(Flashback Off)
Nafas Penelope tersengal setelah menuntaskan ceritanya. Tubuhnya masih gemetaran.
Liv yang sedari tadi sudah bermaksud untuk memberikan putrinya itu minum, ikut terguncang badannya. Air digelasnya pun tertumpah sedikit, tapi ia tetap mengulurkannya pada Penelope.
Jelas-jelas dirinya butuh minum juga, namun ia mengabaikan dirinya. Liv merasa hatinya tersayat seperti sembilu saat putrinya itu menceritakan adegan di mana Alexei, suaminya masih ada di antara mereka.
Bulan depan tepat setahun meninggalnya ayah Penelope. Sebuah rahasia besar lagi yang tak bisa Liv ceritakan pada putrinya.
Penelope meraih uluran segelas air itu, lalu meminumnya dengan kandas. Sementara Liv menarik tangannya dan meremas jemari kedua tangannya.
Setelah merasa pita suaranya mampu dikuasainya lagi, Penelope yang masih menatap mamanya dengan nanar itu pun melanjutkan. "Apakah Papa tahu juga soal ini?"
DEG!
Kalimat tanya tersebut seolah menghunjam tepat di jantung Liv yang sudah terluka. Bibirnya terbuka tertutup selama beberapa saat, tapi kemudian ia memantapkan diri untuk menjawab pertanyaan putrinya, "Papamu sama seperti Mama, kami pernah mengalami hal serupa."
Penelope menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar kata-kata ibunya, "Tega sekali kalian padaku! Aku sudah menceritakan hingga adegan aku melihat anak-anak bermain topeng manusia serigala di pelataran toko area pusat kota. Dan aku baru paham sekarang bahwa itu bukanlah hanya imajinasi mereka. Tapi, Mama belum menjawab pertanyaanku, kenapa Mama, ah ... dan juga Papa merahasiakan ini semua padaku?"
Air mata kembali menetes ke kedua pipi Penelope. Mata Liv jadi berkaca-kaca lagi.
"Nak, Mama minta maaf kalau kamu kecewa seperti ini. Tapi, kau tidak melihat korelasinya di sini. Sejak kau kecil, Mama dan Papa hanya tidak ingin hidupmu dikontrol oleh ketakutan. Maka dari itu, Mama memilih bacaan apa yang sekiranya jauh dari nuansa mengerikan. Pada akhirnya, ajaran di sekolah dan budaya dari luar seperti Haloween juga mempengaruhi pikiran ketakutan anak-anak. Mama dan Papa pikir kau sudah cukup mendengar sendiri di antara teman-temanmu, jadi Mama dan Papa tidak perlu menambahi lagi soal hal-hal yang menakutkanmu, apalagi kita tinggal di pinggiran hutan begini," jelas Liv panjang lebar.
Wanita yang rambutnya keabuan itu pun melanjutkan kata-katanya, "Memang benar yang Mama katakan tadi. Mama pernah mengalami hal serupa berpuluh-puluh tahun yang lalu dan Mama tak pernah menduga akan mengalaminya lagi. Jadi, Mama tidak mengingat-ingat dan menceritakannya padamu, karena alasan itu tadi. Mama tidak ingin kau selalu takut."
Penelope berusaha mencerna kalimat Liv. Ia merasa maklum jika memang alasan yang diungkapkan mamanya itu benar, karena ia adalah anak semata wayang di keluarganya. Syukur-syukur orang tuanya tidak terlalu overprotective dan pasti mereka menginginkan yang terbaik untuknya.
Gadis berambut karamel itu pun menghela nafas kasar. Liv masih meyakinkan putrinya bahwa pemuda itu tidak akan menyakiti mereka.
Ia kemudian bangkit berdiri dan berkata, "Tunggu sebentar di sini!"
Penelope ternganga, karena ia ditinggalkan ibunya lagi sendirian bersama pria asing di ruang tengah mereka itu. Namun, ia tak perlu menunggu lama.
Liv datang sekejap kemudian dan langsung bersimpuh di depan putrinya itu. Perempuan paruh baya itu menunjukkan rahasia perhiasan bermata Moonstone yang dimilikinya.
"Ma, aku sudah tahu soal kalung, gelang, dan cincin berbatu biru keperakan itu adalah satu-satunya harta yang dimiliki Mama. Lalu apa?" tanya Penelope tak mengerti hubungannya dengan permasalahan mereka ini.
Liv menarik nafas, "Hufh .... Selama ini, Mama memang menolak mati-matian untuk menggadai perhiasan ini apalagi menjualnya, biarpun kita kesusahan sepeninggal papamu."
Penelope juga merasa dadanya ngilu mendengar penuturan mamanya. Jelas masih terdengar gurat kesedihannya ditinggal oleh papanya.
"Sekarang adalah saatnya bagi Mama untuk memberitahukan apa kegunaan utama dari perhiasan ini." Segera saja ia pasangkan kalung Moonstone pada leher putrinya, sementara gelangnya ia pakai sendiri.
Penelope menaikkan kedua tangannya ke bahu, menunjukkan gestur tidak paham dengan semua ini. Namun, dengan mimik serius, ibunya menekan telunjuk ke bibirnya. "Sssh ... dengarkan!" perintahnya.
Sejurus kemudian, terdengar rintihan yang membuyarkan perhatian mereka.
"Akkkh ...." Pemuda tampan yang terbaring itu rupanya yang bersuara. Ia merasa kesakitan dan lemah.
Penelope membelalakkan matanya. Liv berbisik padanya, "Ini karena adanya pancaran radiasi moonstone dari perhiasan kita."
"Aarghh ...!" Pemuda itu berteriak seraya bangun dan terduduk.
Setelah ia tersadar, Penelope segera bersiap untuk memberondongnya dengan beribu pertanyaan, "Hei, cepat katakan siapa kamu!"
"Arrghhh ... sakiiit! Apa yang kau lakukan?" Pemuda jelmaan serigala itu menyilangkan lengannya ke depan mukanya.
Penelope bangkit berdiri, biarpun Liv memegangi tangannya. "Jangan malah balik tanya! Sebut namamu sekarang atau keluar sekarang juga dari rumah ini!"
Liv menggoyang-goyangkan tangan Penelope, "Pop ... sudah, ayo kita lepaskan perhiasannya. Kau lihat kan efeknya?"
Sementara itu, Penelope tak peduli kata-kata ibunya. Ia malah maju mendekat ke arah pemuda yang menarik selimut menutupi dirinya itu.
Tak kuasa menahan kekuatan moonstone, pemuda itu pun memohon belas kasihan. "Aaaarghh ... oke ... oke ... tolong mundur dulu!TOLONG!" teriak pemuda itu begitu menggelegar, hingga membuat Penelope terkejut dan mundur ke belakang.
"Ugh ... sakitnya .... Aku hufh ... aku ... berjanji tidak akan melukai kalian dan siapapun atas ijin kalian. Aku bukan pria jahat, jadi aku tidak akan berbuat jahat selama kalian tidak mengenakan moonstone itu di sekitarku juga," pinta pemuda itu. "Oh ... dan namaku Rey."
Belum puas dengan permintaan Rey, Penelope pun menyahut, "Oke, Rey! Aku tidak akan menggunakan perhiasan ini asal kau keluar dari rumah kami!"
"Apa?" timpal Liv dan Rey nyaris bersamaan.
Namun, Rey yang sudah gagal mendapatkan belas kasihan dari gadis itu pun masih mengajukan negosiasi. Ia sadar, ia tidak punya lagi tempat untuk bernaung selain di sini.
Rey butuh hidup di antara manusia ini untuk menyerap bau mereka, sehingga menyamarkan bau asli tubuhnya. Tersudut oleh para wanita yang bersenjatakan Moonstone itu, Rey pun akhirnya menggertak.
Ia menantang Penelope, "Ya sudah, bunuh saja aku dari pada kai mengusirku!"
Liv berteriak tidak setuju, "Tidaaak! Jangan, Poppi, Mama mohon!" Wanita paruh baya itu mencegah Penelope.
Tentu saja gadis itu pun tidak mau menjadi pembunuh. Ia sendiri panik dalam hati atas situasi ini.
Rey kembali menantang, "Baik, kalau memang aku tidak diijinkan untuk tinggal dan tidak dibunuh, maka aku akan kembali ke pack-ku dan aku bisa membawa teman-teman untuk menyerang keluarga ini. Beberapa butir moonstone tentunya tidak akan berarti melawan rombongan besar manusia serigala kami!"
"Kurang ajar! Beraninya kau mengancam kami yang sudah menolongmu!" pekik Penelope seraya melepas kalungnya dan mengacungkannya pada pemuda itu.
Tidak mau ribut-ribut, Liv segera merampas kalung yang dibawa Penelope dan menyimpan semua perhiasan itu.
"Haaah!" Gadis itu terkesiap.
"Oke ... oke ... aku setuju dengan persyaratan kamu, Rey. Poppi, kita tidak punya pilihan. Kita tampung saja dia sementara. Toh, kita tidak bisa lama-lama hidup di sini, karena kita harus terus hidup berpindah-pindah demi selamat dari kerjaran debt collector. Kau ingat?"