(Flashback Off)
Bibir Penelope masih gemetar setelah menceritakan bagaimana ia merasa trauma sejak pertemuan pertamanya dengan rombongan serigala sampai membuatnya pingsan.
"Aku tanya sekali lagi. Kenapa, Mama tidak menceritakan kecurigaan Mama pada serigala temuan Mama itu? Huhuhu ...."
"Nak, tapi buktinya tidak terjadi apapun lagi padamu, kan?" tanya Liv sambil memegangi kedua bahu putrinya.
Penelope menatap mata mamanya seolah tak percaya, "Tidak terjadi apapun? Lalu, bagaimana dengan rentetan mimpi buruk yang kualami?"
Mau tak mau, Penelope menceritakan lagi mimpi buruknya yang seringkali datang padanya sejak dirinya dikepung dengan serigala itu.
Liv menelan ludah. Ia tahu bahwa apapun yang ia katakan pada putrinya malam itu, akan dibantahnya dengan kemunculan traumanya lagi. Ia hanya bisa mendengarkan putrinya bercerita kesekian kalinya.
***
(Flashback)
Bulan Oktober saat itu benar-benar menunjukkan usaha terbaiknya. Angin berhembus kencang di luar. Suaranya terdengar meraung-raung. Suasana pun begitu kelabu.
Absennya penampakan Matahari selama beberapa hari ini, sudah menambah dinginnya hawa pagi itu. Seolah-olah Semesta meninabobokkan para penghuninya.
Seorang wanita keluar dari sebuah kamar, lalu mengetuk pintu kamar terkecil di studio itu,
Sementara kusen luar jendela yang sudah reyot terdengar terketuk-ketuk dengan kencang dipermainkan angin.
Si Gadis yang tertidur di dalam kamar tersebut tidak mendengar suara ketukan pintu. Wanita yang mengetuk pintu itu pun segera menyeruak masuk.
"Sayang ... sayang ..." Liv mengguncang tubuh putrinya perlahan, "Ayo bangun, Sayang!"
Penelope mengerang saja, "Ergh ..."
"Ayo, buka matamu! Kau harus bergegas." tegas Liv.
Gadis yang terbaring di ranjang itu pun menggeliat, "Ugh, Mama! Bergegas kemana? Ini masih pagi buta, kan?"
"Kemana lagi, Sayang? Kita harus mencari jamur. Dan lagi ini musim dingin, ingat? Seharian tentu akan gelap seperti ini."
Segera ia turun dari tempat tidurnya dengan malas-malasan, lalu menyeret langkahnya ke kamar mandi. Tak berapa lama kemudian, Penelope sudah siap untuk berangkat, "Ayo, Ma!"
"Hmm ... hari ini kau berangkat sendiri ya, Sayang." kata Liv seraya menyerahkan keranjang pada putrinya itu.
"Lho, kok tumben sekali, Ma? Kenapa?" tanya Penelope heran seraya menerima keranjang dari ibunya.
"Hari ini aku lelah sekali, Poppi. Maaf sekali, ya. Mau kan, kamu menolong mamamu?"
Meski keheranan, Penelope pun menurut juga. "Tentu, Ma, tak masalah." Gadis itu pun segera membuka lemari jaket musim dingin di dekat pintu keluar.
"Ooh ..." Gadis berambut mahogani itu tertegun melihat sebuah pakaian yang menggantung di dalam lemari tersebut.
"Iya, Mama sudah menyiapkan jubah merah yang cantik itu untukmu, Poppi." kata Liv sambil tersenyum.
Poppi terpukau akan kejutan itu, "Wow! Kenapa tiba-tiba Mama membelikan baju baru untukku? Apakah ini hari spesial?"
Liv hanya menggeleng, lalu berjalan mendekat untuk mengambilkan jubah itu untuk anaknya yang diam tak bergeming. Wanita itu lalu mengulurkan jubah merah pada putrinya, "Silahkan pakai saja!"
Poppi pun semakin keheranan, karena ia ingat sangat menginginkan jubah itu semasa kecilnya, tapi Liv tidak menurutinya. "Mmm ... oke lah kalau begitu."
Poppi pun segera berpamitan untuk pergi ke hutan demi mencari jamur. Begitu membuka pintu luar gedung apartemen, gadis itu diterpa angin musim dingin.
"Brrr ..." Penelope langsung menggigil kedinginan. Apalagi kedua pipinya seolah ditampar-tampar oleh tangan tak kasat mata.
Gadis itu mempercepat langkahnya menuju hutan di seberang area perumahannya. Ia merogoh saku celananya dengan sebelah tangan untuk mengambil sarung tangan, lalu buru-buru memakainya.
"Astaga dingin sekali! Jemariku rasanya mau lepas satu persatu dari tangan ... brrr ..." keluh Penelope yang merasakan ngilu di persendian jemarinya.
Nafasnya semakin lama semakin kencang menghembuskan asap, karena dia terengah-engah di udara yang beku ini. Beruntung ia sudah memasuki area hutan, jadi angin kencang terhalang pepohonan dan tidak terlalu mengganggunya.
Penelope merapatkan tali di bawah dagunya agar jubah merah itu melindungi kepalanya rapat-rapat. Begitu melewati area terbuka dengan pepohonan yang jarang, dia melihat banyak sekali hamparan jamur-jamur besar yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
"Luar biasa! Hari ini sepertinya hari keberuntunganku lagi! Wah, ini semua jamur-jamur yang biasanya hanya aku lihat di majalah National Geographic saja!" pekik Penelope histeris kesenangan.
Sambil mengangkat sedikit jubahnya agar tidak terinjak, gadis itu segera menerobos semak belukar menuju ke hamparan jamur langka. "Hore! Aku menang banyak hari ini!" serunya seraya mulai meraih peralatannya dari dalam keranjang.
Ketika Penelope mulai memetiki jamur tersebut, ia melihat ada bagian perdu yang bergoyang di kejauhan. Ia memicingkan mata ke arah spot tersebut seraya memasukkan jamur-jamur ke dalam keranjangnya.
Awalnya, ia mengira perdu itu tersenggol olehnya yang mencabut jamur, tapi lama kelamaan ia melihat ada ekor yang menyumbul di antara tanaman hutan tersebut.
"Ah ... halo? Apa di sini rumahmu? Hehehe ... permisi, ya?" sapa Poppi yang mengira ekor itu pasti milik dari sejenis kelinci hutan.
Gadis itu memang dasarnya pecinta hewan, jadi tanpa rasa takut, ia pun berjalan mendekat. "Gemasnya ... imut sekali ekor yang berwarna cokelat keperakan ini." Tangan Poppi terulur, karena ia ingin menyentuh ekor itu.
Begitu disentuhnya, binatang itu menoleh dan menampakkan diri seutuhnya. "Hah! Tuhanku!" Poppi terjengkang, jamurnya berhamburan dari keranjangnya.
Seekor serigala besar berbulu cokelat perak berdiri di sana dengan wajah penasaran. Sementara Poppi merasa sekujur bulu di badannya meremang. Jantung gadis itu berdegup sangat kencang.
Serigala itu tidak melakukan apapun dan hanya garuk-garuk badan seperti tidak tertarik pada manusia di hadapannya. Poppi mengumpulkan jamur-jamurnya yang berserakan lalu mencoba beranjak.
Sambil menatap serigala yang diam di tempat dan acuh tak acuh itu, Poppi mengatur nafasnya perlahan. Lalu, gadis itu pun berjalan menjauh. "Huff ... huff ... anak manis, tenang di sana saja, ya ...," kata gadis itu perlahan sambil berusaha mengatur nafas dan kecemasannya.
Serigala bertubuh beberapa kali lebih besar dari ukuran serigala pada umumnya itu hanya mengamati lalu duduk lagi di tengah rimbunnya perdu. Poppi menelan ludah mengatasi kebingungannya.
"Dia tidak buta, kan? Kenapa dia diam saja, ya? Semoga saja itu karena dia tahu bahwa aku ini orang baik," gumam Poppi yang mulai memetik jamur lagi.
"Kenapa aku sampai bertemu serigala segala, ya? Seperti hari ini tidak kurang aneh saja ckckck ...." Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala merasa terheran pada kejadian hari itu. "Bahkan padahal hari ini masih pagi, aku sudah mengalami banyak hal."
Sesekali serigala itu melihatnya lalu membuang muka. "Hahaha ... lucu sekali. Apa dia malu, ya?" Poppi merasa lucu melihat tingkah hewan karnivora itu.
"Huff ... segini banyak rasanya sudah cukup, kan?" Poppi merasa keranjangnya berat, "Aku lebih baik pulang saja."
"Dadah serigala cantik yang baik hati! Sampai berjumpa di lain waktu, ya!" Penelope melambaikan tangan ke arah binatang berbulu yang tampak menjilati bulunya itu.
Kemudian, gadis berjubah merah itu berbalik badan untuk pergi daerah area itu. Namun, jubahnya terjerat semak belukar yang berduri.
"Aaah ...." Ia mencoba menarik ujung jubahnya, tapi ia malah tak sengaja menginjak sisi lainnya, sehingga lehernya terjerat. "Ergggh ...." Ketika Penelope mengerang, serigala itu tampak menegakkan badan.
Poppi merasa panik luar biasa. Pandangannya terhalang rimbunnya rerumputan, sehingga ia tidak bisa menghindarkan kakinya agar tak menginjak jubah itu lagi. Sementara, serigala itu mulai berjalan mendekat.
Penelope kebingungan, karena lehernya masih tercekik. Ia menjerit dalam hati dan ingin menangis.
"AAAAAAH!!!" Penelope terbangun di atas tempat tidurnya dengan nafas terengah-engah. Ia meraba lehernya, karena bekas jeratan jubah seolah masih terasa.