

"Ah, Ibu ini, kenapa terheran begitu seolah-olah mendengar aku baru saja pergi ke tempat prostitusi?" cemooh Penelope.

"Ssush, mulutmu itu! Ibu hanya penasaran saja. Kenapa, sih, habisnya tidak biasanya dan kamu juga tidak izin pada ibu tadi." Liv membela diri.

"Hahaha ... iya ... iya ..., Bu. Aku hanya bercanda, rileks saja. Ibu kenapa terlalu tegang begini? Aku tadi ada acara dari tempat kursus untuk pergi ke museum, hanya itu saja. Dan kebetulan aku bertemu dengan Rey di depannya."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Maaf, Rey, telah membuatmu menunggu. Kau juga boleh pergi. Terima kasih atas bantuanmu, ya."

"Sama-sama, Bu. Saya pergi dulu, ya!" kata Rey yang kemudian berjalan ke arah tadi di mana ia datang. Dalam hati, ia sudah tidak sabar ingin segera mengerahkan kekuatannya untuk berlari kencang ke tempat berandalan tersebut tinggal.

Setelah menyeberangi jalan raya menuju taman yang sepi, barulah Rey kembali mengayuhkan tungkai kakinya kuat-kuat agar segera tiba di kediaman pemuda yang menculik Penelope tadi.

Ia tidak peduli kalau emosinya ini tidak terkontrol dan pada akhirnya dia akan berubah menjadi serigala. Toh, pada akhirnya mereka harus diberikan pelajaran.

Begitu tiba di pintu gerbang, ia melihat kerumunan pemuda tak jauh dari pintu masuk di rumah itu. Tanpa sungkan, Rey pun langsung berteriak, "Hei!"

Atensi para pemuda itu langsung beralih padanya. Rey dengan langkah gagah berani langsung berjalan menuju mereka semua.

Tampak seorang pemuda yang mukanya lebam itu maju duluan. "Kau rupanya yang sudah menghancurkan jendela rumahku. Kau harus ganti rugi!"

"Hahaha ... ganti rugi? Lalu, bagaimana dengan dirimu yang sudah menghancurkan kulit seorang gadis? Kau pria yang sudah melakukan tindakan bejat begitu masih mau berlindung di balik nama ayahmu?" tantang Rey.

Mendengar betapa pongahnya pemuda asing itu, pelaku penculikan Penelope itu pun langsung mengayunkan tangannya hendak memukul wajah Rey.

Rey hanya berdecak, karena menganggap bahwa tindakan pemuda itu sangatlah konyol. Ia langsung menangkap tangan dari pemuda itu dalam hitungan sepersekian detik dan memelintirnya ke kanan.

"AAAAAKK!" Pemuda itu berteriak kesakitan.