"Jadi, bagaimana? Kalau kau mau pulang sekarang, ayo aku antar! Dari tadi ibumu sudah khawatir menunggumu," kata Rey memecah keheningan.
"Ah, iya, sudah kuduga pasti ibu khawatir, karena biasanya aku juga pulang ke rumah untuk makan siang, tapi aku benar-benar tidak berani untuk mengatakan hal ini. Ah, astaga!" seru Penelope tiba-tiba terlihat panik, ketika ia sedang menjawab kata-kata Rey yang sebelumnya dengan ekspresi yang tenang.
Rey jadi menoleh dan melihat dengan atensi penuh pada gadis berambut karamel itu, "Ada apa?" tanyanya ikut cemas.
"Bukan hanya soal ibu yang aku takutkan, tetapi bagaimana dengan para pemuda berandalan itu?" tanya Penelope.
"Tenang saja, kau tidak perlu khawatir! Sudah saya beri pelajaran Si Brengsek yang melukaimu di kamar tadi." Sembari mengatakan hal ini, ada lagi rasa luka yang menyayat hati Rey. Ia kemudian melanjutkan, "Dan kawanannya, sepertinya tidak berani untuk mengejarku atau mereka sudah kehilangan jejak."
"Tapi, bukan begitu ... mereka pasti akan menemukanku suatu hari nanti." Penelope yang cemas itu menggigiti bibir bawahnya dan ia meremas-remas buku-buku jarinya.
Rey yang memperhatikannya jadi ikut merasakan kecemasan dari gadis itu. Ia lalu menanyakan, "Maaf sebelumnya, aku tidak ingin mendesakmu untuk bercerita, tapi maukah kau mengatakan padaku apa alasannya kau sampai diculik begitu?"
Penelope langsung berkaca-kaca dan menatap Rey, "Mereka tidak hanya menculikku, tapi pemuda tadi juga mencambukiku. Eh, tapi berjanjilah kau, setelah aku ceritakan, kau ini tidak akan bilang pada ibuku. Aku hanya tidak mau orang tuaku yang tinggal satu itu menjadi cemas padaku," pinta Penelope.
Rey pun mengangguk mantap seraya berjalan mendekat dan duduk di samping Penelope di bangku taman tersebut. "Kutunggu sampai kau siap melanjutkan ceritamu, kapanpun itu," kata pemuda tampan tersebut. Ia berusaha mendinginkan hatinya agar tidak berubah jadi serigala.
Menyadari bahwa pemuda yang duduk di hadapannya itu ternyata memiliki gurat wajah yang begitu mempesona, mendadak ada serangan rasa hangat yang menguar di kedua belah pipi Penelope, hingga ke daun telinga dan rahangnya. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke sepatunya yang dimainkan ujungnya.
"Jadi, ini soal semalam," kata gadis itu membuka ceritanya. "Tadi malam, aku memang membuat suatu kesalahan besar. Aku terlalu gegabah, karena aku terbawa emosi dan rasa lelah setelah bekerja di tempat yang ramai itu. Setelah pulang dari kursus, aku memang bekerja paruh waktu di sebuah Cafe hanya selama 4 jam, hingga biasanya aku pulang pukul 12.00 malam beserta bersih-bersihnya."
"Namun, tadi malam rasanya memang seperti akhir pekan, karena banyak sekali tamu datang. Terlebih ada sebuah klub basket yang merayakan kemenangannya di cafe tersebut. Merekalah yang kemudian menggodaku dan mencari masalah denganku."
"Awalnya, hanya pemuda yang kau hajar tadi itu yang memanggil namaku dengan tidak sopan, tapi aku sudah terlalu bosan menanggapi para hidung belang yang mabuk seperti itu."
Penelope menghela nafasnya dalam-dalam sebelum ia melanjutkan lagi, "Yah ..." Ia juga sempat memejamkan mata perlahan, karena rasanya mengingat peristiwa semalam cukup membuat rasa paniknya merayapi hatinya lagi.
"Jadi, aku memilih untuk mengabaikan saja panggilan pemuda itu, tetapi dia juga tidak pantang menyerah. Aku membalasnya dan teman-temannya menyorakinya, karena ia sudah tertolak olehku yang seorang pelayan ini. Sepertinya dia tidak terima lalu dia menyenggolku ketika aku sedang mengantarkan pesanan untuk pengunjung lainnya. Untung saja aku tidak memecahkan gelas, tetapi tumpahan minuman yang kubawa itu tetap juga harus aku bersihkan, agar tidak membuat orang lain terpeleset atau membuat seluruh lantai di cafe kotor."
Sesekali Penelope tampak meregangkan badannya dan ia meringis kesakitan, ketika pergeseran dari kain bajunya itu mengenai luka di permukaan kulitnya. Rey hanya bisa membuka dan menutup mulutnya. Ia ingin menolongnya, tetapi tidak tahu harus bagaimana, karena gadis itu juga bukan manusia serigala seperti dirinya.
Kemudian, Penelope pun melanjutkan, "Lalu, mau tak mau aku harus mengambil kain pel dan membersihkan lantai itu. Baru saja aku membungkukkan badan, aku sudah punya firasat akan ada hal yang buruk terjadi dan benar saja ...." Ia menjeda kata-katanya, lalu menatap Rey sekilas dan membuang pandangannya lagi. Mukanya tampak lebih merah padam sekarang, seperti buah tomat yang ranum.
"Setelah itu, tiba-tiba aku merasa pantatku disentuh oleh seseorang dari belakang dan sudah kuduga, ketika aku menoleh, pemuda itu tampak dengan bangga tersenyum padaku. Aku sudah tidak kuasa lagi untuk menahan emosiku dan langsung saja kulayangkan hantaman ke mukanya."
Rey terkesiap tanpa suara mendengar pernyataan gadis itu. Ia kagum juga bahwa gadis itu ternyata mampu membela dirinya seperti itu. Dia kira Penelope hanya suka beradu mulut saja. Harus ia akui bahwa ia merasa bangga pada gadis itum
Lalu, Penelope tampak menaikkan bahunya seraya berkata, "Yah ... aku sudah tahu konsekuensi apa yang akan aku terima, tetapi aku terlalu pengecut untuk menghadapi supervisorku. Mungkin tidak hanya merasa pengecut, tetapi aku juga sudah malas diceramahin, jadi setelah aku melakukan aksiku itu, aku lepas aja celemekku. Lalu, aku berpamitan pada temanku dan segera berlari pulang. Entah bagaimana perhitunganku, walaupun aku sudah berkelok-kelok melewati jalanan tikus yang tak biasa kulewati, pada akhirnya ia bisa menemukanku."
"Apa! Bagaimana bisa mereka menemukanmu?" tanya Rey yang sekarang mengepalkan kedua telapak tangannya itu di samping badannya lagi.
Ia kembali merasakan amarah menggelegak di tubuhnya. Sedari tadi, ia sudah mencoba untuk meredamnya, ketika ia mendengar bagaimana gadis itu digoda dan disentuh bagian sensitifnya.
Penelope menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia berkata, "Inilah yang aku takutkan sekarang. Saat ini, kemungkinan mereka juga bisa melakukan hal ini lagi berulang kali, bahkan membuat pembalasan dendam yang lebih parah dari ini. Aku jadi mengkhawatirkan ibuku."
"Hei, dengarkan aku! Selama aku ada bersama kalian, aku tidak akan membuat kalian berada di dalam mara bahaya!" Ada kilat keyakinan terpancar di mata dengan rahang Rey yang mengeras itu, membuat Penelope sebenarnya agak merinding.
Akan tetapi, ia tahu bahwa pemuda itu terlihat bersungguh-sungguh tidak akan melukainya. Buktinya saja, dia tadi tak segan-segan menubrukkan dirinya ke kaca jendela, hingga membuat pria yang menculiknya itu pingsan.
"I-iya ... terima kasih, ya. Hanya saja, pria itu juga memiliki kekuatan di kota ini. Rupanya dia adalah anak pemilik dari pemegang saham di semua cafe dan tempat makan di kota ini, jadi dengan mudahnya dia menemukanku," jelas Penelope yang terlihat semakin cemas itu.
Rey mendengus kasar, "Huh, mau dia pemilik kota ini atau pemilik planet ini, kalau kelakuannya tidak benar, aku juga tidak segan untuk menghabisinya!" kata Rey mantap.
Penelope jadi tersipu dan ia merasa ada kenyamanan di dalam hatinya sudah mengenal pemuda ini. "Maaf, ya. Semalam aku sudah ...."
"Sudahlah, tidak apa-apa. Kita sama-sama berhutang budi satu sama lain. Ayo, sekarang lebih baik saya antarkan kau pulang dulu. Saya akan menggendongmu saja seperti tadi biar cepat. Tapi saya akan memilih jalan lain yang lebih sepi, agar tidak terlihat orang setelah ini. Sayq akan membuat perhitungan kepada para berandalan itu agar tidak lagi mereka berani mendekatimu."