Setelah didera cambukan bertubi-tubi, tongkat cambuk itu kemudian dihempaskan oleh Si Pemuda Keji. Nafasnya tersengal, matanya nyalang.
"Arrrghhh ... seharusnya tidak perlu seperti ini!" teriak pemuda itu sambil mencengkeram rambutnya dengan kedua tangannya.
Sementara Penelope yang merintih kesakitan dan tergolek lemah, masih menatapnya dengan berkaca-kaca. "Ya Tuhan, haruskah aku mati di tangan pemuda jahat ini?" batin Penelope meratapi nasibnya.
Di mata pemuda berambut pirang itu, tatapan Penelope terlihat menantangnya alih-alih memancarkan ekspresi memelas. Terbit lagi perasaan murka di hati pemuda itu.
"Gara-gara kau yang tak tahu diri ini!" lolong pemuda itu penuh emosi.
PLAK!
Penelope pun ditampar, hingga ia tak sadarkan diri. Wajah cantik gadis itu terlihat merah sebelah dan matanya terpejam.
Pemuda itu mendekat dan mengecek kondisi Penelope dengan ujung kakinya. "Hei, Jalang! Jangan pura-pura tidur di sini, ya!" serunya, biarpun ia berfirasat gadis itu memang sudah kehilangan kesadarannya.
Tak ada reaksi. Jantung pemuda itu pun berdegup kencang. Ia melirik sekilas ke arah temannya yang juga memaku pandangannya pada Penelope. Namun, rekan sejawatnya itu membisu dengan pandangan khawatir.
Dalang Penculikan itu pun segera berjongkok, lalu mengecek nafas Penelope. Ia pun merasa lega begitu merasakan hembusan hangat keluar dari hidung gadis itu.
"Fiuuh ...." Pemuda itu mendengus lega seraya mendongak ke temannya, melemparkan kode nonverbal bahwa perempuan itu masih hidup.
Tanpa melihat reaksi dari temannya, kemudian pemuda itu melepas ikatan di balik punggung gadis itu. "Ah, merepotkan saja! Kau pergilah dan tutup pintunya!" Pemuda itu menyuruh kawanannya untuk pergi dari ruangan.
Ia kemudian membawa tubuh lemah Penelope menuju ke tempat tidur di ruangan itu. "Wah, lihat dirimu saat ini! Kau lebih terlihat manis kalau diam saja begini tanpa ekspresi menyebalkan pula," gumam pemuda itu.
Terbit keinginannya untuk menghabiskan sisa waktu bersama gadis itu. Sang pemuda itu membelai lembut Penelope. Ada rasa lapar yang timbul, sehingga ia terpikir untuk melucuti pakaian gadis itu.
Ia menelan ludah mengatasi adrenalin yang membuat jantungnya berdegup laksana derap langkah pacuan kuda. Sebenarnya, ia tidak pernah melakukan kegiatan ini sebelumnya.
Entah kenapa, karena semalam ia menjadi sakit hati, ia jadi begitu frustasi. Pemuda itu
mendapatkan penolakan pertama kali, setelah ia diputuskan juga oleh seorang wanita dengan alasan ingin bersekolah ke luar kota.
Jadi, pemuda itu membutuhkan pengganti kekasih yang baru. Ia sebenarnya juga tidak mau melakukan tindakan jahat pada Penelope. Oleh karena itu, tangannya terhenti ketika ia sedang membuka kemeja gadis itu.
Penelope yang merasa bahwa tubuhnya disentuh-sentuh itu pun sudah mengumpulkan kesadarannya dan terbangun. Melihat sosok yang dibencinya itu sedang berada di atas tubuhnya, serta-merta gadis itu pun segera menghantam kepala pemuda itu dengan kepalanya.
DUAAKKK!
Hantaman itu begitu keras, hingga pemuda itu pun terjengkang, karena kesakitan. "AAARGHH DASAR JALANG MISKIN!" timbul lagi amarahnya.
Kepala Penelope juga berdenyut nyeri, tapi ada rasa puas di dalam hatinya bisa melindungi diri dari Si Mata Keranjang itu. Ia tak sudi tubuhnya dijamah oleh pemuda itu.
Pemuda itu pun berteriak-teriak dan mengatakan, "Hei, Perempuan Cafe! Kau kira aku senang melakukan ini? Kau harus tahu ini semua hanya gara-gara dirimu! Aku bukan pria jahat dan mesum!"
"Padahal awalnya aku imi adalah seorang kekasih yang baik dan tujuanku mendekati dirimu adalah juga untuk menjadikanmu kekasih, tanpa adegan penyiksaan seperti ini!" imbuhnya sambil memijat bagian depan kepalanya.
Penelope pun mencibirnya, "Cih .... Mana mungkin kau bisa berharap aku mau menjadikanmu kekasih apabila kelakuanmu seperti ini? Aku juga lebih baik mati di tanganmu daripada harus tidur bersamamu!"
Hari tiba-tiba sudah sore dan ibu Penelope pun merasa cemas, karena anak perempuannya itu tidak ada kabar. Gadis itu sudah lewat dari jam kursusnya, karena hari itu hari Rabu.
Biasanya mereka hanya melangsungkan kegiatan belajar mengajar sampai pukul 2 saja dan kota tempat tinggal mereka adalah kota yang kecil, sehingga tidak mungkin bagi gadis itu untuk mencari kerja di luar jangkauan rumahnya yang sampai memakan biaya transportasi lagi.
Wanita paruh baya itu meremas jemari tangannya seraya memandang keluar dari jendela rumahnya. Ia pun mendapatkan ide dan kemudian duduk bersimpuh di depan meja di ruang tengahnya.
"Nak ... Poppi belum pulang dan ini tidak seperti biasanya," ujarnya membuka kalimatnya untuk memohon kepada Rey agar membantunya.
Rey yang sedang menghabiskan makanannya yang kedua kalinya hari itu pun segera membersihkan peralatan makan, sebelum kemudian menanggapi permintaan wanita itu dengan serius.
Wanita paruh baya itu pun berkata, "Rey, aku butuh bantuanmu untuk menemukan Penelope dengan kemampuan melacakmu sebagai serigala."
Kemudian, Liv pun menyerahkan baju tidur yang dipakai Penelope semalam untuk diendus oleh Rey. Tanpa sepengetahuan Liv, sebenarnya Rey sudah hafal bau dari Penelope, karena gadis itu memiliki aroma yang sangat berbeda dari siapapun, termasuk dari Liv.
Jika Penelope adalah sebuah warna, maka ia tampak seperti warna dari buah peach yang ranum dan aromanya sangat manis. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan hal itu kepada Liv. Ia takut bahwa wanita itu akan berspekulasi yang macam-macam padanya dan dikhawatirkan ia dituduh menginginkan lebih dari sekedar tumpangan.
Oleh karena itu, ia bermaksud hanya menyimpan rahasia ini sambil terus melakukan pendekatan kepada mereka dengan menawarkan kebaikan tinggal bersama mereka. Karena alasan itu jugalah, Rey pun menyanggupi permintaan wanita paruh baya itu.
"Baik, Bu. Tenang saja, saya akan menemukan Penelope. Tidak perlu khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Dibilang begitu pun, Liv hanya bisa tersenyum getir. Tidak ada yang bisa mengalahkan firasat seorang ibu, tapi ia hanya bisa menatap kepergian pemuda yang segera melesat keluar rumahnya itu.
Rey berhati-hati dalam bertingkah. Ketika tidak ada orang di sekitar radiusnya, ia pun mempercepat larinya menuju ke arah aroma gadis yang dicarinya tersebut berasal. Ia merasakan plexus solarnya bergejolak, menandakan seolah-olah ada suatu hal buruk terjadi.
Pemuda itu menghentikan tungkai kakinya begitu dia melihat ada rumah di ujung jalan sana yang seperti kastil dipagari setengah tembok dan besi yang kokoh. Rumah itu tampaknya salah satu bangunan mewah di area situ, tapi tanpa sungkan Rey pun memanjat setengah pagarnya, lalu melompatinya.
Ia benar-benar merasakan keberadaan gadis yang dicarinya itu semakin kuat di situ. Rey pun mempertajam indra pendengarnya dan ia mendengarkan suara teriakan yang berasal dari rumah itu.
"Aku tidak mauuuu! Lepaskan akuuuu!"
Serta-merta Rey pun berlari menyusuri setapak jalan di pekarangan rumah itu. Rey menengadah ke jendela lantai dua dan melihat ada bayangan seorang pria di jendela itu di tengah teriakan wanita yang berasal dari arah yang sama.
Rei juga melihat pohon besar di samping rumah itu dan segera memanjatnya dengan kekuatan manusia serigalanya yang sudah diberi makan. Pemuda berambut brunet kti kemudian melompat dari dahan pohon tersebut yang setara tingginya dengan jendela lalu, menghambur ke jendela itu, memecahkan kacanya.
Bruk! PRAAANG!
"Kyaaaaaa!" pekik Penelope histeris.
Rey masuk ke dalam kamar itu dan menubruk tubuh dari pria tersebut hingga ia terlempar dari atas ranjang dan membuatnya pingsan.
Penelope sudah dalam keadaan setengah telanjang, ketika Rey datang. Tubuh mereka kurang lebih sama babak belurnya.