"Apa kau baik-baik saja?" Rey nanar menatap kondisi Penelope yang compang-camping seperti itu dengan kulit memerah tak sengaja tertangkap matanya.
Darah Rey menggelegak. Ia merasa murka melihat betapa naasnya penampilan gadis beraroma manis itu. Rambut cokelatnya yang dikuncir ekor kuda itu berantakan, surainya seperti sarang burung, mukanya sembab dan jejak air matanya membasahi seluruh bagian wajah, dan pakaiannya .... "Apa yang mereka lakukan pada tubuhmu?" tanya Rey dengan suara rendah sambil mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
Dilihati seperti itu, Penelope pun merasa risih dan ia segera menutupi tubuhnya itu dengan selimut. Saking malu, sakit, dan bingungnya, gadis itu tak mampu menjawab pertanyaan Rey.
Pemuda itu langsung peka apa maksud gadis itu. Hatinya teriris melihat gadis itu. Namun, ia tak berani membiarkan emosinya meningkat, karena ia tidak mau berubah menjadi serigala di depan gadis itu. Rey pun segera turun dari tempat tidur dan menuju pintu kamar.
Ia menarik lemari di kamar itu, lalu memblokir satu-satunya akses masuk ke kamar tersebut. Penelope hanya memperhatikan Rey dengan pandangan khawatir, karena sosok mata keranjang yang menculiknya itu masih terbujur di lantai. Ia takut sewaktu-waktu pemuda itu bangun dan menyerang Rey.
Sejurus kemudian terdengar langkah kaki di luar kamar ini. Mata Penelope membelalak. Ia sekarang paham apa maksud Rey.
Tok ... tok ... tok!
"Bos? Apa kau tidak apa-apa?" tanya suara-suara di balik pintu.
Rey segera mundur dan mendekati Penelope lagi. Kemudian gafis itu pun berbisik bahwa ia tidak apa-apa sambil menyeka air matanya.
Rey pun bilang ia harus menyelamatkan Penelope keluar dari tempat itu lebih dulu sebelum pemuda itu bangun. Penelope bergetar hebat dan ketakutan.
Ia bilang ia tidak mau pulang dalam keadaan seperti ini. Lalu Rey bertanya, "Tapi, kalau tidak ke rumah ke mana lagi? Kau juga tidak boleh berlama-lama di tempat ini. Nanti kalau kawanan para pemuda itu mendobrak pintu dan aku harus bertarung melawan mereka semua, aku tidak mau kalau kau ikut terlibat dan dijadikan sandera lagi."
Tok ... tok ... tok ....
Terdengar suara ketukan lagi dan membuat mereka panik. Penelope pun mendapat ide dan meminta Rey untuk membawanya ke taman yang sepi di jalan menuju rumahnya.
Tanpa pikir panjang lagi, Rey membungkus tubuh Penelope dengan selimut di atas tempat tidur itu, lalu menggendongnya.
Penelope terkejut atas tindakan Rey dan meringis kesakitan, tapi ia tidak bisa protes.
"Sssh ... tahan, ya!" Rey bilang ia harus tetap diam agar tidak membuat para kawanan berandalan itu datang.
Kemudian, Rey pun kembali memasang posisi ancang-ancang melompat dari jendela, lalu ke arah dahan pohon, dan dengan kekuatan penuh, ia menghentakkan kakinya yang kokoh ke tanah, hingga membuat sekitarnya bergetar. Penelope merasa nyawanya masih tertinggal di dalam kamar itu dan dia hanya bisa menutup mata. Ia sangat ketakutan.
Ketika mereka tiba di tanah, terdengar teriakan dari belakang. "HEI, MAU KE MANA KALIAN?"
Rupanya, para kawanan berandalan itu bermaksud untuk mengejar mereka, tetapi Rey tidak peduli. Ia langsung berlari dengan kekuatan penuh, meninggalkan tempat itu, hingga membuat mereka kehilangan jejaknya.
Sesuai permintaan Penelope, Rey pun membawa gadis itu ke taman yang sepi, lalu ia didudukkan di bangku taman itu dan memunggunginya. "Mmm ... maafkan aku kalau sudah membungkusmu terlalu erat."
"T-tidak apa-apa," sahut Penelope canggung.
Rey memberikan waktu bagi Penelope untuk merapikan dirinya dan Rey pun berkata, "Bagaimana ... apakah ada yang bisa aku bantu? Sepertinya luka di sekujur tubuhmu itu juga tidak bisa dibiarkan begitu saja."
Pemuda itu mengepalkan kedua tangannya di samping badannya. Ia berusaha keras untuk tidak membiarkan angkara murka menguasainya. Ia benci kekerasan pada wanita, apalagi sosok wanita ini adalah satu-satunya yang paling berbeda dari yang selama ini pernah ditemuinya.
Penelope yang sudah memakai bajunya kembali itu, tak sengaja menyenggol lukanya dan berteriak, "AAAAUUUW! Aduh!" Dia merintih dan sontak membuat Rey menoleh kepadanya.
"Tuh kan, benar apa kataku. Bagaimana ini?" kata Rey panik.
Penelope dengan sinis menatap wajahnya, "Ya aku sendiri tidak tahu. Aku dari tadi sedang berpikir sambil menahan luka-lukaku ini."
Penelope terus mengaduh seraya memikirkan luka-lukanya itu. Di tengah musim dingin yang seperti ini, ia bahkan merasa pakaian yang berlapis-lapis begitu mengganggunya.
Kemudian Rey pun berkata, "Apakah kau ada uang? Aku harus memberi pembalut luka untukmu."
Penelope pun baru ingat, dia hanya memiliki beberapa koin dari tipsnya semalam. Ia merogoh sakunya, lalu memberikan uang itu kepada Rey.
"Ini .... Apakah kau bisa membelikanku plester di toko di depan sana? Dan juga salep untuk lukaku. Aku tidak tahu apakah uangku ini cukup sebenarnya."
"Kita lihat saja nanti," kata Rey. "Maaf aku juga tidak membawa uang. Kalau begitu, akan kucoba, ya. Apakah kau tidak apa-apa aku tinggalkan di sini?" imbuh pemuda yang terlihat tampan dengan rambut acak-acakan itu.
Penelope pun terhenyak dan segera mengangguk. Rey tersenyum dan segera pergi ke toko di seberang taman itu dengan berjalan kaki, karena ia tidak mau terlihat orang menggunakan kekuatannya yang super.
Tak lama kemudian, ia membeli pesanan Penelope. Ternyata, uangnya masih tersisa beberapa keping koin sehingga ia pun membeli es krim.
Ia menyerahkan semua yang ia beli kepada Penelope, membuat gadis itu terheran, "Lalu, es krim untuk apa? Aku sedang tidak menginginkannya."
"Gunakan itu untuk mengompres luka-lukamu. Jangan khawatir, mungkin kau tidak bisa melakukannya terlalu lama, karena keberadaanku di sini yang menghangatkan udara di sekitarmu, mungkin akan membuat es krim itu cepat leleh. Akan tetapi, hal itu lebih baik kau lakukan, sebelum kau menempelkan plester itu. Aku harap setelah itu, kau tidak merasa kesakitan lagi dan kau bisa menceritakanku apa yang terjadi padamu," cerocos Rey panjang lebar.
"Baiklah, kalau begitu," kata Penelope.
Kemudian Rey pun kembali berdiri memunggunginya. Beberapa detik kemudian, gadis itu memanggilnya.
"Rey ...." Ini pertama kalinya nama pemuda itu dipanggil dari mulut gadis itu.
Rei pun menyahut tanpa menoleh, "Ada apa?"
"Mmm ... terima kasih, ya ...," ujar Penelope malu-malu di sela menahan rintihannya ketika mengompres luka bekas cambuknya.
Rey merasa sensasi hangat merayap dari hidung, melebar ke pipi, hingga kedua telinganya. Ia pun berdehem, "Ehem. Sama-sama."
Hening. Ia tak tahu lagi harus menjawab apa, karena ini pertama kalinya mereka berinteraksi sedekat ini dalam kondisi baik-baik saja.
"How the tables have turned," batin Rey. Ia kenal istilah itu dari drama Amerika yang ditontonnya di markas, menggambarkan bagaimana dinamika antara dua orang atau lebih dapat berbanding terbalik. Ia pun tersenyum, ada rasa puas, malu, senang, jadi satu.