"Brak!" pintu terdobrak terbuka. Kayu pinus yang membingkai kusen pintu itu terkikis dan engsel bagian atasnya tercongkel. Sehingga daun pintu malang yang terhempas di dalam dinding kamar itu terkulai miring ke kiri.
"Ada apa ini? Kenapa kau berteriak-teriak?" Alexei tergopoh-gopoh menghampiri putrinya di tempat tidur.
"Hah ... hah ... hah ...." Nafas Penelope terengah-engah seraya memandang sekitar. Matanya berair, paru-parunya meronta menghisap pasokan udara yang ada.
Kemudian Liv menyeruak masuk kamar dan memberikan segelas air minum. "Nafas, Nak, ayo nafas!" perintah Liv seraya mengusap kening Penelope yang berkeringat, "Kau tidak apa-apa, kan?"
Penelope hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala. Matanya tetap terbelalak dengan kedipan cepat dan nafas tersengal. Jantungnya berdegup kencang.
Tangannya masih mengusap-usap lehernya. Di sana ... ia masih merasakan gurat tali pengikat jubahnya. Tubuhnya gemetar hebat.
Alexei tak sampai hati melihatnya. "Minggir dulu, Sayang. Tenang ya, Nak. Ini Papa dan Mama ada di sini," kata pria berambut abu itu seraya memegangi kedua lengan putrinya untuk meredakan guncangannya.
Putri mereka itu tampak basah kuyup oleh keringat. Ia bahkan seolah tidak merasakan keberadaan kedua orang tuanya lagi dalam sepersekian detik. Namun, setelah beberapa saat dipegangi ayahnya, Penelope mulai terlihat lebih kalem.
Liv dan suaminya bertukar pandang. Lalu, Alexei mengangguk dan bertukar posisi dengan Liv. Ia jadi berdiri di sebelah ranjang, sementara Liv duduk menjajari Penelope di atas ranjang. Gadis itu menoleh ke arah ibu, lalu ayahnya.
Alexei mengamati sambil berdiri. "Bagaimana menurutmu? Apa perlu kita bawa ke klinik? Atau kubuatkan ramuan herbal?" tanya Alexei pada Liv.
Liv mengukur suhu pada kening putrinya dengan telapak tangannya, "Hmm ... sepertinya tidak perlu, Sayang."
"Fiuh ... baiklah. Kau suruh minum dulu dia. Aku berangkat, ya! Nanti sepulang kerja kuperbaiki kusen pintumu. Sampai jumpa! Papa sayang padamu, Poppi kecilku!" ujar Alexei seraya berpamitan untuk pergi kerja.
"Hati-hati, Sayang!" seru Liv pada suaminya.
"Kau dengar itu, Poppi? Ayo, minum dulu!" Liv menyerahkan segelas air minum pada putrinya yang masih diam tak bergeming.
"Hah ... gluk ... gluk ... ah, terima kasih, Ma!" kata Penelope setelah mengairi kerongkongannya yang tercekat dengan menandaskan segelas air.
Liv mengusap punggung semata wayangnya itu setelah menerima gelas kosong dan beranjak berdiri. "Hanya mimpi buruk, kan?"
"Deg!" Penelope teringat lagi urutan kejadian dalam mimpinya barusan. Ia sebenarnya merasa tadi itu bukanlah mimpi buruk biarpun ia melihat makhluk buas di mimpinya. Namun, adegan sebelum bangun yang membuatnya panik itu lah bagian buruknya dan terasa begitu nyata.
"Fiuh ... iya, untung saja," jawab Penelope dengan perasaan sangat lega.
Liv tidak sepenuhnya percaya dan masih khawatir akan keadaan putrinya tersebut. Dipandanginya dengan cemas Penelope yang masih terlihat pucat.
Ia merasa sepertinya gadis itu menutupi keadaannya. Karena ini kali pertamanya baik Liv maupun Alexei mendapati Penelope terbangun begitu heboh dari mimpi buruk setelah bertahun-tahun lamanya.
"Apa kau yakin kau baik-baik saja? Kau tadi berteriak keras sekali. Kau tahu ayahmu selalu berpikiran berlebihan, ia jadi panik dan menjebol daun pintu begitu. Ckckck ...."
Mereka berdua memandang ke arah yang sama. Pintu berwarna putih susu itu memang setengahnya terjebol dari bingkainya dan hanya disangga satu engsel di bawah.
"Hahaha ... benarkah? Pfff ... maafkan aku, Ma!" Penelope sudah merasa baikan dan tertawa lancar.
"Dasar, kau ini! Memangnya seburuk apa sih, mimpimu tadi, Sayang?"
Penelope menarik nafas dalam-dalam, "Hufh ... Sebenernya tidak terlalu buruk, Ma. Di mimpiku, aku pergi mencari jamur dan bertemu serigala. Tapi, serigalanya lagi-lagi hanya melihatku saja. Aku sendiri yang panik hingga leherku terjerat tali jubah dan susah bernapas. Bukankah persis seperti kejadian yang sudah kualami? Makanya aku merasa mimpi itu seperti nyata."
Mendadak kekhawatiran merayapi hati Liv, "Oh Tuhan, bagaimana ini ... dia masih terbayang-bayang soal serigala di hutan." Namun, ia tidak mau menampakkan kekhawatirannya, "Itu hanya bunga tidur, Nak. Semuanya akan baik-baik saja. Ya sudah, ayo segera bersiap-siap!"
Penelope menyingkap selimutnya dan turun dari ranjang, "Eh, kita mau pergi mencari jamur, Ma?"
"Tidak, dong, Sayang. Kita kan, sudah punya cukup jamur. Kita akan mengantarkan pesanan ke sebuah kedai di tengah kota. Nanti, kita bisa mampir membeli bahan-bahan untuk membuat roti. Besok Mama ada pesanan." jelas Liv.
"Ah, oke ... oke ...," sahut gadis berambut karamel itu seraya merapikan tempat tidurnya.
Liv tersenyum dan mengedipkan sebelah mata, "Baiklah, Mama lanjutkan pekerjaan di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk kita berdua, ya! Kau mandi lah!"
"Baik, Kapten!" seru Penelope.
Gadis itu diam-diam masih kepikiran soal mimpinya barusan. "Ah, serigala itu persis seperti yang kulihat tempo hari di tepi hutan!" cetus Penelope dalam hati, "Sepertinya aku terlalu memikirkannya beberapa hari ini."
Ia menggelengkan kepala berusaha menyudahi ingatannya, lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah menyelesaikan rutinitas pagi mereka, Liv dan putrinya menuju lemari jaket di depan pintu.
"Ah, tentu saja tidak ada jubah merah itu," gumam Penelope dalam hati seraya memilih jaket untuk keluar rumah.
Setelah itu, mereka berdua beranjak keluar menuju kota. Jarak antara rumah menuju pusat kota tidaklah jauh, hanya sekitar dua puluh menit berjalan kaki untuk berangkatnya karena jalanan menurun. Namun, butuh sedikit waktu ekstra untuk pulang dengan jalanan yang menanjak.
Di sepanjang jalan pelataran toko, anak-anak berlarian memakai topeng. "Ah, sudah mendekati Haloween rupanya " gumam Penelope.
"Iya, waktu rasanya cepat sekali berlalu tahun ini. Poppi, kau mau tunggu di luar saja? Ibu tidak akan lama, sih," tanya Liv ketika mereka sudah sampai di pelataran depan kedai pasta.
Penelope mengangguk. Liv pun tersenyum dan meninggalkannya di depan toko. Anak-anak kecil yang masih berlarian di depan pelataran toko itu melepas topengnya.
Gadis berambut karamel itu mendengarkan celotehan seorang anak laki-laki berambut pirang. "Ah, aku bosan menjadi penyihir. Topengnya tidak keren, hanya nenek berwajah keriput begini!" omel anak itu.
"Pfff ...." Penelope menahan tawa mendengarkannya.
"Ayo bikin manusia serigala saja!" usul temannya.
"Wah, iya benar! Manusia serigala keren sekali! Ayo buat topengnya!"
Anak-anak itu segera berjongkok dan mulai mencoret-coret kertas mereka. Penelope menggeleng-gelengkan kepala saja. Ia juga teringat saat dia kecil, perayaan Haloween adalah acara favoritnya. Dia dan teman-temannya suka membuat kostum sendiri juga.
"Nah, selesai!" seru anak berambut pirang.
"Wah! Kenapa kau tidak mewarna semua wajah topeng serigalamu?" tanya seorang anak perempuan.
"Aku tidak punya pensil warna perak. Topengku ini serigala terkuat di hutan, serigala berbulu perak!" Anak berambut pirang mengacungkan topengnya dengan bangga ke udara.
"Deg!" Hati Penelope mencelos yang kesekian kali hari itu. Ia teringat lagi adegan saat bertemu dengan kawanan serigala di hutan. Memang yang terbesar yang dilihatnya adalah serigala berbulu perak.
"Ayo, kita pergi ke toko bahan kue!" ajak Liv.
"Astaga, Tuhanku!" Penelope terlonjak kaget, "Ah, Mama! Mengagetkanku saja!"