Panik akan kondisi anaknya yang pingsan, Liv melemparkan begitu saja keranjang jamurnya. Sepertinya ia tidak mengetahui bahwa Penelope pingsan, hanya karena takut akan serbuan serigala dan bukannya diterkam atau apa.
Ia menghembuskan nafasnya gusar, karena di sisi lain ia melihat padang Jamur Morels yang mahal harganya, sementara keadaan anaknya yang lebih berharga ini juga menjadi prioritas atensinya. Setelah mengecek berulang kali bahwa tubuh Penelope tidak ada yang terluka, Liv pun memutuskan untuk memindahkan putrinya itu.
"Baiklah, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Ugh ...." Liv menggendong tubuh lunglai Penelope di punggungnya. "Hosh ... hosh ...." Nafasnya tersengal, tapi ia tak gentar untuk mulai melangkah dari hamparan ladang terbuka itu.
"Pertama-tama, aku harus membawa Penelope ke mobil," batin Liv yang memotivasi dirinya sendiri agar kuat sampai tujuan.
"Hufh ... aduh ... ya ampun ...." Wanita paruh baya itu hampir kehabisan nafasnya. Kemudian, ia meregangkan otot pinggangnya dengan cara menegakkan punggungnya.
"Ya ampun! Rasanya aku sudah bertambah tua sekian puluh tahun," gumamnya pada diri sendiri. "Pop ... Poppi?" Liv mengecek keadaan putrinya itu sekali lagi. Suhunya normal, tapi ia tetap tak sadarkan diri.
Liv menoleh lagi ke arah hamparan ladang tersebut, lalu ke wajah Penelope. Hati Liv gamang untuk meninggalkan keduanya. Jika ia meninggalkan putrinya sendirian, bagaimana kalau dia terbangun dan panik? Atau malah sebaliknya, keadaannya memburuk.
Namun, padang Jamur Morels itu entah sampai kapan bertahan di sana sebelum hewan hutan berlalu lalang seperti tadi dan menginjak-injaknya. Liv menelan ludah.
Ia mengguncang-guncangkan tubuh Penelope lagi, berharap tindakannya itu bisa mengembalikan kesadaran gadis berambut cokelat tersebut. "Ah, Poppi, kumohon ... bangunlah, Sayang!" seru Liv frustasi.
Perempuan yang rambutnya sudah mulai kelabu itu pun mencoba mencari denyut nadi Penelope. Ia memejamkan mata, mencoba memfokuskan inderanya. "Aah ... apa yang harus kuperbuat?" Liv cemas merasakan denyut nadi putrinya itu melemah.
Langitpun kian menggelap. Di sini, di Bumi belahan Utara, terkadang Matahari memilih untuk mengalah pada malam hari agar datangnya lebih cepat dari hari kemarinnya.
Liv membungkukkan badannya melewati tubuh Penelope yang tergolek lemah di jok depan itu, untuk meraih selimut di jok pengemudi. Ia segera menyelimuti tubuh putrinya tersebut dan mencium keningnya.
"Sayang, maafkan Mama, ya. Mama harus kembali mengambil beberapa Morels dulu. Kumohon kamu mengerti, ini semua untuk kelangsungan hidup kita," ujar Liv getir.
Kemudian ia balik badan, setelah menutup pintu mobilnya dengan niat yang mantap. "Nah, sekarang waktunya aku berburu jamur Morels! Lagipula, keranjang jamurku masih tertinggal di sana."
Menelan rasa khawatirnya, Liv pun kembali ke hamparan lahan terbuka tadi. Baru beberapa langkah, ia mendengarkan suara auman serigala dari kejauhan. "Belum gelap, tapi mengapa mereka dari tadi berkeliaran, ya?"
Liv pun memacu langkah kakinya ke area yang tadi ditinggalkannya. Berharap, ia bisa segera memenuhi keranjangnya dengan jamur langka di sekitaran situ, sebelum berpapasan dengan serigala lagi.
Ia meraih keranjang dan alat burunya. Lalu, dengan cekatan, kedua tangannya bergantian mencabut dan melempar Jamur Morels ke dalam keranjang. Sesekali ia menengadah dan menyapukan pandangan ke sekeliling, untuk meyakinkan diri bahwa dia dalam keadaan aman.
Sementara itu, Penelope yang terjerembab dalam alam bawah sadarnya, tiba-tiba bangun dengan histeris, "MAMAAAA!"
Mata Poppi membelalak, nafasnya memburu, dan detak jantungnya ibarat hentakan kaki gerombolan serigala tadi. Gadis itu mempelajari keadaan sekelilingnya yang ternyata sudah berada di dalam mobil orang tuanya itu.
"Fiuuuh ...." Seolah ada gunung batu longsor dari atas dadanya, Penelope merasa lega luar biasa, hingga ia merosot dari tempat duduknya. "Syukurlah, aku sudah berada di tempat yang aman," batinnya.
"Tapi ... M-mama mana ....?" Belum sempat terbit paniknya, tiba-tiba terdengar suara berdebum dari belakang mobil pick-up tersebut.
Otomatis, leher Poppi memutar untuk mengeceknya. Nihil. Sedetik kemudian, pintu kiri mobil terbuka, "Haaah!" Ia terkesiap dan jantungnya seolah lompat ke perut.
"Nak? Maaf, ini Mama. Kamu sudah sadar?" Liv panik dan buru-buru masuk mobil. Ia memegangi kedua pipi putrinya itu yang memucat.
"Aduh, Mama nyaris membuat jantungku copot!" keluh Penelope sambil mengurai tangan ibunya dari wajahnya, lalu ia bersandar di jok mobilnya dengan mata terpejam. Penelope memegangi dadanya dengan tangan kanan dan berusaha mengatur nafasnya.
"Maaf, Sayang, maafkan Mama. Sejak kapan kamu tersadar? Soalnya dari tadi kamu pingsan biarpun Mama heboh berteriak-teriak," jelas Liv.
Penelope membuka kelopak matanya seketika. "Ma?" tanyanya menggantung.
"Iya, Sayang?" Liv menyahut seraya menutup pintu mobilnya. Ia kemudian memasang sabuk pengaman dan menoleh pada putrinya yang masih memandang lurus ke depan itu.
"Aku tadi benar-benar ikut Mama menjelajah hutan, kan?"
"Mmm ... iya. Kita terpisah di tepian hutan. Ada apa, Nak? Apa yang kau ingat?"
"Berarti aku tidak bermimpi, kan?" Penelope balas bertanya dengan nada cemas.
"I-iya ... apa yang kau rasakan, Nak? Apa tubuhmu luka-luka?" Liv memutar tubuhnya berhapan dengan Poppi dan mengusap-usap bahunya.
Penelope menggeleng kepalanya kuat-kuat. "B-berarti ... s-serigala. Tadi, aku bertemu serigala itu ... itu bukan hanya mimpi kah?"
Deg!
Liv tidak mau anaknya ini berpikir berlebihan, jadi ia menjelaskan pelan-pelan sambil menyugar surai rambutnya, "Iya, Sayang. Tapi, mereka baik, kok. Mama kira kamu diapakan tadi sama mereka. Ternyata hanya berpapasan. Mereka hanya penasaran, kan?"
Penelope hanya mengangguk lemah. Namun, sejurus kemudian menoleh pada ibunya dengan pandangan lekat-lekat, "Tapi ... tadi Mama pergi kemana? Mengapa meninggalkanku di dalam mobil sendirian? Kalau para serigala itu ternyata memburuku dan menemukanku di sini, bukankah aku terlihat seperti mangsa dalam perangkap?"
Liv menghela nafas berat, merasakan setiap nada suara Penelope yang menyampaikan ketakutan itu. "Nak, maafkan Mama. Tadi, Mama pergi mengambil keranjang jamur yang Mama tinggal untuk membawamu kemari. Tapi, jangan kuatir, sebab Mama selalu mengawasi sekitar dari serbuan serigala. Lagipula, Mama tidak lama. Kurang dari sepuluh menit."
Mereka berdua hening beberapa saat. Lalu, Penelope mengucap dengan antusias, "Ah! Berarti Mama sudah mengambil Jamur Morels juga, kah?"
Liv tersenyum dan hanya melirikkan netranya ke arah belakang mobil. Mata Poppi membola dan senyumnya merekah menghiasi wajahnya, "Bagus! Setidaknya, hari ini tidak berakhir sia-sia, Ma. Mama tidak perlu minta maaf, aku lebih tidak memaafkan Mama jika kita pulang tanpa membawa emas hutan itu. Hahaha ...."
"Ah, dasar, Anak Matre!" Liv mencubit ujung hidung Penelope dengan gemas. "Maafkan Mama sekali lagi, ya?" Pandangan Liv melembut.
Penelope mengusap punggung tangan ibunya, "Kalau Mama tidak menemukanku di sana, mungkin aku masih terbaring di tengah padang Morels itu sampai sekarang.
Mereka kemudian berpelukan sekilas. "Baiklah, langit sudah kelabu, sebentar lagi pasti gelap total. Mau mencoba beberapa Morels untuk makan malam bersama Papa nanti?" tawar Liv.
"Waaaah! Ide bagus, Ma! Adegan menyeramkan hari ini harus dihapus dengan perayaan kesuksesan kita memanen jamur mahal dengan makan malam yang mewah hahahaha ...," seloroh Penelope penuh semangat.
Liv hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia lalu memutar kunci mobil untuk menyalakan mesinnya. Diam-diam, ia merasa firasat tidak enaknya bergejolak samar jauh di dalam hatinya.